Tuesday, June 22, 2010

FILSAFAT DAN METODOLOGI: Perkenalan Awal dengan Filsafat Ilmu

Dr. J. H. Rapar, Th.D., Ph.D.

Pengantar

Pembahasan tentang metodologi selaku telaah sistematik mengenai metode ilmiah merupakan bagian dari Filsafat Ilmu. Kendatipun metode-metode ilmiah sejak dahulu kala telah menjadi salah satu pokok bahasan yang sentral dalam filsafat, namun pengakuan terhadap metodologi sebagai salah satu disiplin ilmu, baru diberikan belakangan ini.

Filsafat Ilmu (Philosophy of Science) berbeda dengan Filsafat Pengetahuan (Philosophy of Knowledge) yang dikenal juga dengan nama Epistemologi. Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan dalam epistemologi ialah mengenai sumber, asal-mula dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan pengetahuan, serta validitas dan relaibilitas(reliability) dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi itu ialah: apakah pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?

Filsafat ilmu sebenarnya memiliki dua tendensi, yakni yang “bertendensi metafisik” dan yang bertendensi “metodologik.”[1] Filsafat ilmu yang bertendensi metafisik membahas baik tentang basis ilmu tetapi juga tentang obyek ilmu dengan mempersoalkan tentang entitas dan hakikatnya, dapatkah manusia mengetahui obyek ilmu itu dengan benar dan apakah kebenaran ilmiah itu sendiri. Sedangkan filsafat ilmu yang bertendensi metodologik mempersoalkan tentang sistem cara kerja ilmu, validitas inferensi, konstruksi argumentasi dan data yang relevan. Filsafat ilmu yang berorientasi pada metodologi disebut Logika Ilmu.

Dari pokok bahasan filsafat ilmu terlihat bahwa sesungguhnya filsafat ilmu itu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan. Ruang lingkup filsafat ilmu lebih bersifat khusus sedangkan ruang lingkup filsafat pengetahuan lebih umum. Oleh karena itu, filsafat pengetahuan dapat disebut sebagai epistemologi umum, sedangkan filsafat ilmu adalah epistemologi khusus.

Percakapan kita berikut ini berkisar pada epistemologi khusus dan lebih khusus lagi tentang logika ilmu. Namun sebelumnya kita perlu mempercakapkan terlebih dahulu mengenai apakah filsafat, apakah ilmu dan bagaimanakah hubungan keduanya.

Apakah Filsafat dan Ilmu itu?

Pertanyaan tentang apakah filsafat dan ilmu itu sesungguhnya telah setua filsafat dan ilmu itu sendiri. Pertanyaan itu harus dijawab dengan memberikan definisi yang tepat mengenai filsafat dan ilmu itu, tetapi justru di situ letak kesulitannya, sebab tidak ada satu pun definiens yang benar-benar memadai untuk memberi batasan arti kepada definiendum. Jika definisi tidak pernah memuaskan, lalu bagaimanakah kita hendak menemukan jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan itu?

Untuk memahami apakah filsafat dan apakah ilmu itu, lebih baik kita coba mendeskripsikan ciri-ciri atau sifat-sifat dari filsafat dan ilmu itu. Ciri-ciri filsafat ialah logis, metodis dan sistematis. Logis karena ia menggunakan premis-premis yang tepat untuk meraih konklusi yang benar, metodis karena ia menggunakan metode tertentu dan sistematis karena suatu totalitas dirinci ke dalam bagian-bagian yang satu sama lainnya berurut secara rasional dan koheren. Tetapi harus segera ditegaskan pula bahwa ciri-ciri filsafat itu adalah juga ciri-ciri ilmu. Jika demikian, apakah perbedaan antara filsafat dan ilmu?

Memang apabila kita hanya mengamati ciri-ciri filsafat dan ilmu, maka kita tidak akan dapat menemukan perbedaan, karena pada hakikatnya kedua-duanya memiliki ciri-ciri yang sama. Sesungguhnya, perbedaan antara keduanya terlihat pada obyeknya masing-masing.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa validitas ilmu justru ditentukan oleh obyeknya. Suatu pengetahuan hanya dapat disebut sebagai ilmu apabila ia memiliki obyek, baik obyek material maupun obyek formal. Obyek material harus konkret agar dapat diobservasi dan diteliti menurut metode yang sesuai dengan obyek formalnya. Obyek ilmu terbatas hanya kepada satu obyek material tertentu yang dihampiri sesuai dengan sudut pandang obyek formalnya. Sebagai contoh: kedokteran obyek materialnya manusia sedangkan obyek formalnya penyakit dan terapinya, sosiologi obyek materialnya manusia dan obyek formalnya hubungan antar individu, individu dan masyarakat serta hubungan antar kelompok dan sebagainya.

Obyek filsafat adalah segala-galanya. Filsafat membuat seluruh realitas menjadi obyeknya (termasuk kebenaran prima principia) yang diteliti per ultimas causas yang merupakan obyek formal filsafat. Dan oleh karena obyek-obyek dari semua ilmu adalah obyek filsafat, maka dapatlah dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu dari ilmu atau ilmunya ilmu. Historis, filsafat memang merupakan mater scientiarum (induk dari segala ilmu pengetahuan), karena seluruh ilmu pengetahuan yang ada lahir dari filsafat.

Hubungan Filsafat dan Ilmu

Sebagaimana yang telah disebutkan tadi bahwa secara historis seluruh ilmu pengetahuan berasal dari filsafat. Memang pada mulanya apa yang disebut filsafat itu mencangkum seluruh ilmu pengetahuan.

Dalam perkembangan selanjutnya, lambat laun ilmu mulai memisahkan diri dari filsafat. Menurut Alfred N. Whitehead, ilmu mencapai titik kulminasi perkembangannya pada periode 1870 - 1880.[2] Sesudah itu ilmu telah tinggal landas.

Kendatipun berbagai ilmu pengetahuan itu telah berdiri sendiri, namun selaku “anak-anak” dari filsafat, ilmu-ilmu itu mewarisi sebagian besar karakter induknya. Sebagaimana yang telah dikatakan tadi bahwa baik filsafat maupun ilmu kedua-duanya memiliki ciri-ciri yang logis, metodis dan sistematis. Tetapi apabila bertolak dari obyeknya maka akan terlihat bahwa karena sesuatu ilmu hanya memiliki satu obyek material yang konkret maka ilmu melahirkan spesialis-spesialis, sedangkan filsafat yang obyeknya “segala sesuatu” melahirkan generalis-generalis. Ilmu yang harus memiliki satu obyek yang konkret membuat hipotesis-hipotesis yang benar salahnya harus dibuktikan lewat pengalaman, sedangkan filsafat tidak membuat hipotesis-hipotesis melainkan konsepsi-konsepsi yang benar salahnya diuji oleh akal budi semata-mata, yang berarti bahwa benar salahnya dibuktikan lewat spekulasi. Oleh karena itu seringkali dikatakan bahwa ilmu bersifat empirik dan filsafat bersifat spekulatif. Ilmu hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena fisik sebab itu ia harus melakukan riset dan eksperimen sedangkan filsafat hendak menjangkau apa yang berada di belakang fenomena fisik itu dengan akal budinya. Ilmu berupaya meraih kebenaran ilmiah, yakni kesesuaian pengetahuan dan obyeknya, sedangkan filsafat berupaya untuk memahami hakikat, asas-asas dan prinsip-prinsip dasar tetapi juga untuk meraih arti dan makna. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ilmu berada pada batas pengalaman sedangkan filsafat melampaui batas-batas pengalaman. Jika ilmu dikembangkan terus, pada akhirnya ia akan tiba pada batas itu sehingga mau atau tidak ia harus kembali kepada induknya untuk memecahkan persoalan-persoalan yang berada di luar batas kompetensinya. Hal itulah yang menghadirkan filsafat dalam berbagai bidang ilmu, seperti: filsafat matematika, filsafat hukum, filsafat politik, filsafat pendidikan, filsafat bahasa , filsafat manajemen dan sebagainya.

Selaku mater scientiarum, filsafat memberi dasar dan landasan bagi ilmu untuk berkembang. Pada saat ilmu diperhadapkan dengan masalah-masalah yang sangat mendasar namun melampaui batas pengalaman maka dibutuhkan bantuan filsafat karena ia mempelajari semua bidang per ultimas causas. Tatkala ilmu-ilmu yang semakin terspesialisasi itu menjadi begitu asing terhadap satu dengan yang lainnya maka filsafat dibutuhkan untuk menjembatani jurang pemisah yang ada di antara ilmu-ilmu itu, karena filsafat yang mempelajari keseluruhan sanggup melihat kesatuan dari yang terpisah-pisah itu. Sesungguhnya filsafat pemberi dasar, perangka, pembangun landasan, penghubung dan pemersatu ilmu, sehingga walaupun ilmu-ilmu telah lama disapih oleh induknya, ilmu-ilmu itu tetap membutuhkan filsafat. Oleh karena itu banyak pakar yang mengatakan bahwa sesungguhnya hanya filsafatlah yang dapat memenuhi kebutuhan interdisipliner di masa kini.


Obyek Formal dan Metode

Metode sangat penting bagi pengembangan filsafat dan ilmu. Bahkan telah dikatakan sebelumnya bahwa salah satu ciri yang utama dari filsafat dan ilmu ialah metodis yang berarti filsafat dan ilmu harus memiliki metode. Metode menentukan berhasil tidaknya upaya menggapai kebenaran filsafati dan kebenaran ilmiah.

Ilmu-ilmu dapat dibedakan satu dari yang lainnya oleh obyek formalnya. Beberapa ilmu bisa memiliki obyek material yang sama namun obyek formalnya berbeda, misalnya sosiologi dan psikologi. Baik sosiologi maupun psikologi, obyek materialnya manusia namun obyek formalnya berbeda; sosiologi obyek formalnya pergaulan antar individu dan kelompok sedangkan psikologi obyek formalnya ialah tingkah laku manusia selaku pencerminan jiwanya. Obyek formal menentukan metode yang digunakan. Aristoteles mengatakan bahwa setiap obyek formal harus diteliti dengan metode yang sesuai. Hal itu berarti bahwa ada berbagai-bagi metode yang harus digunakan selaras dengan obyek formal suatu ilmu. Dengan demikian terlihat pula bahwa ada kaitan yang sangat erat antara obyek formal dengan metode. Bahkan sesungguhnya obyek formal dengan metode tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya, karena keduanya saling bergantung dan saling menentukan. Oleh karena itu, penentuan sesuatu metode yang hendak digunakan oleh suatu ilmu merupakan kompetensi dari ilmu itu sendiri. Tidak pernah ada satu metode yang dapat berlaku untuk semua bidang ilmu.

Kendatipun tidak ada satu metode yang dapat digunakan untuk semua bidang ilmu, tetapi karena ilmu-ilmu itu memiliki induk yang satu yakni filsafat, maka sesungguhnya ilmu-ilmu itu telah mewarisi satu metode dasar yang sama yang kemudian dikembangkan oleh masing-masing ilmu. Metode dasar itu disebut juga sebagai metode ilmiah umum,[3] sedangkan metode yang dikembangkan oleh masing-masing disiplin ilmu yang didasarkan pada metode ilmiah umum itu disebut metode ilmiah khusus.

Metode-Metode Ilmiah Umum

Metode-metode ilmiah umum membedakan dua situasi ilmiah yang berlainan satu sama lainnya,[4] yakni :

1. Situasi Inventif, yaitu situasi di mana metode digunakan selaku upaya yang ditempuh untuk memberi dasar atau untuk memperluas pengetahuan ilmiah (lewat penemuan baru ). Metode yang digunakan dalam situasi ini disebut metode penelitian.

2. Situasi Eksplikatif, yaitu situasi di mana metode digunakan untuk menguraikan, memaparkan, menjelaskan dan mengajarkan teori ilmiah yang telah tersusun dan terbentuk. Metode yang digunakan dalam situasi ini disebut metode edukatif, metode komunikatif dan sebagainya.

Metode penelitian yang fundamental[5] yang secara umum berlaku juga bagi metode edukatif ialah: :
1. Metode aposteriori (sering disebut metode kritis)
a. analisa/reduksi struktural :
- dari keseluruhan kompleks ke bagian yang sederhana.
- dari fakta-fakta atau gejala ke hakikat atau syarat- syarat.
b. induksi :
- dari yang singular ke yang universal.
- dari yang khusus ke yang umum.

c. regresi : dari akibat ke sebab.
- entah retrospektif : dari "sekarang" ke "dahulu".
- entah dari penglihatan "masa depan" ke "sekarang".

2. Metode apriori (sering disebut metode spekulatif).
a. Sintesa/produksi struktural :
- dari bagian yang sederhana ke keseluruhan kompleks.
- dari hakikat atau syarat-syarat ke fakta-fakta atau gejala.
b. Deduksi :
- dari yang universal ke yang singular.
- dari yang umum ke yang khusus atau mendetail.
c. Progresi : dari sebab ke akibat.
- entah evolutif : dari dahulu ke sekarang.
- entah prospektif : dari "sekarang" ke masa depan".

Metode-Metode Ilmiah Khusus

Setiap disiplin ilmu memiliki berbagai-bagai metode tersendiri, oleh sebab itu metode-metode yang digunakan dalam berbagai disiplin ilmu itu disebut metode-metode ilmiah khusus. Perlu pula dicatat bahwa dalam satu disi­plin ilmu tertentu, hampir tidak pernah ada metode tunggal, karena para ahli mengembangkan lagi metode yang telah ada sedemi­kian rupa sehingga memberi kesan seolah-olah setiap ahli memiliki metode tersendiri kendatipun tentu saja memiliki banyak persa­maan. Dalam contoh berikut ini, setiap disiplin ilmu menyajikan metode-metode pokok yang digunakan dengan tambahan catatan "dsb" untuk menunjukkan bahwa ada pengembangan metode-metode lain oleh ahli-ahli di bidang yang bersangkutan.

1. Sosiologi :
- metode observasi
- metode komparasi
- metode statistik
- metode studi-kasus
- metode historis-komparatif - dsb


2. Ilmu Politik :
- metode observasi
- metode analitis
- metode klasifikasi
- metode komparasi
- metode pengukuran (measurement) - dsb


3. Management :
- metode observasi
- metode analitis
- metode klasifikasi
- metode studi-kasus
- metode prediktif-hukum
- metode prediktif-struktural
- metode prediktif-proyektif
- metode prediktif-utopis - dsb

4. Psikologi :
- metode observasi
- metode komparasi
- metode klinis
- metode eksperimen
- metode genetis
- metode anamnese - dsb


Dilihat dari penyelesaian suatu proyek penelitian, maka metode ilmiah khusus itu dapat dibagi menjadi dua, sebagai berikut :

1. Metode Siklus-empirik : penelitian dilakukan di tempat yang tertutup atau di laboratorium.

2. Metode Vertikal dan Metode Linear : penelitian di lapan­gan; bagi metode vertikal dilakukan secara bertahap dengan urutan bawah ke atas atau sebaliknya, sedangkan bagi metode linear dilakukan setapak demi setapak dalam garis linear. Metode vertikal dan linear, pada umumnya digunakan dalam bidang-bidang ilmu : politik, ekonomi, sosiologi, dsb.


PERKEMBANGAN METODE ILMU PENGETAHUAN

Perkembangan metode ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh dua aliran besar dalam filsafat, yakni aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Kedua aliran ini saling bertarung dalam sepanjang sejarah filsafat.

Kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia bukan diperoleh lewat penalaran rasional abstrak melainkan lewat penga­laman empiris konkret. Fenomen-fenomen alami bersifat konkret dan dapat dipahami lewat tangkapan indra. Dan karena pengetahuan bersumber pada pengalaman inderawi, maka menurut empirisme, pengenalan inderawi adalah bentuk pengenalan yang paling sempur­na. Mereka secara radikal mengangkat data empiris sebagai sumber pembentukan pengetahuan. Dan dengan demikian empirisme dalam filsafat ilmu akan lebih mengandalkan dan mengutamakan sumbangan data empiris untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah. Itulah sebabnya induksi menjadi sangat penting bagi kaum empiris, seba­gai satu-satunya metode penalaran yang paling valid.

Sebaliknya, rasionalisme dalam teori pengetahuannya mengang­kat akal budi sebagai sumber pembentukan pengetahuan, yang berar­ti bahwa sumbangan akal lebih besar dari pada sumbangan pengala­man dan pengenalan inderawi. Rasionalisme menganggap mustahil untuk membangun suatu ilmu hanya berdasarkan fakta-fakta atau data-data empiris. Para penganut rasionalisme menganggap bahwa kendatipun ada begitu banyak jumlah fakta dan data empiris yang tersedia, tetap tidak akan cukup untuk menyusun suatu pernyataan universal yang berlaku secara mutlak. Sebabnya ialah : pengala­man senantiasa bersifat individual, karena itu tak mungkin menghasilkan suatu kebenaran yang universal. Paling jauh, penga­laman hanya menunjukkan bahwa sesuatu ada, atau sesuatu ada itu ada sedemikian rupa, ada begini atau ada begitu, akan tetapi tak pernah tiba pada suatu kesimpulan bahwa suatu itu seharusnya ada, atau seharusnya ada begini atau seharusnya ada begitu.

Oleh karena itu, bagi para penganut rasionalisme, yang paling utama dan yang paling dapat diandalkan adalah akal budi dan bukan pengalaman dan pengenalan inderawi. Dalam hal itu, deduksi adalah metode yang paling sahih dan yang sangat penting bagi kaum rasionalis, karena deduksilah metode penalaran ilmiah yang benar- benar mengandalkan akal budi manusia.


Dengan demikian jelas terlihat bahwa empirisme mengagungkan bentuk penalaran ilmiah induktif, bahkan dianggap yang paling valid sedangkan rasionalisme mengagungkan bentuk penalaran ilmiah deduktif dan dianggap sebagai yang paling sahih.


INDUKSI

Generalisasi Induktif [6]

Logika induktif (logika material) adalah cabang logika yang mempelajari prinsip-prinsip penalaran yang valid dengan bertolak dari sejumlah hal khusus untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. Penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik disebut generalisasi. Prinsip yang menjadi dasar penalaran generalisasi itu dapat dirumuskan demikian : apa yang berapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terjadi.

Baiklah kita mengambil contoh suatu penalaran induktif dari The Method of Science karya Thomas Henry Huxley (1825-1895), ia mengatakan demikian :

Kita hendak membeli apel, sebab itu kita mengunjungi suatu tempat menjual buah-buahan. Kita mengambil sebuah dan mencicipinya, ternyata masam rasanya. Kita memperhatikan apel itu dan ternyata bahwa apel itu keras dan hijau. Kita mengambil sebuah yang lain. Itupun keras, hijau dan masam. Si penjual buah menawarkan apel ketiga, akan tetapi sebelum mencicipinya, kita memperhatikannya dan ternyata bahwa yang ketiga itu pun keras dan hijau dan pada saat itu pun kita memberitahukan kepada si penjual bahwa kita tidak mau, karena yang itu pun pasti masam sama seperti kedua lainnya yang telah kita cicipi.[7]

Jalan pikiran si pembeli sejak dari awal hingga ia sampai pada kesimpulan bahwa apel yang ketiga itu pun masam rasanya, ialah suatu bentuk penalaran induktif.

Dari contoh diatas dua kali kita jumpai apel yang masam rasanya dalam kondisi keras dan hijau. Oleh sebab itu ketika mengetahui bahwa apel ketiga berada dalam kondisi yang sama, yaitu keras dan hijau, kita menyimpulkan, bahwa apel itupun akan masam rasanya. Konklusi yang demikian itu hanya merupakan hara­pan atau keyakinan, sebab konkulsi penalaran induktif tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti melainkan hanya suatu probabilitas atau suatu peluang. Dan memang dalam logika induk­tif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran yang pasti. Yang ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi.

Terlihat pula bahwa hasil penalaran induktif bersifat general, sehingga disebut generalisasi. Generalisasi tersebut berupa suatu proposisi universal, seperti: "semua apel yang keras dan hijau, rasanya masam" atau "semua logam yang dipanaskan memuai".

Dari contoh yang diberikan oleh Huxley tersebut di atas dapat pula diketahui ciri-ciri induksi, sebagai berikut :

1. Premis-premis dari induksi adalah proposisi-proposisi empirik yaitu fakta yang merupakan hasil langsung dari suatu observasi indera. Dalam hal itu pikiran tak dapat mempersoalkan benar tidaknya fakta itu, oleh sebab itu hanya dapat menerimanya. Sekali indera mengatakan demikian, pikiran tinggal menerimanya.



2. Konklusi penalaran induktif lebih luas daripada apa yang dinyatakan dalam premis-premisnya. Premis-premis hanya menunjukkan dua buah apel yang diobservasi dan yang ketiga dan seterusnya langsung dikatakan masam. Menurut keten­tuan logika, penalaran itu tidak sahih karena tidak didu­kung oleh premis-premis penalaran. Karena itu pikiran tidak terikat untuk menerima kebenaran konklusinya.

3. Kendatipun konklusi itu tidak mengikat, akan tetapi manu­sia yang normal akan menerimanya, kecuali jika ada alasan untuk menolaknya. Jadi konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya, dengan kata lain, konklusi induktif memiliki kredibilitas rasional. Kredibilitas rasional itu disebut probabilitas. Probabil­itas itu didukung oleh pengalaman yang menunjukkan bahwa konklusi itu biasanya cocok dengan observasi indera.

Analogi Induktif

Analogi juga sangat berperan dalam induksi. Berbicara ten­tang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain dan dua hal yang berlainan itu di bandingkan yang satu dengan yang lain. Lewat perbandingan itu, dicari persamaan dan perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran.

Contoh Analogi induktif :

1. Dalam Megaduta, karangan pujangga India, Kalidasa, dilu­kiskan seorang yang berada dalam pengasingan di tengah hutan teringat kepada kekasihnya dan melihat analogi di antara berbagai sifat kekasihnya dengan keadaan alam di sekitarnya, ia mengatakan :

sulur-sulur hijau membangkitkan kenanganku pada tubuhmu
pada mata kijang terkejut kulihat main matamu
melihat bulan kuingat pada sinar pipimu
rambutmu kulihat pada ekor merak
pada riak sungai yang tenang kulihat permainan keningmu.

2. Chairil Anwar dalam sajaknya mengatakan :

Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya yang terbuang .........

Apa yang diungkapkan oleh Chairil Anwar bukan sekedar analogi biasa tetapi suatu penalaran yang didasarkan atas analogi. Ia membuat perbandingan di antara dirinya dengan binatang jalang, akan tetapi juga menarik kesimpulan diatas dasar analogi itu, yaitu : bahwa aku ini dari kumpulannya terbuang ! (binatang jalang pada umumnya selalu diasingkan oleh kumpulannya).


Jadi terlihat bahwa analogi induktif tidak hanya menunjukkan persamaan diantara dua hal yang berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas dasar persamaan itu. Prinsip dasar analogi induktif itu dapat diformulasikan sebagai berikut :"karena d itu analog dengan a, b, dan c, maka apa yang berlaku untuk a, b, dan c, diharapkan berlaku juga untuk d.

Berbeda dengan generalisasi induktif, yang konkulsinya berupa proposisi universal, konklusi analogi induktif tidak selalu berupa proposisi universal, akan tetapi tergantung dari subyek- subyek yang diperbandingkan dalam analogi. Dan subyek itu bisa individual, partikular ataupun universal.


Kesesatan Induktif

Dalam penalaran induktif hingga pada penarikan konklusi, dapat terjadi kekeliruan atau kesesatan (fallacy/fallacia). Kesesatan yang berhubungan dengan penalaran induktif, yang ter­penting ialah :

1. Kesesatan karena tergesa-gesa menarik konklusi.
Contoh : Jejaka berjumpa gadis Solo di suatu pesta, kemudian dengan gadis solo kedua di toko dan ketiga di pentas. Ketiga-tiganya luwes ! Ia lalu ingin kawin dengan seorang gadis Solo yang dia­nggap semua luwes !

Konklusinya tergesa-gesa karena tiga fakta belum cukup dijadikan dasar konklusi yang dikenakan bagi seluruh wanita Solo yang berjumlah jauh lebih besar dari ketiga fakta itu.

2. Kesesatan karena kecerobohan dengan mengabaikan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi dalam induksi, misalnya, apel yang asam ialah yang kondisinya hijau dan keras. Jangan ceroboh menarik kesimpulan bahwa sebuah apel pasti masam rasanya hanya melihat warnanya hijau pada hal jika diraba ternyata tidak keras.

3. Kesesatan karena prasangka.
Contoh : Jejaka yang mempersunting gadis Solo tersebut diatas! Ia betul-betul yakin bahwa istrinya itu luwes karena gadis Solo.

Lalu ibunya berkomentar kepadanya :

- kok istrimu seperti pedagang di pasar jika berbicara ?
+ karena ibu kalau berbicara mesti keras-keras sehingga ia mengira bahwa ibu agak tuli !
- mengapa istrimu kalau jalan seperti dikejar setan ?
+ karena ibu selalu membuat ia terkejut dan ketakutan !

Prasangka membuat orang tak mengindahkan fakta-fakta yang tidak cocok dengan konklusi yang telah diambilnya.


D E D U K S I

Logika Deduktif (Logika Formal)

Logika deduktif adalah cabang logika yang mempelajari prin­sip-prinsip penalaran yang valid berdasarkan bentuknya dan yang konklusinya secara "semestinya" diturunkan dari premis-premisnya.

Untuk mempraktekkan deduksi, logika deduktif menggunakan silogisme. Sesungguhnya, silogisme adalah penemuan Aristoteles yang terbesar dan yang paling mengagumkan di bidang logika dalam sejarah filsafat.

Silogisme memiliki tiga proposisi, dua proposisi awal disebut premis-premis dan kesimpulan yang ditarik dari premis-premis itu disebut konklusi. Jadi setiap silogisme terdiri dari dua premis dan sebuah konklusi. Tiap-tiap proposisi itu harus memiliki dua term, jadi setiap silogisme haruslah memiliki enam term. Tetapi karena setiap term dalam satu silogisme senantiasa disebut dua kali, maka sebenarnya dalam setiap silogisme hanya ada tiga term. Apabila proposisi yang ketiga, yaitu proposisi yang disebut konklusi diperhatikan dengan sekasama, maka pada proposisi ketiga itu terdapat dua term dari tiga term yang


disebut tadi. Yang menjadi subyek konklusi disebut term minor dan yang menjadi predikat konklusi disebut term mayor. Term yang terdapat pada kedua proposisi disebut term tengah.

Contoh silogisme :

Semua manusia adalah fana
John adalah manusia
Jadi : John adalah fana

Catatan : 1. Ketiga kalimat tersebut diatas adalah proposisi
2. Proposisi 1 dan 2 disebut premis
3. Proposisi ke 3 disebut konklusi
4. Ketiga term dalam contoh tersebut diatas ialah :
manusia, fana dan John.

Hukum Penyimpulan

Penalaran adalah proses berpikir yang didasarkan pada premis yang benar untuk menarik konklusi yang benar pula. Hal itu dapat dicapai apabila bentuk penalarannya sahih. Berdasarkan asumsi bahwa untuk penalaran itu bentuknya valid, maka hubungan kebenar­an antara premis dan konklusi itu dapat dirumuskan ke dalam hukum-hukum sebagai berikut :

1. Apabila premisnya benar,konklusi penalaran adalah benar.
Hukum itu cukup jelas, sebab konklusi itu terkandung di dalam premis. Maka kalau premisnya benar maka konklusinya pun tentu harus benar. Sebaliknya apabila konklusinya salah, maka kesalahan itu disebabkan karena premisnya sudah salah. Kesalahan konklusi sudah terkandung dalam premis yang salah. Maka hukum penyimpulan yang kedua ialah :

2. Apabila konklusi penalaran salah, maka premisnya juga salah.
Akan tetapi apabila premis penalaran salah, belum tentu konklusinya salah, seperti terlihat pada contoh berikut :
- Malaikat itu benda fisik
Batu itu malaikat
Jadi : Batu itu benda fisik
Maka hukum penyimpulan ketiga ialah :

3. Apabila premisnya salah konklusi penalaran dapat benar dapat salah.
Akan tetapi apabila konklusinya benar, belum tentu prem­isnya benar. Apabila kita bertolak dari konklusi yang benar, terbukti premisnya salah. Maka hukum keempat dapat berbunyi demikian:

4. Apabila konklusinya benar, premis penalaran dapat benar dapat salah.

Kekeliruan Karena Bahasa

Penalaran bisa salah karena kekeliruan bahasa. Beberapa kekeliruan karena bahasa yang perlu dihindari adalah sebagai berikut :

1. Kekeliruan karena aksen atau tekanan
contoh : tiap pagi pasukan mengadakan apel
apel itu buah
Jadi : tiap pagi pasukan mengadakan buah


2. Kekeliruan karena term ekuivok (memiliki arti lebih dari satu).

contoh : sifat abadi adalah sifat ilahi
John adalah mahasiswa abadi
jadi : John adalah mahasiswa yang bersifat ilahi

3. Kekeliruan karena arti kiasan

Jika dalam suatu penalaran sebuah arti kiasan disamakan dengan arti sebenarnya atau sebaliknya, terjadilah kesesa­tan karena arti kiasan. Kesesatan yang demikian itu sering disengaja dalam lawak.

4. Kekeliruan dalam Amfiboli

Amfiboli terjadi kalau konstruksi sebuah kalimat itu sedemikian rupa, sehingga artinya bercabang, misalnya :
- mahasiswa yang duduk diatas meja paling depan .......
apa yang paling depan !? mahasiswa ? atau meja ?


kesesatan relevansi

1. Argumentum ad hominem

Menolak suatu usul, tidak berdasarkan alasan penalaran ilmiah tetapi karena menolak orang yang mengusul.

2. Argumentum ad verecumdiam atau Argumentum auctoritatis

Menerima suatu usul karena kewibawaan, atau keahlian seseorang.

3. Argumentum ad beculum

Menerima usul karena ancaman

4. Argumentum ad misericordiam

Penalaran lewat belas kasihan

5. Kesesatan non causa pro causa

Suatu sebab yang sebenarnya bukan sebab atau bukan sebab yang lengkap

P E N U T U P

Pembahasan tentang metodologi selaku telaah sistematik mengenai metode ilmiah merupakan bagian dari Filsafat Ilmu.

Filsafat ilmu sebenarnya memiliki dua tendensi, yakni yang “bertendensi metafisik” dan yang bertendensi “metodologik.”[8] Filsafat ilmu yang bertendensi metafisik membahas baik tentang basis ilmu tetapi juga tentang obyek ilmu dengan mempersoalkan tentang entitas dan hakikatnya, dapatkah manusia mengetahui obyek ilmu itu dengan benar dan apakah kebenaran ilmiah itu sendiri. Sedangkan filsafat ilmu yang bertendensi metodologik mempersoalkan tentang sistem cara kerja ilmu, validitas inferensi, konstruksi argumentasi dan data yang relevan. Filsafat ilmu yang berorientasi pada metodologi disebut Logika Ilmu.

Metode sangat penting bagi pengembangan filsafat dan ilmu. Bahkan perlu ditegaskan bahwa salah satu ciri yang utama dari filsafat dan ilmu ialah metodis yang berarti filsafat dan ilmu harus memiliki metode. Metode menentukan berhasil tidaknya upaya menggapai kebenaran filsafati dan kebenaran ilmiah.

Metode-metode ilmiah dibagi ke dalam metode-metode ilmiah umum dan metode-metode ilmiah khusus. Metode-metode ilmiah umum selalu terdapat di semua bidang ilmu pengetahuan yang kemudian di lengkapi dan diperkaya dengan metode-metode ilmiah khusus yang hanya berlaku di bidang disiplin ilmu masing-masing.

Metode-metode ilmiah membutuhkan bentuk penalaran ilmiah yang merupakan suatu proses sistematik dan logis untuk meraih pengeta­huan ilmiah (scientific knowledge). Penalaran ilmiah itu ada dua macam, yang sesuai dengan jenis pembagian logika, yaitu : logika induktif dan logika deduktif.

Bentuk penalaran induktif dengan bentuk penalaran deduktif senantiasa bersaing untuk meraih pengakuan atas validitasnya bagi penelaahan ilmu pengetahuan.

Para ilmuwan masa kini tidak lagi mempertentangkan kedua bentuk penalaran ilmiah itu, tetapi menerima keduanya sebagai bentuk penalaran ilmiah induktif-deduktif selaku cara kerja yang komplementaris.


Tomohon, 10 Oktober 1994 -

Catatan:

[1] Lihat C.A.Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu (Jakarta: Penerbit
PT Gramedia, 1985), hlm. 1-2.

[2] Lihat Alfred N. Whitehead, Science Philosophy (New York: Philosophical Library, 1948), p. 106.

3 Lihat Anton Baker, Metode-Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 16.

[4] Ibid.

[5] Ibid. hlm 17

[6] R.G.Soekadijo, Logika Dasar (Jakarta :Penerbit P.T.Gramedia), hlm. 131-141.

[7] Diangkat dari Alssid, Michael W., dan William Kenney, The World of Ideas (New York, 1966), hlm 533
et seq.

Alkitab: Kanonisasi dan Pewahyuan


Dr. Jan H. Rapar, Th.D., Ph.D.




Pendahuluan
Alkitab terdiri dari 66 kitab dan ditulis oleh ratusan bahkan mungkin ribuan orang dalam kurun waktu ribuan tahun. Bukan itu saja, isi berita Alkitab itu pun ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah umat manusia hingga kini, kendati pun senantiasa ada orang yang menyangsikan, menolak dan membencinya.
Sesungguhnya Alkitab memperoleh tempat yang sentral dalam Gereja dan dalam iman orang Kristen. Tetapi apakah sentralitas Alkitab dalam Gereja dan kehidupan iman Kristen itu memang harus demikian? Di era posmodern ini ternyata mulai banyak orang yang meragukan otoritas Alkitab dan relevansinya di tengah-tengah kehidupan manusia dengan nilai-nilai yang terus berubah dengan cepat.
Oleh karena itu, selaku warga gereja kita perlu lebih mengenal berbagai ihwal tentang Alkitab yang akan memampukan kita untuk menempatkannya sebagaimana mestinya.

Allah Penulis Alkitab?
Apabila seorang pengkhotbah selesai membaca bagian Alkitab yang hendak dikhotbahkannya, seringkali kita mendengar ia berkata: “… demikianlah Firman Tuhan!” Alkitab disebut Firman Tuhan atau Firman Allah. Dan oleh sebab itu pula, Alkitab disebut sebagai Kitab Suci. Benarkah ungkapan-ungkapan demikian itu? Apakah Allah yang menulis Alkitab sehingga Alkitab disebut Firman Allah atau Kitab Suci?
Dalam bukunya yang berjudul, The Old Testament Without Illusion, John L. McKenzie mengatakan “…paham bahwa Allah menulis Alkitab telah eksis dalam Yudaisme sebelum kekristenan ada dan paham itu telah diterima bulat-bulat oleh gereja apostolik” (McKenzie, 1980: 11). Paham yang demikian itu ternyata masih memiliki pengaruh yang sangat kuat di kalangan sebagian orang-orang kristen masa kini.
Memang menjelang peralihan abad 19 ke 20, telah sering terjadi perdebatan sengit dan polemik tajam secara terbuka antara mereka yang mempertahankan bahwa Alkitab adalah Firman Allah dengan orang-orang yang mengatakan bahwa Alkitab mengandung Firman Allah. Mereka yang mengatakan bahwa Alkitab adalah Firman Allah disebut fundamentalis, sedangkan mereka yang mengatakan bahwa Alkitab mengandung Firman Allah disebut liberal.
Mereka yang yakin bahwa Alkitab adalah Firman Allah juga mempertahankan ketaksalahan Kitab Suci (inerrancy of the Scripture) atau ketakkeliruan Alkitab (inffalibility of the Bible). Sebab bagaimana mungkin Alkitab bisa salah jika Allah sendiri yang menulis Alkitab lewat inspirasi Roh Kudus?
Sebaliknya mereka yang mengatakan bahwa Alkitab mengandung Firman Allah membuktikan bahwa ada cukup banyak kesalahan dan kekeliruan yang terdapat di dalam Alkitab. Sebagai contoh, di dalam Perjanjian Lama dikatakan bahwa Belsazar adalah anak Nebukadnezar namun sebenarnya bukan! Demikian pula di dalam Matius 27:9 yang dikatakan dikutip dari Yeremia, tetapi ternyata bukan dari Yeremia melainkan dari Zakharia 11:12.
Jika Allah itu Mahasempurna dan Mahatahu mengapa bisa terdapat banyak kekeliruan di dalam Alkitab? Atau Allah memang bukan penulis Alkitab itu sehingga jika terdapat kekeliruan di dalam Alkitab kita tidak bisa mempersalahkan Allah? Hal itu akan dibahas kemudian. Berikut ini kita akan melihat terlebih dahulu, apakah umat Allah itu memang harus beralkitab atau adakah umat Allah yang tanpa Alkitab?
Umat Allah Tanpa Alkitab?
Umat Allah masakini hidup ketika Alkitab sudah jadi, sudah dikenal, diterima dan diakui sebagai regula fidei (patokan iman) dan berfungsi selaku κανών - kanon (ukuran) iman kristiani. Kita mungkin tidak pernah memikirkan bahwa di masa silam, berabad-abad lamanya, umat Allah hidup tanpa Alkitab. Mungkin anda lebih terkejut jika dikatakan begini: “sebenarnya umat Allah yang diceriterakan dalam Alkitab hidup tanpa Alkitab!” Abraham, Musa, Daud, Yesaya, Yermia dan Nabi-Nabi serta umat Perjanjian Lama hidup tanpa Perjanjian Lama, demikian pula Yohanes, Lukas, Paulus, Petrus dan umat Allah yang hidup di zaman Perjanjian Baru hidup tanpa Perjanjian Baru. Umat Alkitab itu hidup tidak ditentukan oleh Kitab Suci yang tertulis lengkap sehingga religi mereka bukanlah religi skriptural. Iman umat Alkitab tidak diatur oleh Kitab Suci.
Jika demikian bagaimana iman mereka bisa bertumbuh? Bagaimana mereka mengenal kehendak Tuhan dan memberlakukannya? Para nabi menerima Firman Allah lewat persekutuan yang erat dengan Allah. Daud dikatakan berjalan bersama Allah! Sebelum Alkitab lengkap tertulis, umat Allah meneruskan firman Allah dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut secara lisan.
Dengan demikian jelas terlihat bahwa firman Allah tidak senantiasa bergantung pada Alkitab. Jangan sampai kita berpikir bahwa di luar Alkitab tidak ada firman Allah. Jangan sampai kita memberhalakan Alkitab. Alkitab kendatipun “buku besar” tetapi hanyalah buku! Firman Allah tidak mungkin dapat tertuang seluruhnya pada sebuah buku! Jika Firman Allah hendak dibukukan maka alam semesta tidak akan sanggup memuat semua kitab-kitab itu (band. Yohanes 21:25). Jadi jelas terlihat bahwa Alkitab tidak dapat diidentikkan dengan Firman Allah sehingga tanpa Alkitab berarti tidak ada Firman Allah! Sesungguhnya Allah terus-menerus berfirman kendatipun tanpa Alkitab! Alkitab bukanlah Firman Allah yang tanpa salah!
Firman Allah Yang Tanpa Salah
Firman Allah yang tanpa salah hanyalah Sang Λόγος – Logos yang sejak semula bersama-sama Allah bahkan yang adalah Allah itu sendiri (Yohanes 1:1) yang telah datang dalam rupa dan bentuk manusia di dalam diri Yesus Kristus. Yesus Kristus-lah Firman Allah yang hidup dan yang sempurna. Dialah yang secara sempurna memberitakan dan memberlakukan Firman Allah tanpa salah.
Jadi bukan Alkitab yang tanpa salah, melainkan Kristus-lah Firman Allah yang hidup yang tanpa salah. Alkitab hanya menyaksikan secara tertulis tentang Yesus Kristus oleh karena itu tidak pantaslah untuk mengidentikkan Alkitab dengan Firman Allah atau pun memberhalakannya!

Alkitab Untuk Apa?
Jika Allah terus-menerus berfirman kendatipun tanpa Alkitab, dan bahwa Alkitab hanyalah menyaksikan tentang Yesus Kristus Firman yang hidup itu, maka mungkin ada yang berpikir bahwa sesungguhnya Alkitab tidak begitu dibutuhkan!? Tentu saja tidak demikian! Kita patut bersyukur bahwa kita memiliki Alkitab sekarang ini! Mengapa? Jika sabda Allah harus diteruskan dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut secara lisan dengan mengandalkan ingatan, maka karena ingatan manusia tidak sempurna tentu saja sabda Allah itu pun tidak terpelihara dengan baik. Tetapi apabila sabda Allah itu telah tertulis tentu saja akan lebih baik daripada yang direkam oleh ingatan! Oleh karena itu Alkitab merupakan pustaka terbatas sabda Tuhan dan salah satu sarana penyingkapan Firman Allah. Dikatakan “terbatas” oleh karena Alkitab tidak memuat seluruh sabda Tuhan, dan dikatakan “salah satu sarana” karena Alkitab bukan satu-satunya sarana penyingkapan Firman Allah.
Jika Alkitab diakui sebagai regula fidei (patokan iman) dan berfungsi selaku κανών - kanon (ukuran) iman kristiani maka itu berarti bahwa Alkitab menjadi tolok ukur kebenaran pemahaman iman dan segala pemberitaan, sikap serta perbuatan kristiani. Dari ungkapan tersebut tadi terlihat dengan jelas bahwa bagaimanapun juga, Alkitab benar-benar memiliki otoritas tertinggi bagi pemahaman dan kehidupan iman kristiani orang-orang percaya.

Alkitab diwahyukan?
Orang-orang Kristen percaya bahwa Alkitab diwahyukan! Bagaimanakah pewahyuan itu berlangsung? Ada orang yang mengira bahwa Allah mendikte lalu nabi-nabi dan rasul-rasul menuliskan kata demi kata kalimat demi kalimat apa yang didiktekan Allah itu. Karena manusia hanya berfungsi selaku juru tulis belaka, maka sesungguhnya Allah sendirilah yang menulis Alkitab itu. Dan itu berarti bahwa isi Alkitab tidak mungkin keliru. Alkitab pasti tanpa kesalahan!
Ada pula yang mengira bahwa Roh Kudus menguasai para penulis Alkitab sedemikian rupa dengan menghilangkan kesadaran dan kemampuan budi manusia yang terbatas, lalu menggerakkan tangan mereka untuk menuliskan Firman Allah. Tetapi perlu dicamkan bahwa Roh Kudus begitu menghargai pribadi dan kemampuan manusia yang merupakan pemberian Allah sendiri dan tidak pernah “memperkosa” manusia dengan menghilangkan kesadarannya. surat-surat Rasul Paulus yang menjadi bagian Alkitab itu, ditulis dengan penuh kesadaran dengan maksud melayani dan memecahkan berbagai masalah yang sedang dihadapi oleh jemaat yang dikirimi surat itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa Paulus sendiri tidak mengetahui bahwa surat-suratnya itu kelak akan menjadi bagian Alkitab! Kita mengetahui bahwa Alkitab itu diwahyukan justru karena Alkitab menyaksikan segala perbuatan Allah yang mencapai puncaknya di dalam Kristus, dengan jelas dan benar dan menjadi tolok ukur pemahaman, ajaran dan landasan tindakan umat Allah yang konsisten di segala abad dan tempat.

Ipsissima Verba
Seandainya Alkitab benar-benar merekam ipsissima verbasabda aktual Tuhan, maka teks Alkitab itu benar-benar Firman Allah kata demi kata bahkan huruf demi huruf. Tentu saja dalam hal itu sama sekali tidak ada peran manusia. Dengan demikian Alkitab bebas kesalahan dan kekeliruan.
Tetapi kenyataannya tidak demikian! Sebagaimana yang telah ditunjukkan sebelumnya, ada banyak kesalahan dan kekeliruan yang terdapat di dalam Alkitab. Hal itu bukan hanya menunjukkan keterbatasan ingatan manusia tetapi juga ketidakmampuan manusia untuk membahasakan Firman Tuhan ke dalam teks Alkitab secara sempurna.
Kenyataan demikian itu tidak dapat menumbangkan kewibawaan Alkitab. Kewibawaan Alkitab tidak bergantung pada tanpa salahnya teks Alkitab melainkan pada kejelasan kesaksiannya terhadap Firman Hidup, Yesus Kristus, serta pada peran dan fungsi Alkitab dalam kehidupan iman.

Ipsissima Vox
Kendatipun tidak mungkin untuk menemukan kembali ipsissima verba yang utuh dan lengkap, tetapi itu tidak berarti bahwa Alkitab tidak mampu mengkomunikasikan Firman Allah. Lewat Alkitab kita dapat mendengarkan ipsissima voxsuara aktual Allah atau suara aktual sang Firman yang hidup.
Jika kita sedang mendengarkan dan menikmati suara seorang penyanyi kesayangan kita lewat piringan hitam, maka selain suara sang penyanyi, sebenarnya ada suara-suara lain yang terdengar, misalnya suara musik yang mengiring nyanyian tersebut, tetapi jika kita amati lebih cermat, ada juga suara gesekan antara jarum dan piringan hitam! Namun tentu saja suara yang paling menonjol yang terdengar ialah suara si penyanyi itu sendiri. Demikianlah ipsissima vox terdengar dengan jelas dan terang lewat Alkitab kendatipun Alkitab tentu saja tidak bebas dari “suara-suara lain” yakni “suara” si penulis itu sendiri: budaya, adat-istiadat, kebiasaan dsb..
Sebab itu, kendatipun ipsissima verba tidak mungkin dapat ditemukan kembali, tetapi ipsissima vox tetap menjamin kewibawaan Alkitab. Jadi kewibawaan Alkitab tidak perlu dibela dan dipagari dengan ungkapan bahwa Alkitab (dalam semua bagiannya bahkan secara harfiah) tidak mungkin salah!

Tentang "Kanon"
Kata "kanon" dari bahasa Yunani, sebenarnya diserap dari bahasa­-bahasa semitik yang dalam bahasa Iberani digunakan kata qaneh. Kaneh atau kanon itu semula berarti tongkat atau bambu atau tongkat bambu yang digunakan sebagai pengukur, yang kemudian sering disebut sebagai tongkat pengukur (Yeh. 40:3) dan sesudah itu secara berangsur-angsur terjadi pergeseran makna dari tongkat pengukur menjadi ukuran atau pun patokan (Galatia 6: 16). Gereja perdana menggunakan kata kanon dengan arti ukuran/aturan kebenaran atau aturan iman atau pun norma.

Pada abad II Masehi, kata kanon memperoleh tambahan makna yang baru, yakni daftar atau tabel. Tentu saja yang dimaksudkan dengan daftar atau tabel ialah segala sesuatu yang secara ber-urut disusun dalam deretan sejumlah hal yang mengacu kepada sesuatu yang tanpa diragukan lagi digunakan selaku patokan. Dalam hal itu, daftar kitab-kitab dalam Alkitab disebut juga kanon.

Kanon Alkitab
Pada tahun 360 Konsili Laodikia menghimbau dan menganjurkan para pemimpin Gereja agar dalam kebaktian-kebaktian mereka, mereka hanya menggunakan kitab-kitab kanonik saja. Berkaitan dengan anjuran dan himbauan itu, pada tahun 367, Atanasius menyusun daftar seluruh kitab dalam Alkitab. Pada tahun 397, Konsili Kartago mengacu kepada kanon tersebut di atas, yang berlaku sampai sekarang ini, yang terdiri dari 39 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru.


Bahasa asli yang digunakan dalam Perjanjian Lama hampir seluruhnya bahasa Iberani, dan ada beberapa bagian yang ditulis dalam bahasa Aram, yakni Ezra 4:8-6: 18; 7: 12-26; Daniel 2:4-7:28 dan Yermia 10:11, sedangkan Perjanjian Baru seluruhnya ditulis dalam bahasa Yunani Koine.

Daftar kitab-kitab Alkitab (Perjanjian Lama) orang Yahudi yang ditetapkan di Yamnia (beberapa mil di sebelah Selatan Tel Aviv) menjelang akhir tahun 100 Masehi, sejumlah 24 kitab sebagai berikut:


Kitab Taurat: (5) Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan
Nabi-Nabi awal: (4) Yosua, Hakim-Hakim, I & II Samuel, I & II, Raja-Raja
Nabi-Nabi kemudian: (4) Yesaya, Yermia, Yehezkiel, 12 Nabi kecil (Hosea s/d Maleakhi yang merupakan satu kitab saja)
Tulisan-Tulisan: Puisi (3) Mazrnur, Amsal dan Ayub
Gulungan (5) Rut, Kidung Agung, Pengkhotbah, Ratapan, dan Ester
Tulisan lain (3) Daniel, Ezra dan Nehemia (satu kitab), I dan II Tawarikh (satu kitab)


Menurut tradisi kuno, ahli Taurat Ezra yang telah menyusun, menyatukan dan membulatkan kanon Alkitab (perjanjian Lama). Hal itu terjadi pada abad V SM. Tradisi itu diteguhkan pula oleh Yosefus, ahli sejarah Yahudi, dalam bukunya yang berjudul Contra Apionem. Menurut tradisi tersebut, Musa menulis Pentateukh dan selebihnya ditulis oleh Nabi­-Nabi yang diutus Allah. Sesudah Ezra, tidak ada lagi kitab-kitab atau tulisan-tulisan yang setara dengan apa yang telah dikumpulkan dan disatukan oleh Ezra itu.

Namun temyata sesudah Ezra bertambah lagi daftar kitab-kitab dalam Perjanjian Lama dengan Tawarikh-Ezra-Nehemia, Pengkhotbah dan Daniel. Oleh karena itu, tradisi tersebut di atas tidak dapat diterima sepenuhnya dan perlu dibicarakan lebih lanjut.

Sesungguhnya, upaya mengumpulkan dan menyatukan kitab-kitab dan tulisan-tulisan sudah lama dimulai sebelum tersusun kanon (Perjanjian Lama) sebagai satu kesatuan. Ada para ahli yang mengatakan bahwa segala upaya itu telah dimulai lebih dari satu milenium SM. Pada abad X SM tersusunlah tahap pertama dari Kitab Taurat dan Nabi-Nabi Awal. Pada abad VIII­ - VI SM tersusunlah tahap kedua dari Kitab Taurat dan Nabi-Nabi Awal itu. Dari apa yang telah tersusun itu, temyata telah diterima selaku kanon dalam reformasi Raja Yosia (II Raja-Raja 22 & 23). Sesudah masa pembuangan berlangsunglah penyusunan tahap III Kitab Taurat. Kitab Taurat itu baru betul-betul diakui selaku kanon sekitar tahun 450 SM. Mengenai Kitab Nabi­-Nabi, orang-orang Samaria belum menerimanya sampai sekitar tahun 300 SM. Sedangkan Tu/isan- Tu/isan baru diakui sebagai kanon pada sekitar tahun 165 SM.


Kanonisasi Perjanjian Baru
Sekitar seratus tahun awal sejarah Gereja, tidak terlihat keinginan yang menyolok untuk menyusun dan menetapkan satu kanon yang harus diberlakukan di tengah persekutuan kristiani. Namun kenyataan menunjukkan bahwa selama seratus tahun awal itu terlihat ada perkembangan yang menempatkan tulisan-tulisan tertentu pada tempat yang istimewa di tengah kehidupan persekutuan kristiani. Menjelang akhir abad I, Surat-Surat Paulus telah mendapat tempat yang istimewa. Sampai pertengahan abad II, rupanya Kitab-Kitab Injil, Kisah Para Rasul, dan Wahyu sudah dikenal di kalangan umat kristiani. Karena pada waktu itu telah banyak kelompok persekutuan dengan ajaran-ajaran yang menyimpang dan menyesatkan, maka dimulailah suatu kebiasaan untuk mempersoalkan secara kritis apakah suatu tulisan itu benar-benar apostolik sehingga dapat diterima, atau harus ditolak karena ternyata tidak rasuli. Menjelang akhir abad II, Irenaeus, anak didik Polykarpus (murid Rasul Yohanes) telah menerima ke 4 Injil dan 13 surat Paulus, I Petrus, I & II Yohanes, Wahyu dan Kisah Para Rasul.

Pada abad IV rupanya telah dicapai kesepakatan antara gereja-gereja berbahasa Yunani dan Latin untuk menerima ke 27 tulisan sebagaimana yang kita miliki sekarang ini.

Apokrifa dan Pseudoepigrafa
Ada tulisan-tulisan atau kitab-kitab yang dalam proses kanonisasi Perjanjian Lama tidak mendapat tempat dalam kanon Alkitab. Kitab-kitab atau tulisan-tulisan yang demikian itu disebut kitab-kitab atau tulisan-tulisan apokrif. Kitab-kitab atau tulisan-tulisan apokrif itu terdiri dari: III Ezra, Tobit, Yudit tambahan Ester, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, Surat Yeremia, tambahan Daniel, Doa Manase dan I - III Makabe. Namun apa yang disebut oleh Protestan apokrif, oleh Gereja Katolik disebut deutrokanonika.

Ada juga kelompok tulisan yang oleh Protestan disebut pseudoepigrafa, oleh Katolik disebut apokrif. Pseudoepigrafa terdiri dari, Surat Aristeas, Kitab lobel, Kenaikan Yesaya, Mazmur Salomo, IV Makabe, Kitab Sybillina, Kitab Henokh, Kenaikan Musa, IV Ezra, Apokalipse Barukh (Yunani), Apokalipse Barukh (Syria), Nyanyian Pujian Salomo" Wasiat 12 Datuk, Surat Damaskus dan Riwayat Adam dan Hawa.

Friday, June 18, 2010

Masa Kelam

langit mendung
malam sepi
dingin mencium tulang
terseok aku di kaki lima Pasar Senen
nyaris roboh
perut kosong
lengang
ada tanya di hati
malam ini tanpa tepi?
tiada harapan?
dan lembaran-lembaran hidup ini kelam...kelam... kelam?





kwitang timur, 1961
jan hendrik rapar

kembara separuh abad

di mana aku kini?
kususur waktu
separuh abad telah berlalu
kembara jauh! jauh?
kutatap hatiku:
ada duka
ada derita
ada kubangan air mata hitam!
ada pedih
dan cinta yang kudamba
tak pernah bersua!



tomohon di hut ke 50
19 juli 1995
jan hendrik rapar

Gereja Tua




masih ingat pohon waru tua?
bangku tua?
nenek tua?
di sana!
ya… di sana!
kertas-kertas tua berceceran
empat puluh tahun silam.
kini: sepi!
dan gereja tua itu
musnah tak berbekas
tiada lagi dentang lonceng!
tiada lagi untaian doa!
tiada lagi kidung pujian.



jan hendrik rapar

kesepian

kupu-lupu terbang
tiga kali mengitariku
seolah heran dan bertanya
apa yang kau tunggu di sini?
ada harap
ada rindu
tapi hanya ada bangku kosong
dan sepi yang menemani



jan hendrik rapar

Thursday, May 6, 2010

Lanjut Usia :
Eksistensi dan Peranannya dalam Masyarakat



Pendeta Jan H. Rapar

Pendahuluan
Saya diminta untuk menyampaikan ceramah dengan topik (pokok pembicaraan) “Peran Senior dalam Masyarakat dan Lingkungan.” Bertolak dari topik tersebut, saya menyusun makalah ini dengan judul “Lanjut Usia: Eksistensi dan peranannya dalam masyarakat.”
Istilah “senior” sengaja saya pertajam menjadi “lanjut usia” untuk membatasi konotasi “senior” yang terlampau luas dan sangat relatif. Dalam Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, J. S. Badudu mengatakan bahwa “senior” berarti orang yang pangkatnya lebih tinggi, dan masa kerjanya lebih lama, atau lebih tua dalam usia. Lebih tua dalam usia sangat relatif. Yang berusia 90 tahun tentu senior dari yang berusia 80 tahun, tetapi yang berusia 5 tahun juga merupakan senior dari yang berusia 3 tahun, dan yang berusia 6 bulan tentu senior dari yang berusia 5 bulan.
Istilah “lanjut usia” pun sebenarnya masih relatif sebab berbagai kalangan menetapkan patokan yang berbeda-beda untuk “lanjut usia” itu. Pada zaman Romawi purba, usia 45 tahun ke atas sudah dianggap “lanjut usia” dan hanya dalam keadaan terpaksa, mereka boleh ikut berperang. Pada masa kini ada yang menetapkan “lanjut usia” itu 65 tahun keatas, tetapi juga ada yang menetapkan (termasuk pemerintah Indonesia) 60 tahun ke atas, dan jika kondisi kesehatan masyarakat semakin membaik, bisa saja kemudian ditetapkan 70 atau 75 tahun ke atas.

Eksistensi Lanjut Usia dalam Berbagai Kebudayaan Dunia
Manusia lanjut usia senantiasa eksis dalam masyarakat manusia dengan kebudayaannya masing-masing, kapan pun dan dimana pun juga, tetapi eksistensi mereka diterima secara berbeda menurut kebudayaannya masing-masing. Jika kita melihat hasil seni pahat dan lukisan-lukisan di zaman Yunani-Romawi purba, yang paling banyak ditonjolkan adalah orang-orang muda yang berotot, tegap dan kekar. Hal itu menunjukkan bahwa kebudayaan Yunani-Romawi sangat mengagungkan masa muda manusia.
Dalam lukisan-lukisan Cina, paling sering ditampilkan pria dan wanita yang berusia lanjut, dengan rambut yang telah putih bagaikan salju. Usia lanjut merupakan lambang kebahagiaan, kearifan, dan pengetahuan yang luas sehingga layak dipanuti. Lambang yang juga seringkali mereka gunakan ialah pohon pinus. Pohon pinus bisa tinggi sekali, daunnya tetap hijau (ever green) kendatipun diselimuti salju. Usia pohon pinus bisa mencapai 400 tahun. Dengan demikian kebudayaan Cina mengagungkan masa tua manusia.
Kebudayaan Jawa sebagaimana yang dilukiskan dalam kitab Wulangreh, manusia itu bagaikan pohon beringin. Pohon beringin itu semakin tua semakin kokoh dan semakin rindang yang amat berguna bagi semua yang datang bernaung di bawahnya. Jadi kebudayaan Jawa juga menghargai masa tua manusia.
Dalam kebudayaan yang kurang menghargai lanjut usia, tentu saja mereka tidak dapat berperan atau peran mereka sangat terbatas dalam masyarakat. Tetapi dalam kebudayaan yang sangat menghargai lanjut usia, mereka dapat berperan dengan leluasa dalam masyarakat.

Berbagai Persoalan Yang Dihadapi Orang-orang Lanjut Usia
Jika ekonomi kita bertambah maju, dan teknologi serta fasilitas kesehatan terus meningkat, maka jumlah penduduk Indonesia usia 60 tahun ke atas akan semakin bertambah banyak. Pada manusia lanjut usia sering dijumpai berbagai gangguan yang menjadi persoalan yang menghambat mereka untuk berperan dalam masyarakat. Prof. Dr. dr. S.M. Lumbantobing mengatakan bahwa pada manusia lanjut usia, sering dijumpai gangguan daya ingat (memori), gangguan kecerdasan (kognitif), gangguan fungsi gerak dan rasa, serta gangguan keseimbangan dan koordinasi.
Menjadi tua memang merupakan fenomena universal, tetapi derap dan lajunya berbeda-beda antar individu. Pada lanjut usia terjadi berbagai perubahan fisik, seperti kulit mengeriput, rambut memutih dan menipis, gigi berlobang dan copot, tinggi badan berkurang, ketajaman penglihatan dan pendengaran menurun, dan pengecapan pun berkurang. Densitas tulang juga berkurang, terutama pada wanita.
Bukan hanya segi fisik, biologik dan fungsional organisme yang mengalami penurunan dan gangguan, tetapi juga psikologis. Dalam teori perkembangan kepribadian, aspek kejiwaan pada lanjut usia dipandang sebagai akibat dari interaksi kepribadian yang telah terbentuk pada masa dewasa dengan berbagai situasi kehidupan selanjutnya. Kemudian dianggap bahwa cirri-ciri kepribadian yang telah terbentuk sampai masa dewasa akan tetap bertahan hingga lanjut usia. Adanya perubahan atau desintegrasi kepribadian merupakan kehilangan atau keruntuhan dari bentuk yang telah dicapai.
Ada juga hal yang menarik, menurut hasil observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa pria lanjut usia memiliki kecendrungan untuk berkawan dan ikut dalam kelompok sesama lanjut usia, sedangkan wanita lanjut usia cenderung menjadi lebih individual, egoistis dan egosentris, tetapi juga agresif. Memang pada umumnya sering dikatakan bahwa wanita itu lebih emosional, sedangkan pria lebih rasional. Tetapi yang lebih tepat dikatakan ialah bahwa emosionalitas wanita itu berbeda dengan emosionalitas pria.
Memang gangguan deterioratif di bidang fisik dan psikologis tidak dapat dihindari, tetapi tidak berarti bahwa orang-orang lanjut usia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Di Negara-negara maju, para lanjut usia masih banyak yang terus bekerja dan produktif. Masih banyak dari antara mereka yang berperan aktif dalam berbagai kegiatan di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan mereka.

Lanjut Usia menurut Erikson
Menurut Erik Erikson, bagi orang-orang yang telah lanjut usia ada dua kemungkinan perkembangan, yaitu berkembang kearah generativitas atau stagnasi. Mereka yang berkembang kearah integritas-ego akan berkembang kea rah gererativitas. Sedangkan perkembangan yang stagnatif membawa mereka ke kutub sebaliknya, yaitu putus asa.
Ciri-ciri perkembangan yang stagnatif ialah, mereka merasa hidup tidak mempunyai arti apa-apa lagi, membosankan dan sia-sia. Tetapi ada juga cirri perkembangan stagnatif lain, yakni mereka yang telah berpuas diri dengan apa yang telah mereka miliki, harta, kekayaan, hiburan dan sebagainya. Hidupnya terhenti sampai disitu, bagaikan memasuki jalan buntu.
Sedangkan ciri-ciri perkembangan yang generatif ialah bijak dan arif, tetap melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat sambil terus-menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, sehingga mereka tetap produktif.

Perkembangan Stagnatif dan Generatif dalam Alkitab
Alkitab juga menceriterakan tentang perkembangan yang stagnatif dan perkembangan yang generatif. Sebagai contoh, Raja Salomo, ketika muda ia adalah seorang yang terkenal sangat bijaksana, dan sangat produktif. Tetapi di masa tuanya ia telah berpuas diri dengan istri-istrinya yang lebih dari seribu itu. Ia mengalami perkembangan yang stagnatif.
Sebaliknya, Elia di masa tuanya Tuhan masih mempercayakan kepadanya suatu tugas khusus, yakni mencari penggantinya. Dan kepercayaan yang diberikan Tuhan itu dilakukannya dengan baik. Ia tidak takut kehilangan kedudukan, malah ia mempersiapkan generasi penerusnya yang berkualitas.
Sampai tua manusia tetap bisa produktif apabila ia mencapai integritas diri dengan memandang hidupnya sebagai mata rantai dan penerus roda kehidupan manusia. Hal itulah yang dimaksudkan oleh seorang pemazmur ketika ia berkata: “Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon; mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita. Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar” (Mazmur 92:1315).



Peranan Lanjut Usia Dalam Masyarakat
Rupanya bagi bangsa-bangsa di Timur Tengah termasuk Israel, orang-orang lanjut usia memiliki peranan yang sangat penting dalam komunitas mereka. Dalam Keluaran 3:16, ditunjukkan bahwa komunitas Israel yang diperbudak di Mesir telah memiliki orang-orang lanjut usia yang berperan selaku pemimpin mereka. Ketika Musa diutus Tuhan untuk membebaskan umat Israel, Musa disuruh bekerja sama dengan orang-orang tua itu.
Sesudah masa pengembaraan di padang gurun, rupa-rupanya setiap kota memiliki institusi pemerintahan sendiri yang terdiri dari para tua-tua yang menurut Kitab Ulangan berfungsi selaku hakim-hakim. Jumlah tua-tua yang memerintah dalam perkembangannya kemudian mulai dibatasi sehingga akhirnya hanya 70 orang saja. Kita tidak tahu bagaimana proses perekrutannya, tetapi tentu saja mereka yang dipilih adalah mereka yang tidak pikun, dan fisiknya masih menopang pelaksanaan tugas mereka itu.
Di masa Yesus dan Rasul-rasul hidup, tua-tua Yahudi sama-sama berkuasa dengan para imam kepala dalam memutuskan soal-soal agama, dan jika perlu dalam mengucilkan orang dari Bait Allah. Dengan demikian para tua-tua itu tetap berperan aktif dalam pemerintahan, sejauh kesehatan mereka masih memungkinkan untuk itu.
Sekarang ini di Indonesia, sudah cukup banyak orang yang masih tetap bekerja kendatipun usianya sudah lanjut. Banyak yang pensiun dari pegawai negeri sipil (PNS) masih bekerja di perusahaan-perusahaan swasta sehingga mereka masih berperan dalam masyarakat. Tentu tidak semua yang dapat berperan seperti itu, karena kondisi fisik atau karena ketidaktersedianya pekerjaan.
Tetapi ada suatu lapangan kerja, di mana diharapkan semua orang lanjut usia terpanggil untuk berperan di dalamnya, yakni pewarisan nilai-nilai hidup bagi generasi penerus, mulai dari lingkungan kecil sekitar keluarga kita sendiri, yakni anak, cucu, cicit dan seterusnya. Jika para lanjut usia dapat melaksanakan panggilannya itu dengan sebaik-baiknya, maka sudah dapat dipastikan bahwa berbagai tindak kekerasan dalam masyarakat dapat dicegah.