Thursday, October 4, 2007

Pemahaman Teologis
Fungsi dan Tugas
Kepejabatan Gerejawi



Pendeta Jan H. Rapar



1. Pendahuluan
Membicarakan tentang fungsi dan tugas kepejabatan tidak boleh dilepaskan dari organisasi di mana kepejabatan itu berada. Fungsi dan tugas kepejabatan justru hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan organisasi dimana kepejabatan itu ada. Fungsi dan tugas kepejabatan dalam suatu organisasi for-profit berbeda dengan fungsi dan tugas kepejabatan non-profit organization.
Gereja sebagai non-profit organization tentu berbeda dengan organisasi-organisasi for-profit. Bahkan harus dikatakan bahwa gereja juga berbeda dengan organisasi-organisasi non-profit lainnya, seperti organisasi negara, yayasan sosial, dsb.
Oleh karena itu, untuk memahami fungsi dan tugas kepejabatan gerejawi, terlebih dahulu harus dipahami, apa sebenarnya gereja itu, apa esensi gereja, apa raison d’être-nya, dan apa causa finalis atau tujuan ultim gereja itu.
Agar kita memperoleh pemahaman yang cukup jelas tentang apa sebenarnya gereja itu, maka berikut ini kita akan membicarakan terlebih dahulu tentang pengertian etimologis gereja, esensi gereja, tujuan ultim gereja, dan fungsi gereja. Karena kepejabatan itu sering dikaitkan juga dengan kekuasaan, maka akan dibicarakan juga secara ringkas tentang kekuasaan gereja. Sesudah itu baru kita akan membahas tentang fungsi dan tugas kepejabatan gerejawi.

2. Apakah Gereja itu?
2.1. Pengertian etimologis
Kata gereja berasal dari bahasa Portugis igreja yang sepadan dengan bahasa Perancis eglise, bahasa Spanyol iglesia, dan bahasa Latin ecclesia, yang kesemuanya bersumber dari bahasa Yunani εκκλησια - ekklesia. Dalam bahasa Yunani klasik, ekklesia berarti kumpulan atau pertemuan. Sejak Solon (639-559 SM), yang dikenal sebagai pelopor demokrasi Yunani dan sebagai salah satu dari ketujuh orang bijaksana yang amat termasyhur, me-nyusun hukum yang baru di Athena, istilah ekklesia di-gunakan dengan arti sidang umum. Dan sejak Cleisthenes mengubah Athena menjadi negara yang benar-benar demokratis, ekklesia (sidang umum) menjadi lembaga tertinggi negara.
Lima abad kemudian, orang-orang kristen memilih kata ekklesia untuk menerjemahkan istilah Iberani -%8 - qahal yang berarti suatu umat yang dipanggil untuk berkumpul bersama/bersekutu. Jadi secara etimologis, ekklesia adalah suatu sidang atau umat yang ber-kumpul/bersekutu karena ada panggilan untuk bersidang, berkumpul/bersekutu.
Bahasa-bahasa Eropa Utara menggunakan istilah lain untuk kata gereja, seperti: church (Inggeris), kirche (Jerman), dan kerk (Belanda). Kata-kata itu berasal dari kata Yunani κυριov - kurion, atau κυριακov - kuriakon yang berarti kepunyaan/milik Tuhan.
Dari penggunaan kata-kata ekklesia dan kuriakon, dapatlah dikatakan bahwa Gereja adalah sidang atau persekutuan dari orang-orang milik Tuhan.

2.2. Esensi Gereja
Apakah sebenarnya gereja itu? Pengertian etimologis tersebut di atas menunjukkan bahwa gereja bukanlah gedung (benda mati), melainkan persekutuan dari manusia yang menyadari bahwa mereka adalah milik Tuhan. Persekutuan itu terdiri dari orang-orang yang dipanggil dan dipilih menjadi umat Allah.[1] Dengan demikian, Gereja adalah komunitas dari umat Allah.[2]
Komunitas umat Allah ini in concreto terlihat lewat organisasi gerejawi, jabatan-jabatan, tata dasar, tata gereja, gedung ibadah, liturgi, pemberitaan Firman Allah, pelayanan sakramen, dan sebagainya. Tetapi komunitas umat Allah yang disebut gereja itu lebih dari pada apa yang dapat diamati. Sesungguhnya di Alkitab terdapat banyak gambaran mengenai gereja, namun untuk saat ini cukup dua gambaran saja yang akan kita bicarakan, yaitu gereja selaku mempelai Kristus dan gereja selaku tubuh Kristus.
Hubungan antara mempelai pria dan mempelai wanita menunjukkan adanya suatu relasi yang amat dalam dan khusus. Pertama-tama perlu ditekankan bahwa relasi itu di dasarkan pada cinta kasih yang tulus. Dalam hal itu, cinta kasih Kristus tidak dapat diragukan lagi. Namun bagaimana dengan cinta kasih gereja selaku mempelai wanita? Cinta kasih yang tulus telah ditunjukkan oleh Kristus lewat kesediaanNya untuk mengorbankan diri demi keselamatan mempelai wanitanya. Ia memberi diri demi yang dikasihiNya. Kedua, mempelai pria dan mempelai wanita merupakan partner hidup. Segala persoalan hidup dihadapi bersama. Mereka merupakan partner kerja, partner dalam membagi suka dan duka, bahkan partner dalam segala-galanya. Ketiga, seperti yang terdapat di dalam Kidung Agung 2:16, "Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia...," demikian pula gereja perlu menyadari bahwa ia adalah milik Kristus. Dalam hal itu terkandung pengertian bahwa kendatipun Kristus telah mengorbankan diri baginya, namun dapat saja ia memilih untuk menjadi milik dari yang lain, namun ia tidak sudi berbuat demikian dan ia memilih Kristus untuk memiliki dirinya.
Menurut Alkitab, gereja adalah Tubuh Kristus dan Kristus adalah kepalanya (Efesus 1:22; 5:23 dan Kolose 1:18). Gereja selaku Tubuh Kristus adalah suatu organisme spiritual. Kepala dan anggota-anggota tubuh dihubungkan satu dengan lainnya secara spiritual. Untuk hidup, tubuh membutuhkan kepala dan kepala membutuhkan tubuh dan agar keseluruhannya dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka anggota-anggota tubuh pun harus lengkap, dan fungsi mereka adalah untuk saling melengkapi satu sama lainnya. Lukisan tentang hubungan kepala dan tubuh itu menunjukkan bahwa gereja adalah suatu organisme yang hidup.[3] Sebagai satu organisme yang hidup, maka gereja selaku Tubuh Kristus yang berada di dunia ini, tidak dapat dibatasi oleh suatu tempat, bangsa atau negara tertentu. Gereja yang hadir di suatu tempat atau di suatu negara tertentu bukanlah cabang dari suatu organisasi gerejawi yang berada di suatu negara adikuasa di Eropa, Amerika atau di mana saja; melainkan bagian integral dari organisme tubuh yang kepalanya adalah Yesus Kristus. Oleh karena itu, eklesiologis, dapatlah dikatakan bahwa segala upaya "kontekstualisasi" teologi yang bertolak dari prasangka buruk terhadap teologi Barat yang diwarnai oleh sentimen politis yang dilandaskan pada semangat regionalisme ekstrim, tidak lebih daripada suatu usaha untuk merobek-robek Tubuh Kristus selaku satu organisme yang hidup.

2.3. Tujuan Ultim Gereja
Gereja ada bukan untuk sekedar eksis. Ia memiliki tujuan yang hendak dicapai. Karena ia memiliki tujuan maka ia pun memiliki misi demi mencapai tujuan itu. Apakah yang menjadi tujuan gereja di dunia ini?
Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyaksikan bahwa Allah berkehendak untuk menyelamatkan dan memulihkan manusia, bahkan seluruh ciptaanNya, dari kondisi yang sangat memprihatinkan. Untuk itu Allah mengutus PutraNya, Yesus Kristus sebagai pelaksana yang sempurna dari kehendakNya. Tujuan kedatangan Yesus Kristus ke dunia ini ialah untuk melaksanakan kehendak BapaNya. Ia menyampaikan kabar baik dari Allah lewat pemberitaan dan perbuatan. Yesus Kristus Juru Selamat itulah pula yang telah mendirikan gereja di atas dasar pengakuan iman bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup (Matius 16:15-18). Karena Yesus Kristus yang mendirikan gereja, maka dapatlah dikatakan bahwa gereja ada oleh dan untuk Kristus. Oleh karena itu tujuan dan misi Kristus di dunia ini adalah juga tujuan dan misi gereja itu sendiri. Sebagaimana Yesus Kristus menyadari bahwa tujuan kedatanganNya ke dunia ini adalah untuk memberlakukan kehendak Allah, maka demikian pula gereja harus menyadari bahwa tujuan keberadaannya di dunia ini adalah juga untuk memberlakukan kehendak Allah. Dan sebagaimana Kristus telah melaksanakan misinya untuk menyampaikan kabar baik lewat pemberitaan dan perbuatan, maka gereja pun wajib melaksanakan tugas panggilan atau misinya untuk menyampaikan kabar baik lewat pemberitaan dan perbuatan. Tentu saja kita tidak dapat menduplikasi perbuatan Kristus yang mengorbankan diri di atas kayu salib, namun tindakan kita perlu diwarnai semangat pengorbanan sang Kepala Gereja itu! Jadi jelas bahwa tujuan ultim gereja di dunia ini adalah memberlakukan kehendak Allah, sehingga doa yang senantiasa kita ucapkan, "... datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga..." (Matius 6:10), benar-benar dapat diwujudnyatakan.
Menyadari akan tujuan keberadaan dan tugas panggilan (misi) gereja di dunia ini, maka Gereja-gereja di Indonesia dengan yakin mengatakan bahwa:
Gereja-gereja di Indonesia telah ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan tugas panggilannya dan menjadi berkat bagi semua orang di dalam negara Pancasila yang sedang menjalankan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju era tinggal landas menjelang akhir abad ke-20.
Melaksanakan tugas panggilan itu tidak lain berarti melaksanakan kehendak Tuhan yang tidak berubah (bnd. Ibr 13:8) di tengah-tengah kehidupan bangsa-bangsa dan masyarakat dunia yang terus-menerus berubah. Oleh karena itu, gereja-gereja di Indonesia terus-menerus bergumul memahami kehendak Tuhan itu dari waktu ke waktu.[4]

2.4. Fungsi Gereja
Secara tradisional, ada dua pemahaman tentang fungsi gereja dalam eklesiologi. Pertama, mereka yang memandang gereja sebagai agen keselamatan, dan kedua, mereka yang memandang gereja selaku komunitas ekslusif dari orang-orang kudus.[5] Pada Konferensi Edinburgh tentang Faith and Order (tahun 1937), dikatakan bahwa fungsi gereja ialah untuk memuliakan Tuhan lewat penyembahan dan pelayanan pengurbanan serta menjadi utusan Allah di dunia ini. Itu berarti bahwa gereja memiliki fungsi yang rangkap tiga:
* memuliakan Tuhan lewat penyembahan (adoration)
* memuliakan Tuhan lewat pelayanan pengorbanan (sacrificial service)
* memuliakan Tuhan lewat menjadi utusan Allah di dunia ini (to be God's missionary to the world).
Memuliakan Tuhan lewat penyembahan berarti mengakui kedaulatan Tuhan dalam kehidupan hic et nunc. Mengakui kedaulatan Tuhan harus tampak lewat kata, sikap dan tindak yang senantiasa menempatkan Tuhan selaku yang disembah dan bukan berusaha untuk menempatkan diri sendiri sebagai yang disembah.
Memuliakan Tuhan lewat pelayanan pengorbanan. Gereja tidak eksis untuk diri sendiri. Gereja ada di dunia ini demi dan untuk dunia ini. Oleh karena itu gereja tidak boleh terarah kepada diri sendiri melainkan harus senantiasa terarah keluar. Gereja tidak boleh terpukau dengan keberadaan diri sendiri lalu melupakan fungsinya yang utama. Gereja tidak boleh membangun "menara Babel" bagi kemuliaan diri melainkan terus-menerus hidup dalam kepedulian kepada yang lain, sebagaimana Allah sendiri memperdulikan kita.
Memuliakan Tuhan lewat menjadi utusan Allah di dunia ini berarti gereja diangkat oleh Allah sendiri untuk menjadi duta kebenaran, kebaikan dan keadilan yang bukan hanya disampaikan lewat mulut, tetapi harus nyata lewat kata dan perbuatan. Benarkah Gereja masih berfungsi selaku duta kebenaran, kebaikan dan keadilan?

2.5. Tugas-tugas Gereja
Bagi Yohanes Calvin, Allah menciptakan gereja untuk membantu manusia mencapai persekutuan dengan Kristus, dan itulah juga yang menjadi tugas utama gereja. Dan agar tugas utama gereja itu dapat terlaksana dengan baik, Allah mengaruniakan Firman dan Sakramen-sakramen demi memperkokoh iman warga gereja, dan juga mengaruniakan pelayan-pelayan untuk melaksanakan tugas gereja secara tertib dan teratur.
Chris de Jonge mengatakan bahwa “Calvin sangat menonjolkan tugas gereja untuk mendidik dan membina orang-orang percaya.”[6] Dalam seluruh aktivitas pelayanannya, gereja harus mengajar dan membina orang agar kadar imannya meningkat, dan hidup lebih sesuai dengan kehendak Allah. Oleh karena itu tugas-tugas pendidikan dan pembinaan gereja tidak hanya berkaitan dengan ajaran belaka, tetapi yang lebih penting lagi menata tingkah laku manusia.
Sehubungan dengan itu, disiplin gereja tidak digunakan untuk mengucilkan warga jemaat yang menolak untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah, tetapi disiplin gerejawi terutama digunakan untuk memperbaiki cara hidup, peri laku dan perbuatan orang-orang percaya.
Dengan demikian tugas-tugas pendidikan dan pembinaan, pemberitaan Firman Tuhan, sakramen-sakramen, pastoral dan sebagainya harus tertuju pada titik yang satu, yakni mencapai persekutuan yang indah dengan Kristus dan dengan sesama, yang menunjukkan hadirnya tanda-tanda Kerajaan Allah.

2.6. Kekuasaan Gereja
Sejarah gereja menyaksikan bahwa dari abad ke abad dan hingga pada saat ini dan bahkan untuk seterusnya gereja ada dan akan terus berada oleh karena ia memiliki kekuasaan yang "luar biasa". Apakah sumber kekuasaan gereja? Dan untuk apakah gereja memperoleh kekuasaan itu?
Mengenai sumber kekuasaan gereja, Berkhof mengatakan bahwa "Yesus Kristus bukan hanya mendirikan Gereja, melainkan juga mengaruniakannya kekuasaan atau otoritas yang dibutuhkannya."[7] Itu berarti bahwa Yesus Kristus adalah sumber kekuasaan gereja. Pencurahan kuasa Roh Kudus yang diceriterakan di Kisah Rasul-Rasul menunjukkan bahwa sejak saat itu Allah telah melimpahkan wewenang dan kekuasaan kepada gerejaNya.[8]
Untuk apakah Allah melimpahkan wewenang dan kekuasaan kepada gereja? Jawabannya ialah agar gereja dapat berperan serta dalam rencana penyelamatan yang dilakukan Allah dan agar gereja dapat mencapai tujuannya untuk memberlakukan kehendak Allah di dunia ini, dan agar gereja dapat pula melaksanakan tugas panggilannya. Itu berarti bahwa kekuasaan gereja adalah kekuasaan yang dikaruniakan Allah untuk melayani. Karena kekuasaan gereja adalah karunia Allah, maka kekuasaan gereja bukanlah kekuasaan yang independen.[9] Oleh karena itu penyelenggaraan kekuasaan gereja haruslah dilakukan sesuai dengan kehendak si pemberi kekuasaan itu sendiri.

3. Kepejabatan Gerejawi
Gereja eksis karena ada missio ecclesiae. Missio ecclesiae itu sendiri merupakan pelaksanaan dan penggenapan missio Dei, yakni rencana Allah bagi keselamatan seluruh ciptaan-Nya. Berkaitan dengan itu, seluruh pelayanan gereja dilakukan dalam rangka pelaksanaan dan penggenapan missio Dei itu.
Namun harus disadari pula bahwa seluruh pelayanan gerejawi itu, pada hakikatnya adalah pemberian Yesus Kristus. Warga dan seluruh pejabat gereja wajib menyambut pemberian tersebut secara bertanggung jawab. Pelayanan sang Pelayan Agung, yakni Yesus Kristus adalah landasan bagi pelayanan gereja.[10]
Bertolak dari pemahaman tersebut, maka kepejabatan itu harus dilihat sebagai panggilan. Dan bagi mereka yang terpanggil untuk menjalankan fungsi-fungsi khusus dalam gereja, Allah memberikan karunia-karunia yang sesuai dengan tugas-tugas yang mereka emban.[11] Di samping itu para pemangku jabatan gerejawi itu haruslah sungguh-sungguh hidup beriman, berdedikasi penuh dalam pelayanan, dan benar-benar mengasihi Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat.[12]
Berbicara tentang jabatan-jabatan gerejawi, Yohanes Calvin menggolongkan jabatan-jabatan gerejawi dalam Perjanjian Baru kedalam dua golongan, yakni jabatan-jabatan luar biasa (extraordinary) dan jabatan-jabatan biasa (ordinary). Jabatan-jabatan luar biasa ialah jabatan-jabatan rasul, nabi dan penginjil. Jabatan-jabatan itu disebut luar biasa karena jabatan-jabatan itu tidak diwariskan kepada pejabat-pejabat gereja berikutnya. Jabatan-jabatan itu tidak ada lagi di masa kini.
Sedangkan jabatan-jabatan yang biasa ialah jabatan-jabatan yang terus ada dalam sepanjang sejarah gereja dan masih ditemukan dalam gereja di masa kini. Pada masa Calvin jabatan-jabatan itu ialah gembala (pendeta), penatua, diaken dan doktor (pengajar). Sedangkan jabatan-jabatan yang ada di GPIB sekarang ini ialah penatua, diaken dan pendeta.

4. Fungsi Kepejabatan Gerejawi
Kepejabatan gerejawi dalam Alkitab tidak pernah dikaitkan dengan kata bia, yakni kekuasaan yang berdasarkan kekuatan atau paksaan. Penggunaan kata bia itu juga ditolak oleh Plato dalam filsafat politiknya. Kepejabatan gerejawi dalam Alkitab selalu dikaitkan dengan kharisma (karunia), klesis (panggilan), dan diakonia (pelayanan).
Oleh sebab itu, Karl Barth, yang kemudian diikuti juga oleh Abineno, lebih suka menggunakan kata “kepelayanan” daripada kepejabatan. Dengan kata “kepelayanan” itu, hendak ditunjukkan bahwa memangku kepejabatan gerejawi bukanlah untuk mengejar status dan kekuasaan.
Jika demikian apakah fungsi kepejabatan gerejawi itu? Fungsi kepejabatan gerejawi, sesungguhnya sama dengan fungsi gereja, yakni untuk memuliakan Tuhan. Bagi seorang pejabat gereja/pelayan Allah, haruslah tercermin lewat seluruh keberadaan hidup dan aktivitasnya, lewat ucap, sikap dan tindak yang didasarkan pada kemurnian dan ketulusan hati… bahwa segala sesuatu yang dilakukannya hanyalah untuk kemuliaan Allah (Soli Deo Gloria).

5. Tugas-tugas Kepejabatan Gerejawi
Menurut Calvin, ada empat jabatan gerejawi yang ditetapkan oleh Yesus Kristus, Kepala Gereja. Sesuai Peraturan Gereja Geneva (1561), jabatan-jabatan itu adalah: gembala (pendeta), doctor (pengajar), penatua dan diaken.
Tugas-tugas kepejabatan itu adalah sebagai berikut:
· Tugas pendeta ialah melayankan firman dan sakramen, bersama-sama dengan penatua mengawasi kehidupan jemaat dan menegur warga jemaat yang lalai.
· Tugas pengajar ialah mengajar jemaat dewasa, kaum muda, anak-anak dan para calon pelayan.
· Tugas penatua ialah mengawasi kehidupan moral etis jemaat dan menegur mereka yang lalai.
· Tugas diaken adalah melayani orang sakit, miskin, para janda miskin yang tidak memiliki anak untuk merawat mereka.
Calvin berpendapat bahwa jabatan-jabatan gerejawi itu bukan berasal dari manusia, melainkan pemberian Allah. Para pemangku jabatan-jabatan gerejawi itu adalah manusia biasa, namun dipanggil untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Memang mereka dipilih dari antara warga jemaat, tetapi mereka tidak bertanggung jawab kepada jemaat, melainkan kepada Yesus Kristus Kepala Gereja.

6. Refleksi Penutup
Kepejabatan gerejawi adalah karunia. Kepejabatan gerejawi itu adalah pemberian Allah. Mereka yang memangku jabatan-jabatan gerejawi adalah orang-orang yang menjawab panggilan Allah untuk memberlakukan kehendak-Nya lewat pelayanan mereka. Oleh karena itu para pemangku jabatan gerejawi itu bertanggung jawab kepada DIA yang memanggil dan memberi tugas untuk memberlakukan kehendak-Nya itu.
Kepejabatan gerejawi itu berfungsi untuk memuliakan Allah. Oleh karena itu, para pemangku jabatan gerejawi tidak boleh mencuri kemuliaan Allah, lalu mengejar kemuliaan bagi diri sendiri!
Dalam melaksanakan tugas-tugas kepejabatan, para pemangku jabatan gerejawi hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa kendatipun mereka dipilih dari antara warga jemaat, oleh warga jemaat, namun mereka bukan wakil jemaat yang duduk di Majelis Jemaat. Jabatan-jabatan gerejawi itu adalah pemberian Allah, dan oleh karena itu mereka harus memberlakukan kehendak Allah dan bukan kehendak jemaat. Mereka harus bertanggung jawab kepada Allah dan bukan kepada jemaat. Hal itu berarti bahwa tidak seorangpun pemangku jabatan gerejawi itu yang boleh berkata, kehendak jemaat begini atau begitu, melainkan harus benar-benar berupaya mencari tahu kehendak Yesus Kristus sang Kepala Gereja, lalu memberlakukannya. Bentuk pemerintahan di dalam gereja bukan demokrasi melainkan Kristokrasi. Kristuslah yang memerintah, dan segala kemulliaan hanya bagi DIA. SOLI DEO GLORIA.






Daftar Kepustakaan


Abednego, Benyamin A. Jabatan Gereja dan Kharisma. Jakarta: BPK Gunung Mulia dan PERSETIA, 1984.

Abineno, J.L.Ch., Diaken. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1994.

______________, Penatua: Jabatannya dan Pekerjaannya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.
Barth, Karel, Dogmatik im Grundrisz. Zollikon, 1947.

Berkhof, Louis, Systematic Theology. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1998.

Bolkestein, M.H., Azaz-azaz Hukum Gereja. Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966.

Gettys, Joseph M., What Presbyterians Believe. Clinton: Presbyterian College, 1968.

Howard, G., The Church Redemptive. Nashville: Abingdon Press, 1958.

Mackay, John A., The Presbyterian Way of Life. Englewood Cliffs, 1960.

Rapar, Jan H., “The Ekklesia of God.” Diss., International Seminary, 1982.

van den End, Ch., Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2000.

[1] Lihat Jan Hendrik Rapar, "The Ekklesia of God" (Th.D. diss., International Seminary, 1982), p. 7.
[2] Ibid., p. 17.
[3] Rapar, The Ekklesia, p. 25.
[4] Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Dalam Kemantapan Kebersamaan Menapaki Dekade Penuh Harapan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 43.
[5] Rapar, The Ekklesia, p. 60.
[6] Chris de Jonge, “Ekklesiologi, Penataan Gereja dan Jabatan Gerejawi menurut Yohannes Calvin,” Penuntun, 1, No. 3 (1995), p. 238.
[7] Louis Berkhof, Systematic Theology (Grand Rapids: Wm.B.Eeerdmans Publishing Co., 1988), p. 593.
[8] Band. Joseph M. Gettys, What Presbyterians Believe (Clinton, n.p., 1968), p. 89.
[9] Band. Berkhof, Ibid., p. 594.
[10] The Office of The General Assembly, The Constitution of The Presbyterian Church: Book of Order (Louisville: The Office of The General Assembly, 2002), GT-6.0000-,0106.

[11] Ibid.

[12] Ibid.