Thursday, May 6, 2010

Lanjut Usia :
Eksistensi dan Peranannya dalam Masyarakat



Pendeta Jan H. Rapar

Pendahuluan
Saya diminta untuk menyampaikan ceramah dengan topik (pokok pembicaraan) “Peran Senior dalam Masyarakat dan Lingkungan.” Bertolak dari topik tersebut, saya menyusun makalah ini dengan judul “Lanjut Usia: Eksistensi dan peranannya dalam masyarakat.”
Istilah “senior” sengaja saya pertajam menjadi “lanjut usia” untuk membatasi konotasi “senior” yang terlampau luas dan sangat relatif. Dalam Kamus Kata-Kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia, J. S. Badudu mengatakan bahwa “senior” berarti orang yang pangkatnya lebih tinggi, dan masa kerjanya lebih lama, atau lebih tua dalam usia. Lebih tua dalam usia sangat relatif. Yang berusia 90 tahun tentu senior dari yang berusia 80 tahun, tetapi yang berusia 5 tahun juga merupakan senior dari yang berusia 3 tahun, dan yang berusia 6 bulan tentu senior dari yang berusia 5 bulan.
Istilah “lanjut usia” pun sebenarnya masih relatif sebab berbagai kalangan menetapkan patokan yang berbeda-beda untuk “lanjut usia” itu. Pada zaman Romawi purba, usia 45 tahun ke atas sudah dianggap “lanjut usia” dan hanya dalam keadaan terpaksa, mereka boleh ikut berperang. Pada masa kini ada yang menetapkan “lanjut usia” itu 65 tahun keatas, tetapi juga ada yang menetapkan (termasuk pemerintah Indonesia) 60 tahun ke atas, dan jika kondisi kesehatan masyarakat semakin membaik, bisa saja kemudian ditetapkan 70 atau 75 tahun ke atas.

Eksistensi Lanjut Usia dalam Berbagai Kebudayaan Dunia
Manusia lanjut usia senantiasa eksis dalam masyarakat manusia dengan kebudayaannya masing-masing, kapan pun dan dimana pun juga, tetapi eksistensi mereka diterima secara berbeda menurut kebudayaannya masing-masing. Jika kita melihat hasil seni pahat dan lukisan-lukisan di zaman Yunani-Romawi purba, yang paling banyak ditonjolkan adalah orang-orang muda yang berotot, tegap dan kekar. Hal itu menunjukkan bahwa kebudayaan Yunani-Romawi sangat mengagungkan masa muda manusia.
Dalam lukisan-lukisan Cina, paling sering ditampilkan pria dan wanita yang berusia lanjut, dengan rambut yang telah putih bagaikan salju. Usia lanjut merupakan lambang kebahagiaan, kearifan, dan pengetahuan yang luas sehingga layak dipanuti. Lambang yang juga seringkali mereka gunakan ialah pohon pinus. Pohon pinus bisa tinggi sekali, daunnya tetap hijau (ever green) kendatipun diselimuti salju. Usia pohon pinus bisa mencapai 400 tahun. Dengan demikian kebudayaan Cina mengagungkan masa tua manusia.
Kebudayaan Jawa sebagaimana yang dilukiskan dalam kitab Wulangreh, manusia itu bagaikan pohon beringin. Pohon beringin itu semakin tua semakin kokoh dan semakin rindang yang amat berguna bagi semua yang datang bernaung di bawahnya. Jadi kebudayaan Jawa juga menghargai masa tua manusia.
Dalam kebudayaan yang kurang menghargai lanjut usia, tentu saja mereka tidak dapat berperan atau peran mereka sangat terbatas dalam masyarakat. Tetapi dalam kebudayaan yang sangat menghargai lanjut usia, mereka dapat berperan dengan leluasa dalam masyarakat.

Berbagai Persoalan Yang Dihadapi Orang-orang Lanjut Usia
Jika ekonomi kita bertambah maju, dan teknologi serta fasilitas kesehatan terus meningkat, maka jumlah penduduk Indonesia usia 60 tahun ke atas akan semakin bertambah banyak. Pada manusia lanjut usia sering dijumpai berbagai gangguan yang menjadi persoalan yang menghambat mereka untuk berperan dalam masyarakat. Prof. Dr. dr. S.M. Lumbantobing mengatakan bahwa pada manusia lanjut usia, sering dijumpai gangguan daya ingat (memori), gangguan kecerdasan (kognitif), gangguan fungsi gerak dan rasa, serta gangguan keseimbangan dan koordinasi.
Menjadi tua memang merupakan fenomena universal, tetapi derap dan lajunya berbeda-beda antar individu. Pada lanjut usia terjadi berbagai perubahan fisik, seperti kulit mengeriput, rambut memutih dan menipis, gigi berlobang dan copot, tinggi badan berkurang, ketajaman penglihatan dan pendengaran menurun, dan pengecapan pun berkurang. Densitas tulang juga berkurang, terutama pada wanita.
Bukan hanya segi fisik, biologik dan fungsional organisme yang mengalami penurunan dan gangguan, tetapi juga psikologis. Dalam teori perkembangan kepribadian, aspek kejiwaan pada lanjut usia dipandang sebagai akibat dari interaksi kepribadian yang telah terbentuk pada masa dewasa dengan berbagai situasi kehidupan selanjutnya. Kemudian dianggap bahwa cirri-ciri kepribadian yang telah terbentuk sampai masa dewasa akan tetap bertahan hingga lanjut usia. Adanya perubahan atau desintegrasi kepribadian merupakan kehilangan atau keruntuhan dari bentuk yang telah dicapai.
Ada juga hal yang menarik, menurut hasil observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa pria lanjut usia memiliki kecendrungan untuk berkawan dan ikut dalam kelompok sesama lanjut usia, sedangkan wanita lanjut usia cenderung menjadi lebih individual, egoistis dan egosentris, tetapi juga agresif. Memang pada umumnya sering dikatakan bahwa wanita itu lebih emosional, sedangkan pria lebih rasional. Tetapi yang lebih tepat dikatakan ialah bahwa emosionalitas wanita itu berbeda dengan emosionalitas pria.
Memang gangguan deterioratif di bidang fisik dan psikologis tidak dapat dihindari, tetapi tidak berarti bahwa orang-orang lanjut usia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Di Negara-negara maju, para lanjut usia masih banyak yang terus bekerja dan produktif. Masih banyak dari antara mereka yang berperan aktif dalam berbagai kegiatan di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan mereka.

Lanjut Usia menurut Erikson
Menurut Erik Erikson, bagi orang-orang yang telah lanjut usia ada dua kemungkinan perkembangan, yaitu berkembang kearah generativitas atau stagnasi. Mereka yang berkembang kearah integritas-ego akan berkembang kea rah gererativitas. Sedangkan perkembangan yang stagnatif membawa mereka ke kutub sebaliknya, yaitu putus asa.
Ciri-ciri perkembangan yang stagnatif ialah, mereka merasa hidup tidak mempunyai arti apa-apa lagi, membosankan dan sia-sia. Tetapi ada juga cirri perkembangan stagnatif lain, yakni mereka yang telah berpuas diri dengan apa yang telah mereka miliki, harta, kekayaan, hiburan dan sebagainya. Hidupnya terhenti sampai disitu, bagaikan memasuki jalan buntu.
Sedangkan ciri-ciri perkembangan yang generatif ialah bijak dan arif, tetap melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat sambil terus-menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan masyarakat, sehingga mereka tetap produktif.

Perkembangan Stagnatif dan Generatif dalam Alkitab
Alkitab juga menceriterakan tentang perkembangan yang stagnatif dan perkembangan yang generatif. Sebagai contoh, Raja Salomo, ketika muda ia adalah seorang yang terkenal sangat bijaksana, dan sangat produktif. Tetapi di masa tuanya ia telah berpuas diri dengan istri-istrinya yang lebih dari seribu itu. Ia mengalami perkembangan yang stagnatif.
Sebaliknya, Elia di masa tuanya Tuhan masih mempercayakan kepadanya suatu tugas khusus, yakni mencari penggantinya. Dan kepercayaan yang diberikan Tuhan itu dilakukannya dengan baik. Ia tidak takut kehilangan kedudukan, malah ia mempersiapkan generasi penerusnya yang berkualitas.
Sampai tua manusia tetap bisa produktif apabila ia mencapai integritas diri dengan memandang hidupnya sebagai mata rantai dan penerus roda kehidupan manusia. Hal itulah yang dimaksudkan oleh seorang pemazmur ketika ia berkata: “Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon; mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita. Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar” (Mazmur 92:1315).



Peranan Lanjut Usia Dalam Masyarakat
Rupanya bagi bangsa-bangsa di Timur Tengah termasuk Israel, orang-orang lanjut usia memiliki peranan yang sangat penting dalam komunitas mereka. Dalam Keluaran 3:16, ditunjukkan bahwa komunitas Israel yang diperbudak di Mesir telah memiliki orang-orang lanjut usia yang berperan selaku pemimpin mereka. Ketika Musa diutus Tuhan untuk membebaskan umat Israel, Musa disuruh bekerja sama dengan orang-orang tua itu.
Sesudah masa pengembaraan di padang gurun, rupa-rupanya setiap kota memiliki institusi pemerintahan sendiri yang terdiri dari para tua-tua yang menurut Kitab Ulangan berfungsi selaku hakim-hakim. Jumlah tua-tua yang memerintah dalam perkembangannya kemudian mulai dibatasi sehingga akhirnya hanya 70 orang saja. Kita tidak tahu bagaimana proses perekrutannya, tetapi tentu saja mereka yang dipilih adalah mereka yang tidak pikun, dan fisiknya masih menopang pelaksanaan tugas mereka itu.
Di masa Yesus dan Rasul-rasul hidup, tua-tua Yahudi sama-sama berkuasa dengan para imam kepala dalam memutuskan soal-soal agama, dan jika perlu dalam mengucilkan orang dari Bait Allah. Dengan demikian para tua-tua itu tetap berperan aktif dalam pemerintahan, sejauh kesehatan mereka masih memungkinkan untuk itu.
Sekarang ini di Indonesia, sudah cukup banyak orang yang masih tetap bekerja kendatipun usianya sudah lanjut. Banyak yang pensiun dari pegawai negeri sipil (PNS) masih bekerja di perusahaan-perusahaan swasta sehingga mereka masih berperan dalam masyarakat. Tentu tidak semua yang dapat berperan seperti itu, karena kondisi fisik atau karena ketidaktersedianya pekerjaan.
Tetapi ada suatu lapangan kerja, di mana diharapkan semua orang lanjut usia terpanggil untuk berperan di dalamnya, yakni pewarisan nilai-nilai hidup bagi generasi penerus, mulai dari lingkungan kecil sekitar keluarga kita sendiri, yakni anak, cucu, cicit dan seterusnya. Jika para lanjut usia dapat melaksanakan panggilannya itu dengan sebaik-baiknya, maka sudah dapat dipastikan bahwa berbagai tindak kekerasan dalam masyarakat dapat dicegah.