Tuesday, February 3, 2009

Quo Vadis Pendidikan Teologi?


Pdt. Dr. Jan H. Rapar, Th.D.,Ph.D.



Pertanyaan yang menjadi judul seminar hari ini mengindikasikan adanya ketidakjelasan arah yang sedang ditempuh oleh pendidikan teologi. Berangkali yang mengajukan pertanyaan ini melihat bahwa pendidikan teologi sedang berada di persimpangan jalan dan sedang bingung untuk menentukan apakah hendak ke kiri atau ke kanan atau jalan terus? Tetapi saya kira pertanyaan ini, setidak-tidaknya hendak menggugah dan merangsang para pelaku pendidikan teologi untuk mempertanyakan ulang arah yang tepat yang harus ditempuh oleh suatu pendidikan teologi di masa kini! Dan berangkali itulah maksud dari Fakultas Teologi UKIT mengadakan seminar ini dalam rangka Dies Natalis-nya yang ke-42.

Memang pendidikan teologi sedang menjadi sasaran kecaman oleh berbagai pihak.[i] Ada banyak gereja yang mengatakan bahwa pendidikan teologi di masa kini menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak siap pakai! “Terlampau akademis” tetapi tidak memenuhi kebutuhan gereja! Ada pemimpin-pemimpin gereja yang mengatakan bahwa pendidikan teologi telah menjadi lemari-lemari arsip untuk informasi-informasi teoritis belaka daripada menjadi pusat penggemblengan para pelayan Kristen yang dapat diandalkan. Di sisi lain para mahasiswa menuntut agar bahasa Iberani dan Yunani dikurangi tetapi mata kuliah penggembalaan dan praxis urban ditingkatkan bobotnya. Sementara itu, para teolog yang mengajar di lembaga-lembaga pendidikan teologi mengeluh bahwa keinginan untuk hal-hal praktis telah menggembosi kurikulum pendidikan teologi menjadi hanya semacam kursus-kursus yang sekedar memberi petunjuk “how to do it!” Sedangkan masyarakat di luar lingkungan gereja tidak merasakan manfaat apapun dari pendidikan teologi itu! Eksis atau tidak pendidikan teologi itu, tidak mempunyai pengaruh apa-apa bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, apakah sebenarnya yang diharapkan dari suatu pendidikan teologi? Apakah pendidikan teologi itu memang memiliki tempat di dalam gereja kita dan di dunia ini? Apakah pendidikan teologi itu untuk gereja atau untuk dunia ini? Bagaimanakah kita hendak memahami tugas dan fungsi pendidikan teologi itu?

Pada umumnya, para pengelola pendidikan teologi termasuk staf pengajarnya, meyakini bahwa mereka terpanggil untuk memenuhi kebutuhan gereja dalam mengemban tugas pelayanannya. Dan memang kenyataannya menunjukkan bahwa, “theological education has developed as a means dedicated primarily to informing, training and educating pastoral agents to guide the churches in their diverse ministries.”[ii] Memang tidak dapat disangkal bahwa konteks terdekat pendidikan teologi ialah gereja sebagai komunitas orang-orang yang mengaku Allah selaku pembebas, penyelamat dan Tuhan. Namun gereja menyadari bahwa keberadaannya adalah keberadaan untuk dunia. Bahkan gereja juga memahami bahwa keberadaan Allah itu sendiri adalah keberadaan untuk dunia, ciptaan dan milik-Nya. Allah adalah “Tuan” (Lord) dunia ini, dan “ketuanannya” (lordship) itu hanya dapat dipahami dan disadari ketika Allah diakui selaku Pencipta, Penebus, Pembebas dan Penyelamat dunia. Oleh karena itu, dunia yang terus-menerus berada dalam perubahan, adalah juga konteks terdekat pendidikan teologi yang perlu diperhatikan.

Dengan demikian terlihat bahwa pendidikan teologi sesungguhnya berada dalam ketegangan korelatif di antara kedua konteks tersebut di atas. Gereja sering mengecam pendidikan teologi sebagai institusi yang dianggap lebih loyal terhadap dunia, sehingga teologi telah diubah menjadi antropologi, dan iman telah digantikan oleh rasio. Sebaliknya dunia mengecam bahwa pendidikan teologi tidak ilmiah dan tidak obyektif, sebab itu ia tidak lebih daripada fungsi apologetis gereja. Pendidikan teologi harus menerima kecaman-kecaman itu dengan lapang dada. Pendidikan teologi harus menerima posisi ketegangan korelatif antara gereja dan dunia. Menyadari posisi keberadaanya yang demikian itu, harus diingat pula bahwa pendidikan teologi gagal memenuhi panggilannya apabila dalam komitmennya terhadap gereja ia melalaikan tanggung jawabnya terhadap dunia ini. Pada saat yang sama harus dikatakan pula bahwa pendidikan teologi tidak berhasil melaksanakan tugasnya apabila ia begitu terpukau oleh dunia ini sehingga melupakan tugasnya untuk membantu gereja menjadi gereja (to help the church to be the church).

Basis pendidikan teologi adalah gereja. Pendidikan teologi berasal dari gereja dan ditopang serta didukung oleh gereja. Dengan demikian pendidikan teologi tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan dari gereja. Oleh karena itu pendidikan teologi harus memiliki komitmen khusus terhadap gereja. Pendidikan teologi harus melayani kebutuhan gereja! Berkaitan dengan itu pimpinan gereja mengharapkan agar pendidikan teologi itu harus mengkomunikasikan iman yang sesuai dengan dogma gereja itu sendiri. Gereja Lutheran mengharapkan agar pendidikan teologi mereka harus mengajarkan apa yang diimani oleh Lutheran. Gereja Presbiterian mengharapakan agar pendidikan teologi mereka mengajarkan apa yang diimani oleh Presbiterian dan sebagainya. Pemaksaan kehendak sering dilakukan oleh gereja-gereja pemilik atau pendukung dana suatu pendidikan teologi tertentu karena menganggap “siapa yang menjadi sponsor atau yang membiayai, dia yang memiliki hak untuk menentukan segala kibijakan yang hendak ditempuh dan menetapkan apa yang harus diajarkan!”

Apakah tidak ada alternatif lain dalam merajut relasi yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab antara gereja dan pendidikan teologi? Tidakkah lebih baik jika pendidikan teologi yang ‘mengajar” gereja tentang apa yang harus diyakini dan apa yang harus dilakukan oleh gereja? Tidak! Antara kedua institusi itu, sebaiknya tidak ada satupun yang hendak mendominasi yang lainnya. Jika demikian, hendak mempertahankan status quo? Itu pun tidak! Saya berpendapat bahwa baik gereja maupun pendidikan teologi, kedua-duanya harus memiliki komitmen primer terhadap Kristus. Dan dalam komitmen terhadap Kristus itu, kedua-duanya harus berani melakukan autokritik demi memberlakukan apa yang Tuhan ingin berlakukan di dunia ini sebagaimana yang Ia nyatakan dalam Kitab Suci. Demi kebaikan gereja, pendidikan teologi harus berani menolak untuk dideterminasi dan didominasi oleh gereja, teristimewa yang berkaitan dengan soal-soal akademis. Pendidikan teologi justru akan dapat melayani gereja dengan lebih baik lagi, apabila ia mampu mengkritisi ajaran, tradisi dan praktek pelayanan denominasinya dalam keterbukaan oikumenis terhadap gereja-gereja lainnya, serta keterlibatannya secara aktif dan bertanggungjawab di dunia ini.

Dalam relasinya dengan dunia, pendidikan teologi harus memfokuskan dirinya kepada keprihatinan primer Allah yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan di dunia ini.[iii] Kenyataan menunjukkan bahwa segala sesuatu berubah dengan cepat. Benarlah apa yang dikatakan oleh Herakleitos ( ± 535 - 475 SM) bahwa tidak ada yang tetap, semuanya berubah. Dunia terus berubah. Transformasi terjadi dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Tidak ada yang tak tersentuh oleh perubahan! Politik, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya, teknologi, dan agama, mau atau tidak, sedang mengalami transformasi. Karena kita tidak mungkin menolak perubahan, maka sebaiknya kita menyambutnya dengan tangan terbuka lalu mengarahkan perubahan itu ke arah yang positif.

Dalam perubahan yang begitu cepat, manusia dan dunia masa kini telah memasuki era globalisasi. Tidak ada suatu komunitas mana pun juga yang terisolasi dan tak tersentuh oleh kekuatan globalisasi.[iv] Globalisasi telah meruntuhkan seluruh “tembok pemisah” antar bangsa, antar negara, antar budaya dsb. Tentu saja ada aspek positif dari globalisasi itu, seperti terbukanya kemungkinan bagi peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup, lancarnya transportasi, hubungan dan komunikasi antar manusia dari segala bangsa, teknologi informasi yang telah mengubah dunia menjadi sebuah “desa global” yang memungkinkan pertukaran gagasan antara orang-orang di negara yang berbeda-beda dsb.

Selain aspek positif, ada pula aspek negatif yang perlu diwaspadai seperti, di bidang ekonomi, dunia ketiga harus berhubungan dengan pasar dunia yang pada gilirannya menguasai dan mengendalikan dunia ketiga itu. Di bidang politik, dominasi ekonomi terhadap dunia ketiga itu tadi mempengaruhi kehidupan politik yang mengakibatkan konflik, dominasi dan eksploitasi politik. Di bidang sosial, peningkatan pendapatan melahirkan budaya materialistis dan konsumeristis yang menumbuhsuburkan egoisme, korupsi, oportunisme, berbagai tindak kekerasan dsb. Di bidang kultur, terjadilah invasi kultural oleh negara-negara maju. Di bidang agama, ancaman globalisasi dan sekularisasi menimbulkan fundamentalisme di berbagai agama yang menampakkan diri lewat fanatisme sempit dari berbagai kegiatan aliran garis keras yang mengancam ketentraman dunia.

Pendidikan teologi eksis dan berpijak di dunia ini. Namun relasinya dengan dunia ini diwarnai dengan ketegangan, pergumulan dan juga pertikaian. Dalam hal ini, pendidikan teologi harus mentransformasi dirinya dengan menyambut secara terbuka “pertikaiannya” dengan dunia ini agar ia dapat lebih memahami dan lebih mampu memberi interpretasi yang lebih tepat terhadap realitas. Kemampuannya untuk memberi interpretasi yang lebih tepat terhadap realitas itu yang akan memungkinkan pendidikan teologi berperan secara aktif dalam memanusiakan manusia. Manusia yang memanusia itu adalah manusia yang selalu berpikir konstruktif, innovatif dan kreatif. Dan itulah yang menjadi tugas pendidikan teologi di masa kini, yakni bukan sekedar menghasilkan sarjana-sarjana yang ber-ilmu tetapi memanusiakan manusia yang benar-benar konstruktif, innovatif dan kreatif yang juga terpanggil untuk memanusiakan manusia lainnya.

Agar tugas pendidikan teologi itu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga relevan dengan kebutuhan gereja dan dunia, maka pendidikan teologi di Indonesia, termasuk Fakultas Teologi UKIT perlu menyusun perencanaan strategis (strategic planning) yang benar-benar tepat. Yang sangat penting dalam menyusun perencanaan strategis itu ialah meredefinisikan visi dan misinya yang telah menjadi kabur di tengah situasi dan kondisi dunia, khususnya di tengah situasi dan kondisi bangsa dan negara kita.[v] Visi dan misi yang jelas akan menyatukan gerak langkah kita untuk merealisasikan visi dan misi itu. Pada tahun 1996, STT Jakarta merumuskan visi dan misinya sebagai berikut: Visi – Menjadi lembaga pendidikan teologi yang menjalankan dan mengelola pendidikan tinggi teologi di Indonesia dimana teologi diajarkan dan dikembangkan, dan riset dilakukan. Misi – Mendidik dan melatih para pelayan dan pemimpin gereja untuk membantu gereja-gereja melaksanakan tugas panggilannya di dunia, khususnya di Indonesia berdasarkan kesadaran dan gerakan ekumenis sebagai wujud panggilan Gereja di bidang pendidikan dan peran serta dalam pendidikan Nasional.[vi] Memang visi tersebut di atas telah menjawab pertanyaan, “what are we going to be” dan misinya pun telah menjawab pertanyaan “what are we going to do,” namun gagasan yang terkandung di dalamnya biasa-biasa saja! Mengapa kita tidak berani “bermimpi” dan mengatakan bahwa visi kita ialah “menjadi sekolah atau fakultas teologi yang terbaik sejagat yang menghasilkan sarjana-sarjana yang innovatif dan kreatif” dsb.

Perencanaan strategis (strategic planning) yang tepat harus dirumuskan dengan tepat pula kedalam perencanaan taktis (tactical planning) yang benar-benar operasional. Salah satu hal yang penting dalam perencanaan taktis ialah rencana pelajaran (plan for learning) yang sekarang ini terkenal dengan sebutan kurikulum. “Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan.”[vii] Kurikulum memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan, karena ia berkaitan dengan pemberian arah, proses dan isi pendidikan yang menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu institusi pendidikan. Kurikulum merupakan program yang direncanakan dan dilaksanakan untuk merealisasikan visi dan misi.[viii] Sehubungan dengan itu, berangkali baik kita mengadakan autokritik terhadap kurikulum Fakultas Teologi UKIT, “apakah kurikulum kita itu mampu merealisasikan visi dan misi kita?”

Berbicara tentang kurikulum pendidikan teologi di Indonesia, Dr. E.G. Singgih mengatakan: Sejak dulu Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia (Persetia) bersama sekolah-sekolah anggota berusaha menyusun kurikulum yang dapat memenuhi harapan-harapan gereja akan tenaga-tenaga yang adalah sekaligus dapat menjadi pelayan gereja (pendeta) maupun mempunyai pengetahuan teologis yang memadai (teolog). Dengan diterimanya konsep kurikulum Persetia menjadi kurukum nasional teologi (yang berarti pengakuan Negara terhadap teologi sebagai ilmu) maka terbuka kesempatan bagi semua sekolah anggota untuk menyesuaikan kurikulum mereka dengan kurikulum nasional ini…[ix] Alangkah baiknya jika sekolah-sekolah teologi di Indonesia menjadikan kurikulum Persetia itu sebagai kurikulum standar minimal kemudian baru ditambahkan dengan semacam “muatan lokal” yang merupakan akselerator perealisasian visi dan misinya.

Untuk menjembatani gereja dan dunia, dan untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang berwawasan luas, kreatif dan innovatif maka lembaga pendidikan teologi perlu mengatur praktek lapangan mahasiswa, bukan hanya ke jemaat-jemaat atau ikut kerja bakti di desa-desa saja, tetapi juga praktek di LSM-LSM, badan-badan legislatif dan yudikatif, lembaga-lembaga ekonomi, perusahaan-perusahaan multinasional dll. Dengan demikian, calon-calon pemimpin gereja telah diperlengkapi dengan kemampuan untuk menganalisis berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, hak asasi, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, serta berbagai persoalan kemanusiaan lainnya.

Berbicara tentang pendidikan teologi sebenarnya berbicara tentang transformasi. Pendidikan teologi terpanggil untuk melakukan trnsformasi dalam segala bidang kehidupan. Pendidikan teologi harus mentransformasi pendidik dan peserta didik, tetapi juga mentransformasi komunitas orang percaya, bahkan komunitas dunia. Pendidikan teologi harus menjadi agen perubahan dan pembaruan! Semoga Fakultas Teologi UKIT menjadi pelopor bagi kehadirannya pendidikan teologi transformatif yang didambakan.


Endnotes:
[i] Band. Edward Farley, Theologia. The Fragmentation and Unity of Theological Education (Philadelphia:
Fortress Press, 1983) khususnya Kata pengantar dan Bab 1 dan 6.
[ii] José Duque, “Liberating Objectives in Theological Education,” Ministerial Formation 95 (October 2001) :
25.
[iii] Band. Gnana Robinson, “The Future of Theological Education in India,” Ministerial Formation 77 (April
1997) : 29.
[iv] Lihat Wati A. Longchar, “Globalization: A Challenge for Theological Education, A Third World Perspective”
94 (July 2001) : 8.
[v] Band. John A. Titaley, “Peran Pendidikan Teologi bagi Gereja dan Masyarakat” sebuah presentasi dalam
Konven Pendeta GPIB di Batu, Februari 2004.
[vi] Lihat Samuel Hakh, “Peranan STT Jakarta Dalam Gereja dan Masyarakat” presentasi dalam Konven Pendeta
GPIB di Batu, Februari 2004.
[vii] S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumu Aksara, 2001), hlm. 8.
[viii] Band. Ibid., hlm. 9.
[ix] E.G. Singgih, “Mengembangkan Sekolah Teologi Yang Memenuhi Harapan Gereja dan Masyarakat” presentasi dalam Konven Pendeta GPIB di Batu, Februari 2004.

Mengembangkan Karakter Kepemimpinan Transformatif



Pdt. Jan H. Rapar


Pengertian dan Definisi Kepemimpinan

Istilah kepemimpinan merupakan terjemahan resmi dari leadership yang sebenarnya merupakan suatu istilah yang belum terlampau lama digunakan dalam bahasa Inggeris. Mar’at mengatakan, “The Oxford English Dictionary (1933) mencatat bahwa kata pemimpin dalam bahasa Inggeris muncul pada tahun 1300. Bagaimanapun, kata ‘kepemimpinan’ belum muncul sebelum tahun 1800.”[1] Sejauh ini belum ada penelitian khusus tentang kapan kata “pemimpin” dan “kepemimpinan” mulai digunakan dalam bahasa Indonesia.
Untuk memahami apa arti istilah kepemimpinan (leadership) itu maka ada baiknya dikemukakan beberapa definisi yang dibuat oleh para ahli manajemen. Sebenarnya ada banyak definisi yang telah dibuat oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan bahwa hampir setiap ahli membuat definisinya sendiri, namun untuk saat ini hanya tiga definisi yang akan dikemukakan yang diharapkan dapat membantu kita untuk memahami apa sebenarnya kepemimpinan itu.
George A. Terry mengatakan bahwa “leadership is the relationship in which one person, or the leader, influences others to work together willingly on related tasks to attain that which the leader desires.”[2] Jadi bagi Terry, kepemimpinan ialah upaya untuk mempengaruhi orang-rang lain agar secara sukarela orang-orang itu bekerja sama untuk mencapai apa yang dikehendaki oleh si pemimpin.
Harold Koontz dan Heinz Weihrich mengatakan bahwa kepemimpinan itu adalah “the art or process of influencing people so that they will strive willingly and enthusiastically toward the achievement of group goals.”[3] Senada dengan Terry, Koontz dan Weihrich juga berpendapat bahwa kepemimpinan itu adalah keahlian atau proses untuk mempengaruhi orang-orang agar supaya orang-orang itu bersedia dengan penuh semangat bekerja keras demi tercapainya tujuan kelompok.
James A.F. Stoner dan Charles Wankel mengatakan bahwa kepemimpinan adalah “the process of directing and influencing the task-related activities of group members.” [4] Jadi bagi mereka, kepemimpinan itu merupakan proses mengarahkan dan mempengaruhi kegiatan hubungan kerja anggota kelompok yang terkait.
Dari ketiga definisi tersebut di atas terlihat beberapa unsur penting dalam kepemimpinan, yaitu: pemimpin, proses mengarahkan dan proses mempengaruhi, orang lain (yang dipimpin), dalam kegiatan untuk mencapai tujuan. Berdasarkan unsur-unsur penting itu, kita dapat menyusun suatu definisi kepemimpinan dalam bahasa yang sederhana dan mudah dipahami, sebagai berikut: Kepemimpinan adalah suatu proses dari kegiatan para pemimpin untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain agar supaya mereka bersedia bekerjasama demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Teori-Teori Kepemimpinan Modern
Di zaman modern, telah berkembang beberapa konsep tentang kepemimpinan yang sering disebut sebagai teori kepemimpinan. Konsep-konsep atau teori-teori kepemimpinan yang sangat terkenal antara lain adalah sebagai berikut:

1). Teori Sifat (Trait Theory)
2). Teori Perilaku (Behavior Theory)
a. Studi Kepemimpinan Universitas Iowa
b. Studi Kepemimpinan Universitas Ohio
c. Studi Kepemimpinan Universitas Michigan
d. Dll.
3). Teori Situasional (Situational Theory)
a. Model Kontinjensi
b. Model Kontinum
c. Teori Path-Goal
d. Dll.

a. Teori Sifat (Trait Theory)
Konsep kepemimpinan ini berkembang dari suatu keyakinan yang telah bertumbuh sejak zaman Yunani purba dan zaman Romawi yang menyatakan bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan bukan dibuat! Teori yang didasarkan keyakinan demikian dikenal sebagai teori hereditas. Kemudian berkembang pula teori baru yang disebut teori karakter fisik (physical characteristic theory) yang dipelopori oleh W.H. Sheldon[5] yang bersama dengan S.S. Steven menerbitkan buku The Varieties of Human Phisique. Kemudian berkembang pula teori yang mengatakan bahwa sifat-sifat kepemimpinan dapat diperoleh lewat latihan dan bukan semata-mata karena warisan keturunan.



b. Teori Perilaku (Behavior Theory)
Teori perilaku didasarkan pada pemikiran bahwa sukses tidaknya seorang pemimpin tergantung pada perilaku si pemimpin itu sendiri dalam memberi tugas, dalam berkomunikasi, dalam mengambil keputusan dan sebagainya. Studi Kepemimpinan yang dilakukan oleh Iowa University di bawah pimpinan Ronald Lippitt dan Ralph K. White[6] mengemukakan tiga perilaku kepemimpinan, yaitu: autocratic, democratic dan laissez-faire. Studi kepemimpinan yang dilakukan Ohio University di bawah pimpinan Carrol Shartle mengemukakan bahwa perilaku kepemimpinan itu dibedakan ke dalam dua faktor independen, yakni yang disebut prakarsa struktur (initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Seorang pemimpin itu berhasil apabila prakarsa struktur tugas dan konsiderasi terhadap bawahan sama-sama tinggi. Studi kepemimpinan yang dilakukakan oleh Survey Research Center, University of Michigan sejak tahun 1947 mengetengahkan perilaku kepemimpinan yang terdiri dari 2 faktor yang saling bergantung. Kedua faktor perilaku kepemimpinan itu ialah yang berpusat perhatian pada karyawan (the employee-centered) dan yang berpusat perhatian pada tugas (the job-centered). Kedua pusat perhatian itu dapat digambarkan sebagai kedua titik ujung dari satu garis lurus. Seorang pemimpin dapat berperilaku diantara kedua titik itu. Dan kesimpulan penelitian yang sangat menarik dari hasil penelitian Universitas Michigan ialah bahwa pemimpin yang lebih berpusat pada karyawan ternyata lebih berhasil dari pada pemimpin yang berpusat pada tugas.
c. Teori Situasional (Situational Theory).
Teori situasional merupakan konsep kepemimpinan yang menjadikan situasi organisasional dengan memperhitungkan faktor ruang dan waktu, sebagai dasar pertimbangan utama untuk menyelenggarakan kepemimpinan yang tepat. Misalkan saja untuk situasi dan kondisi X , gaya kepemimpinan A yang cocok digunakan, untuk situasi dan kondisi Y , gaya kepemimpinan B yang tepat digunakan, dan untuk situasi dan kondisi Z , gaya kepemimpinan C yang paling efektif. Ada beberapa model kepemimpinan yang didasarkan pada teori situasional itu, yakni: Model Kontinjensi, Model Kontinum, Teori Path-Goal, dsb. Model Kontinjensi adalah temuan dari Fred E. Fiedler. Fiedler mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menjadi pemimpin yang efektif dengan hanya menggunakan satu macam gaya kepemimpinan untuk semua situasi. Dalam bukunya yang berjudul A Theory of Effective Leadership ia memberikan tiga ciri situasional yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan, yaitu: (a) hubungan atasan-bawahan yang merupakan variabel paling kritis dalam menentukan situasi yang menguntungkan, (b) Derajat struktur tugas, merupakan input kedua terpenting bagi situasi yang menguntungkan, dan (c) Posisi kewenangan yang diperoleh pemimpin lewat format otoritas, merupakan dimensi paling kritis ketiga dari situasi. Dalam analisis penelitiannya, Fiedler mengkategorikan hubungan atasan-bawahan dengan baik dan buruk, untuk struktur tugas diberi kategori tinggi dan rendah, sedangkan untuk posisi kewenangan diberi kategori kuat dan lemah. Seorang pemimpin akan berhasil, jika: hubungan atasan-bawahan baik, struktur tugas tinggi, dan posisi kewenangan kuat. Model Kontinum diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Tannenbaum dan Schmidt dalam Harvard Business Review, edisi Maret-April 1958. Mereka mengemukakan adanya suatu kontinum gaya kepemimpinan yang terentang dari titik boss-centered leadership hingga ke titik subordinate centered leadership, atau dari gaya kepemimpinan otokratis ke gaya kepemimpinan demokratis. Dan untuk menentukan gaya kepemimpinan yang tepat pada situasi tertentu, maka ada tiga variabel yang harus dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh, yaitu: (a) kekuatan pemimpin, misalnya kemampuan intelektual, pendidikan, kepribadian, dsb. (b) kekuatan bawahan, misalnya bertanggung jawab, berpengalaman, loyal dsb., dan (c) kekuatan situasi, misalnya suasana organisasi, waktu yang mendesak, dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Teori Path-Goal menjelaskan impak perilaku pemimpin terhadap motivasi, kinerja, prestasi dan kepuasan bawahan. Teori Path-Goal mengetengahkan empat gaya kepemimpinan, yaitu: (a) Directive Leadership, (b) Supportive Leadership, (c) Participative Leadership, dan (d) Achievement Oriented Leadership. Robert House menamai teori ini sebagai teori Path-Goal oleh karena seorang pemimpin yang berhasil haruslah menjelaskan jalan (path) untuk mencapai tujuan (goal). Teori ini mengatakan bahwa seorang pemimpin yang sama dapat mempergunakan berbagai gaya kepemimpinan dalam situasi yang berbeda-beda, yang penting, seorang pemimpin itu harus motivatif dan edukatif dalam arti melengkapi bawahan dengan pengetahuan dan ketrampilan demi efektivitas tugas yang dikerjakannya.

Teori-Teori Kepemimpinan Kontemporer
Sekarang ini telah lahir berbagai teori kepemimpinan, antara lain kepemimpinan visioner (visioner leadership), kepemimpinan gelombang (waves leadership), kepemimpinan integrative (integrative leadership), kepemimpinan pelayan (servant leadership), kepemimpinan berpusat prinsip (principle-centered leadership), kepemimpinan quantum (quantum leadership), kepemimpinan transaksional (transacsional leadership), kepemimpinan transformasional (transformational leadership), dan lain-lain.
Namun berikut ini, hanya lima teori kepemimpinan kontemporer yang akan dibicarakan secara ringkas, yakni: kepemimpinan berpusat prinsip (principle-centered leadership), kepemimpinan kuantum (quantum leadership), kepemimpinan transaksional (transacsional leadership), kepemimpinan transformasional (transformational leadership).
a. Kepemimpinan Pelayan (Servant Leadership)
Kepemimpinan pelayan (servant leadership) merupakan salah satu teori dan model kepemimpinan kontemporer yang dipelopori oleh Robert K. Greenleaf lewat bukunya yang sangat terkenal, yang berjudul, Servant Leadership.
Gagasan tentang kepemimpinan pelayan (servant leadership) mulai bersemi dalam pemikiran Robert K. Greenleaf ketika ia mengikuti kuliah seorang professor tua yang mengatakan demikian:
There is a new problem in our country. We are becoming a nation that is dominated by large institusions---churches, business, governments, labor unions, universities---and these big institutions are not serving us well. I hope that all of you will be concerned about this. Now you can do as I do, stand outside and criticize, bring pressure if you can, write and argue about it. All of this may do some good. But nothing of substance will happen unless there are people inside these institutions who are able to (and want to) lead them into better performance for the public good. Some of you ought to make careers inside these big institutions and become a force for good---from the inside.[7]

Idea tentang pelayan sebagai hamba atau pelayan mulai memperoleh bentuk ketika Greenleaf membaca sebuah buku yang berjudul Journey to the East, yang ditulis oleh Hermann Hesse. Greenleaf mengatakan:
In this story we see a band of men on a mythical journey, probably also Hesse’s own journey. The central figure of the story is Leo who accompanies the party as the servant who does their menial chores, but who also sustains them with his spirit and his song. He is a person of extraordinary presence. All goes well until Leo disappears. Then the group falls into disarray and the journey is abondened. They cannot make it without the servant Leo. The narrator, one of the party, after some years of wandering finds Leo and is taken into the Order that had sponsored the journey. There he discoveres that Leo, whom he had known first as servant, was in fact the titular head of the Order, its guiding spirit, a great and noble leader.[8]

Dari kisah si Leo sang pelayan itu, Greenleaf mengembangkan suatu konsep kepemimpinan, bahwa sesungguhnya seorang pelayan adalah seorang pemimpin, dan seorang pemimpin haruslah menjadi seorang pelayan lebih dahulu.
Membaca buku Servant Leadership karangan Greenleaf, akan terlihat bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan kepemimpinan pelayan itu, tidak lain daripada suatu konsep kepemimpinan yang bertumpu pada cara mempengaruhi orang lain lewat keteladanan.[9] Jadi dalam konsep kepemimpinan pelayan (servant leadership), seorang pemimpin sejati adalah seorang yang memimpin (mempengaruhi orang lain) lewat perbuatannya yang memberi inspirasi bagi orang lain dan mendorong orang lain untuk bertindak demi mencapai tujuan yang hendak dicapai.

b. Kepemimpinan Berpusat Prinsip (Principle-Centered Leadership)
Mengapa banyak perusahaan yang mengalami kegagalan, dan mengapa banyak pemimpin yang tidak dapat bertahan di tengah perubahan yang terjadi begitu cepat sekarang ini, adalah karena mereka tidak lagi berpegang pada prinsip awal yang mereka yakini, demikian kira-kira jalan pikiran Stephen R. Covey yang dituangkannya dalam bukunya yang berjudul, Principle-centered Leadership.
Apakah kepemimpinan yang berpusat prinsip itu? Covey mengatakan, “Principle-centerd leadership introduces a new paradigm—that we center our lives and our leadership of organizations and people on certain ‘true north’ principles.”[10]
Tentang prinsip-prinsip utama yang benar itu (certain ‘true north’ principles), Covey mengatakan,
Principles are not invented by us or by society; they are the laws of the universe that pertain to human relationships and human organizations. They are part of the human condition, consciousness, and conscience. To the degree people recognize and live in harmony with such basic principles as fairness, equity, justice, integrity, honesty, and trust, they move toward either survival and stability on the one hand or disintegration and destruction on the other.[11]

Dari ungkapan Covey tersebut di atas, ia berpendapat bahwa prinsip-prinsip itu tidak diciptakan oleh manusia atau oleh masyarakat, melainkan merupakan hukum alam tentang relasi antar manusia dan organisasi-organisasi manusia. Prinsip-prinsip itulah yang menentukan jatuh bangunnya manusia dan organisasi-organisasi-nya. Manusia dan organisasi-organisasinya akan tetap eksis apabila mereka hidup selaras dengan prinsip-prinsip itu, tetapi jika mereka hidup tidak selaras dengan prinsip-prinsip tersebut, maka manusia dan organisasi-organisasinya akan mengalami desintegrasi dan destruksi.
Kepemimpinan berpusat prinsip itu bukanlah suatu tindakan dari luar ke dalam, melainkan dari dalam keluar yang dilakukan dalam empat jenjang. Covey mengatakan:
Principle-centered leadership is practiced from the inside out on four levels: 1) personal (my relationship with myself); 2) interpersonal (my relationships and interactions with others); 3) managerial (my responsibility to get a job done with others); and 4) organizational (my need to organize people—to recruit them, train them, compensate them, build teams, solve problems, and create aligned structure, strategy, and systems).[12]

Mengenai karakteristik para pemimpin yang berpusat pada prinsip, Covey menjelaskan bahwa 1) Mereka adalah orang-orang yang terus-menerus belajar dari pengalaman, mereka membaca, mereka mengikuti pelatihan-pelatihan dan kursus-kursus, mereka mendengarkan orang lain, mereka belajar dengan kedua telinga dan mata mereka, mereka selalu bertanya dan meningkatkan kompetensi mereka, dan se bagainya. 2) Mereka memandang kehidupan itu sebagai suatu misi dan bukan sebagai karir. Mereka adalah orang-orang yang telah dipersiapkan untuk melayani. Berprinsip berarti berani menanggung beban pelayanan, tanpa kesediaan untuk melayani berarti gagal. 3) Mereka senantiasa memancarkan energi positif lewat sikap hidup yang gembira, menyenangkan, bahagia, optimis, positif dan selalu bergairah, antusias, dan penuh pengharapan. 4) Mereka mempercayai orang lain, mereka tidak bereaksi berlebihan terhadap perilaku negatif, mereka tidak merasa diri hebat dan tidak naïf. Mereka sadar akan keterbatasan mereka. 5) Mereka hidup seimbang, tidak berlebihan, dapat mengendalikan diri, dan bijak. 6) Mereka cepat beradaptasi, kendatipun tidak mudah dipengaruhi, dan mereka fleksibel. 7) Mereka sinergistis, produktif dan kreatif. 8) Mereka terus berlatih secara teratur, fisik, mental, emosi dan spiritual. Mereka terus menerus membaharui diri untuk menghasilkan karakter yang kuat dan sehat, dan dengan demikian menjadi katalis perubahan dan pembaruan.[13]
c. Kepemimpinan Quantum (Quantum Leadership)
Dalam bukunya yang berjudul Leadership and The New Science, Margaret J. Wheatly coba menerapkan teori quantum dalam kepemimpinan dan organisasi.[14] Ia mengatakan bahwa fisika quantum pada asasnya adalah partisipasi dan oleh karena itu pada hakikatnya sejalan dengan kepemimpinan partisipatif.[15]
The Jakarta Consulting Group (JCG) mengembangkan suatu konsep kepemimpinan quantum (quantum leadership) “yang berorientasi pada masa depan dengan komitmen untuk dapat ‘melihat dan bermimpi’, ‘mengubah’, serta ‘menggerakkan’ anak buah ke arah tujuan yang direncanakan.”[16]
Dalam quantum leadership, seorang pemimpin harus berperan sebagai,
Direction setter, counselor, career maker, change agent, charger, dan confidence builder. Direction setter berarti seorang quantum leader berfungsi sebagai penentu arah berjalannya organisasi. Dalam artian, quantum leader-lah yang men-set arah pengembangan organisasi di masa datang.Tentu saja, dengan masukan dan saran dari para anggota organisasi. Counselor berarti quantum leader bertindak sebagai penasihat bagi anggota organisasi yang dipimpinnya. Apabila terjadi konflik internal yang gawat, maka pemimpin berkewajiban untuk turun tangan. Career maker berarti quantum leader men-set jenjang karir yang ada dalam organisasinya sedemikian rupa sehingga seluruh anggota organisasi mempunyai kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan diri dengan sebaik-baiknya.
Peran sebagai change agent berarti quantum leader berfungsi sebagai agen perubah dalam organisasi. Jika organisasi dirasakan sulit untuk maju, pemimpin sebagai agen perubah harus ‘menciptakan’ perubahan dalam organisasi. ………………………………………………………………………………………
Peran quantum leader sebagai charger adalah menjadi ‘suntikan kekuatan’ jika ‘baterai’ energi anggota organisasi hampir habis. Sedang peran quantum leader sebagai confidence builder adalah untuk membangun rasa percaya diri di dalam jiwa tiap individu dalam organisasi yang dipimpinnya…[17]


d. Kepemimpinan Transaksional (Transactional Leadership)
Kepemimpinan transaksional (transactional leadership) adalah teori kepemimpinan yang dikembangkan oleh Bernard M. Bass. Bass mengatakan bahwa “kepemimpinan transaksional adalah model kepemimpinan dimana pemimpin selalu melakukan pertukaran-pertukaran dengan yang dipimpin untuk mencapai sesuatu yang diinginkan pemimpinnya.”[18]
Dalam kepemimpinan transaksional, pemimpin selalu memotivasi pengikutnya dengan berbagai insentif termasuk kenaikan gaji. Transaksi antara pimpinan dengan bawahan dianggap sebagai yang paling penting dibanding relasi interpersonal dan emosi yang mewarnainya.[19]
Ada empat dimensi dalam kepemimpinan transaksional:
1. Contigent rewards adalah hadiah-hadiah yang diberikan secara timbale balik,
yang disepakati bersama untuk mencapai tujuan tertentu. Misal pemimpin akan memberikan kita bonus tertentu jika kita dapat mencapai target yang ditetapkan.
2. Active management by exception melibatkan pengawasan atas penyimpangan-
penyimpangan dari peraturan atau standard dan mengambil tindakan-tindakan korektif. Misal, pemimpin baru memperhatikan kita jika dinilai mulai melakukan penyimpangan-penyimpangan.
3. Passive management by exception melibatkan intervensi terhadap bawahan
jika peraturan atau standar yang telah ditetapkan tidak dapat dilaksanakan. Misal, pemimpin baru datang kepada anak buahnya ketika persentase kesalahan dinilai sudah tidak bisa ditolerir.
4. Laissez faire adalah gaya kepemimpinan dimana pemimpin melepaskan
tanggungjawab serta menghindari diri mengambil keputusan yang diperlukan untuk melakukan suatu tindakan.[20]


e. Kepemimpinan Transformasional (Transformational Leadership)
Kepemimpinan kontemporer yang sangat populer sekarang ini ialah kepemimpinan transformatif (transformative leadership) atau kepemimpinan transformasional (transformational leadership).[21] Istilah transforming leadership digunakan pertama kali oleh James MacGregor Burns dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1978, berjudul “Leadership” yang memenangkan hadiah Pulitzer.[22] Menurut Burns, para pemimpin transformatif mengedepankan nilai-nilai moral para pengikut untuk meningkatkan keyakinan mereka tentang berbagai isu etika dan memobilisasi daya dan sumber daya mereka untuk mereformasi sesuatu.[23]
Kemudian Bernard M. Bass dalam bukunya yang diterbitkan tahun 1985, berjudul Leadership and Performance beyond Expectations mengembangkan studi tentang kepemimpinan transformatif itu.[24] Menurut Bass, ada empat perilaku kepemimpinan transformatif[25] yang membedakannya dari teori kepemimpinan lainnya, yakni:
a). Idealized Influence, perilaku pimpinan yang menggunakan cita-cita untuk mempengaruhi orang lain. Perilaku ini mampu menumbuhkan emosi yang amat kuat bagi pengikut.
b). Intelectual Stimulation. Perilaku kepemimpinan yang mendorong pengikut/orang lain secara intelektual.
c). Individualized Consideration. Perilaku kepemimpinan yang senantiasa memberi perhatian secara individual, termasuk memberi dukungan, membangun semangat dan memberikan bimbingan kepada pengikutnya.
d). Inspirational Motivation, perilaku kepemimpinan yang selalu memberi semangat dan memberi motivasi secara inspirasional kepada pengikutnya.
Menurut E. Martasudjita, Pr., seorang pemimpin yang transformatif ialah:
a). Menjadi seorang yang mampu terus belajar, yakni mampu untuk mendengar-
kan, membaca, menangkap masalah, menganalisa, mempertimbangkan macam-macam hal dan faktor, berwawasan luas, mampu berdialog, peka pada tanda-tanda zaman dan mau berkembang serta mengubah diri pula.
b). Menjadi komunikator yang baik, yang mampu menyampaikan sesuatu dengan
jelas, tegas tetapi bijaksana dan enak, mampu mengungkapkan perasaan secara seimbang, mampu merumuskan sesuatu dengan tepat dan inspiratif, mampu menghubungkan hal yang sekarang dengan yang lampau dan masa depan, dan mampu membangkitkan semangat anggota untuk bekerja giat dan hidup baik.
c). Menjadi pemersatu, seperti seorang dirigen dalam orkestra, yang mampu
memadukan aneka kekayaan dan kekhasan masing-masing anggota bagi kebaikan keseluruhan. Ia juga mampu membuat para anggota merasa at home dan merasa dirinya penting bagi komunitas. Seorang pemimpin komunitas tentunya memiliki kemampuan untuk mempersatukan, dan bukannya malah suka berpihak pada anggota tertentu, atau menganak-emaskan anggota tertentu dan memusuhi anggota yang lain. Dan yang penting lagi, para anggotanya juga merasakan rasa kebersamaan dan kesatuan itu.
d). Menjadi orang yang mampu dan berani membuat keputusan yang tepat dan
bijaksana bagi kebaikan seluruh komunitas atau tarekat dan pihak-pihak yang terkena oleh keputusan itu. Ia pun harus berani ambil risiko dan menanggungya.
e). Menjadi orang yang bersemangat dalam melayani proses transformasi
komunitas, bagi kemajuan dan kebaikan komunitas, gereja, dan masyarakatnya…
f). Menjadi orang yang bisa mengerjakan seperti yang dikerjakan Yesus dalam
perjalanan-Nya ke Emaus bersama dua murid itu. Disitu seperti Yesus, pemimpin harus memiliki visi dan arah (bagaimana kelompok harus diarahkan), mendorong, mendengarkan, mengajak refleksi dan bertanya bagi penemuan kehendak Allah, memberi informasi, menarik implikasi-implikasi, mampu menghubung-hubungkan dan membagikan roti kepada teman perjalanan.
g). Menjadi pendoa. Seorang pemimpin yang baik tentu rajin berdoa untuk
kawannya, teman-teman sekomunitas, umatnya atau pun orang yang dipercayakan kepadanya. Ia perlu juga menjadi seorang yang hidup rohani dan doanya mendalam, sebagaimana terungkap dalam kata dan tindakan sedemikian rupa sehingga orang lain merasa damai dan tenang bersamanya.[26]

Dengan demikian, jelas terlihat bahwa esensi dari kepemimpinan trans-formatif ialah kepemimpinan yang mengubahkan. Kepemimpinan yang mengubahkan itu adalah juga kepemimpinan partisipatif, yang selalu memberi tempat bagi orang lain untuk ikut berperan. Dan kepemimpinan yang mengubahkan itu adalah juga kepemimpinan yang memberdayakan.
Kepemimpinan yang mengubahkan adalah kepemimpinan yang menyebab-kan terjadinya perubahan. Pimpinan dalam kepemimpinan yang mengubahkan itu adalah agen perubahan. Perubahan itu terjadi mulai dari diri si pemimpin itu sendiri, bukan hanya cara berpikir dan cara bekerjanya saja, tetapi juga perubahan secara eksistensial.[27]
Seorang pemimpin transformatif haruslah seorang yang memiliki “komitmen penuh dan tentu saja keberanian untuk menerima dampak positif dan negatif”[28] dalam mengelola perubahan. Selain itu, pemimpin yang mengubahkan itu “dalam melaksanakan suatu perubahan” hendaknya “dapat senantiasa menghidupkan ‘faith’ dan ‘hope’.”[29] Itu berarti bahwa pemimpin yang mengubahkan itu harus memiliki iman dan pengharapan yang teguh.
Selanjutnya, A.B. Susanto mengatakan bahwa seorang pemimpin transformatif adalah seorang pemimpin yang “harus dapat bersikap sebagai teman yang dapat dipercaya, terutama dalam kondisi-kondisi kristis.”[30] Yesus telah meninggalkan teladan dalam hal itu. Cindy Maddox mengatakan “bahwa Yesus adalah teman yang dapat dipercaya dalam kondisi apa pun.”[31]
Pemimpin sebagai agen perubahan haruslah memiliki kerendahan hati, kewaspadaan dan keberanian. Ia harus memiliki kerendahan hati agar tidak terlena oleh kesuksesan dan tidak jatuh dalam kecongkakan yang dapat berbalik dan menghantam diri sendiri.[32] Pemimpin sebagai agen perubahan itu harus senantiasa waspada dan siap siaga terhadap berbagai perubahan situasi dan perkembangan[33] yang terjadi. Pemimpin transformatif haruslah juga “berani mendobrak”[34] kondisi yang tidak menguntungkan.
Perubahan memerlukan dukungan. Oleh karena itu, pemimpin yang mengubahkan itu memerlukan dukungan dari orang lain. Ia harus “dapat menghimpun kekuatan dari seluruh jajaran anggotanya. Dengan kata lain, perubahan membutuhkan dukungan penuh”[35] dari orang lain.
Dengan demikian kita melihat bahwa seorang pemimpin sebagai agen perubahan, haruslah seorang yang memiliki komitmen penuh, keberanian, iman, pengharapan, kerendahan hati, kewaspadaan, dan memperoleh dukungan dari orang lain.
Kepemimpinan transformatif, sesungguhnya berlandaskan pada kepemimpinan partisipatif. Prinsip pokok dalam kepemimpinan partisipatif adalah “melibatkan sebanyak mungkin orang dalam segala hal.”[36] Selanjutnya E. Martasudjita mengatakan bahwa kepemimpinan yang melibatkan semua orang dalam segala hal tentu mengandaikan beberapa hal sebagai berikut:
1) Pola relasi dan hubungan dalam komunitas itu sungguh-sungguh pola relasi SATU TIM. Dalam pola hubungan TIM itu, setiap anggota memiliki suara dan dianggap penting.
2) Keterlibatan anggota tidak hanya dianjurkan tetapi menentukan hidup komunitas itu. Entah bagaimana kehidupan komunitas itu memungkinkan keterlibatan warga secara optimal dan maksimal.
3) Kehidupan komunitas dan kepemimpinannya menyuburkan semangat orang untuk berinisiatif. Setiap anggota merasa dilibatkan dan merasa bebas untuk berpendapat dan berinisiatif, juga kalau berbeda dengan pendapat sang pemimpin komunitas.
4) Cara kerja dalam komunitas itu selalu berasaskan prinsip subsidiaritas dan desentralisasi.[37]

Anthony D’Souza yang pernah menjadi konsultan PBB dalam pengembangan Sumber Daya Manusia mengatakan bahwa para pemimpin partisipatif pada umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Pada umumnya mereka berupaya mengembangkan efektivitas kelompok dalam pelaksanaan tugas.
2. Mereka mendorong anggota kelompok mereka untuk mengemukakan gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan mereka, karena mereka yakin bahwa dalam iklim yang demikian itu akan bertumbuh kreativitas dan komitmen yang lebih besar.
3. Apabila mereka menghadapi penolakan atau konflik, mereka meminta bantuan kelompok untuk memecahkan persoalan tersebut.
4. Mereka mendorong pengambilan keputusan bersama sebagaimana mereka mendorong penetapan tujuan secara bersama-sama.
5. Mereka tidak pernah membuat kebijakan-kebijakan tanpa menjelaskan terlebih dahulu alasan pengambilan kebijakan itu, dan ketika kebijakan itu dirancang mereka menawarkannya kepada kelompok untuk memperoleh saran-saran dan kritik-kritik yang membangun.
6. Mereka percaya bahwa tanggung jawab penyelesaian tugas lebih banyak bergantung pada kelompok daripada bergantung pada diri mereka sendiri. Mereka berupaya membangun sikap seperti itu pada seluruh anggota kelompok.
7. Sekali anggota-anggota kelompok itu telah menunjukkan kemampuan kerja mereka, maka para pemimpin itu memberi kebebasan yang cukup kepada anggota-anggota kelompok untuk menyelesaikan tugas mereka.
8. Mereka terus mencari cara yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan, dan mereka terbuka untuk mengubahnya jika mereka diyakinkan bahwa perubahan itu perlu karena akan menghasilkan efektivitas yang lebih besar.
9. Mereka percaya pada efektivitas kelompok kerja. Mereka juga percaya bahwa kelompok yang terdiri dari individu-individu yang berkomitmen tinggi memiliki potensi yang lebih besar daripada jika anggota-anggota kelompok itu bekerja sendiri-sendiri.[38]

Dengan demikian jelas terlihat bahwa esensi dari kepemimpinan partisipatif ialah pelibatan anggota kelompok atau anggota komunitas dalam seluruh kegiatan kepemimpinan. Hal itu bertolak pada pemahaman bahwa hasil yang dicapai dalam kebersamaan (kelompok atau komunitas) selalu jauh lebih besar (baik kualitas maupun kuantitas) dari pada hasil yang dapat dicapai secara individual.
Kepemimpinan transformatif bukan hanya kepemimpinan yang meng-ubahkan, dan kepemimpinan partisipatif, tetapi juga kepemimpinan yang mem-berdayakan. Mengenai pemberdayaan, E. Martasudjita menjelaskan:
Istilah pemberdayaan merupakan terjemahan kata Inggris empowerment. Konsep ini sebenarnya amat kompleks dan memiliki latar belakang histories, cakupan makna, dan arah yang tidak sederhana. Konsep pemberdayaan lahir sebagai bagian dari perkembangan dan alam pikiran Barat yang dipengaruhi oleh aliran posmo atau post-modernisme yang menekankan pada semangat: antisistem, antistruktur dan antideterminisme. Menurut akar katanya, pemberdayaan (empowerment) memang amat bersangkut-paut dengan masalah kekuasaan (power). Kekuasaan di sini tidak hanya sebatas kekuasaan politik saja, melainkan juga kekuasaan dalam arti luas dan menyentuh berbagai segi kehidupan. Konsep pemberdayaan dituntut oleh situasi dan kondisi manusia yang mengalami ketidakberdayaan. Pada konteks kehidupan manusia yang menyeluruh, orang dapat menyimpulkan arti dasar pemberdayaan sebagai upaya untuk memanusiakan manusia. Dengan demikian pemberdayaan menunjuk upaya agar manusia dapat mengungkapkan dan melaksanakan dirinya. Manusia menjadi mampu mengungkapkan dirinya, keunikan, kekayaan dan karunia yang dimilikinya.[39]

Jadi kepemimpinan yang memberdayakan adalah kepemimpinan yang membuat setiap orang berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kapasitas dirinya. Pemberdayaan adalah juga pembebasan. Pembebasan dari berbagai belenggu yang membatasi ruang gerak diri seseorang untuk bertumbuh dan berkembang.
E. Martasudjita mengatakan bahwa kepemimpinan yang memberdayakan adalah kepemimpinan “yang memberi ruang gerak dan kebebasan sehingga orang dapat berkembang menurut citra Allah…Allah selalu memberi kebebasan pada manusia, dan Allah selalu berani ambil resiko bahwa manusia itu mungkin menyalahgunakan kebebasannya.”[40]
Seorang pemimpin yang memberdayakan akan selalu memberi kebebasan bagi setiap orang dalam kelompok atau dalam komunitasnya. Resikonya, mungkin ada orang yang akan menyalahgunakan kebebasan itu, tetapi itu justru merupakan bagian dari pemberdayaan.

[1] Mar’at, Pemimpin dan Kepemimpinan (Jakarta: Ghalia Indonesia,1984), 8.
[2] George R. Terry, Principles of Management (Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, 1972), p. 458.
[3] Harold Koontz and Heinz Weihrich, Management (Singapore: McGraw-Hill Book Company, 1988), p. 437.
[4] James A.F.Stoner and Charles Wankel, Management (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1987), p. 445.
[5] Robert J. Thierauf, Robert C. Klekamp, Daniel W. Greeding, Management Principles and Practices A Contingency and Questionnaire Approach (New York: John Wiley & Sons, 1977), p. 493.
[6] Fred Luthans, Organizational Behavior, 3rd ed., (Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha Ltd., 1981),p. 41.
[7] Robert K. Greenleaf, 1-2.
[8] Ibid., 7.
[9] Ibid. 329.
[10] Stephen R. Covey, Principle-centered Leadership (New York: Simon & Schuster, 1992), 18.
[11] Ibid.
[12] Ibid., 31.
[13] Ibid., 33-39.
[14] Margaret J. Wheatly, Kepemimpinan dalam Dunia Baru, terjemahan Sularno Tjiptowaerdoyo. (Jakarta: Abdi Tandur, 2002), 23.
[15] Ibid., 106.
` [16] A.B. Susanto dan Koesnadi Kardi, Quantum Leadership: Kepemimpinan dalam Dunia Bisnis & Militer (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003), 21.
[17] Ibid., 41-45.
[18] Anna Marsiana, N Barry Priyanto, Novembri Choeldahono, Leadership Capacity Building:Membangun Kapasitas Kepemimpinan Gereja dan Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (Jakarta: JK-LPK, YBKS SGKI & CCA-URM, 2002), 67.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen, 7.
[23] Eko Maulana Ali Suroso, Kepemimpinan Integratif Berbasis ESQ (Jakarta: Penerbit Bars Media Komunikasi, 2004), 62.
[24] Jerry C. Wofford, Kepemimpinan Kristen, 8.
[25] Eko Maulana, Kepemimpinan Integratif, 63.
[26] E. Martasudjita, 36-40
[27] band. Bob Wall, dkk., The Visionary Leader (Batam: Interaksara, t.t.), 203.
[28] A.B. Susanto, Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin (Jakarta: Grasindo, 1997), 69.
[29] Ibid.
[30] Ibid., 72.
[31] Ibid.
[32] Ibid., 73.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[35] Ibid., 75.
[36] E. Martasudjita, 23.
[37] Ibid., 23-24.
[38] Anthony D’Souza, Developing The Leader Within You: Strategies for Effective Leadership (Singapore: HCALS, 1994), 50-51.
[39] E. Martasudjita, 26-27.
[40] Ibid., 28.