Monday, August 13, 2007

Peranan Gereja
Dalam Pembaruan
Masyarakat Majemuk
di Indonesia


Pendeta Jan H. Rapar


Pendahuluan
Indonesia adalah negeri kepulauan yang paling besar di dunia, terdiri dari “5 pulau besar dan sekitar 30 kepulauan yang lebih kecil yang keseluruhannya berjumlah 13,677 termasuk pulau yang sangat kecil, dan sekitar 6,000 pulau yang dihuni.”[1] Istilah "Indonesia" terdiri dari dua kata Yunani; " indos" berarti “India”, dan " nesos" berarti “kepulauan”. Indonesia terletak di persimpangan antara Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik dan antara benua Australia dengan benua Asia. "Oleh karena posisinya yang sangat strategis, maka pola-pola budaya, sosial, politis dan ekonomi selalu dikondisikan oleh posisi geografisnya itu."[2] Tentang agama, kira-kira 80% adalah Muslim, 10% adalah Protestan, 5% adalah Katolik Roma, dan sisanya beragama Buda dan Hindu, serta agama-agama suku.
Dari data tersebut di atas, tergambar bagaimana wajah masyarakat Indonesia yang sesungguhnya. Masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang homogen yang terdiri atas jenis, macam, sifat, watak yang sama, melainkan suatu masyarakat yang heterogen (masyarakat majemuk), yang berbeda-beda jenis, macam, sifat, watak dan kategori. Heterogenitas tersebut terlihat lewat keberbagaian suku, bangsa, budaya, bahasa, agama dan sebagainya.
Pada masa kini, istilah masyarakat heterogen, atau masyarakat majemuk telah tergeser oleh suatu istilah yang paling banyak digunakan di seluruh dunia, yakni masyarakat plural. Dan sesungguhnya, di era globalisasi di mana bumi ini telah menjadi sebuah desa global, maka di mana pun seseorang berada di planet bumi ini, ia selalu berhadapan dengan pluralisme, baik pluralisme bahasa, budaya, agama, tetapi juga pluralisme sistem sosial, sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya.
Oleh karena itu, tidak seorang pun yang dapat menghindar dari heterogenitas atau pluralitas atau kemajemukan itu. Gereja pun harus menyadari realitas itu.


Yudaisme dan Heterogenitas Masyarakat
Apakah pluralitas itu baru eksis dalam mayarakat kontemporer? Apakah heterogenitas masyarakat baru dikenal sekarang ini? Sesungguhnya tidak demikian. Umat Allah di zaman Perjanjian Lama menyadari bahwa mereka berada di tengah-tengah masyarakat dunia yang heterogen. Bahkan ketika umat Israel masih berada di Mesir, mereka menyadari bahwa mereka berada di tengah-tengah masyarakat yang berbeda budaya, bahasa, dan agama. Pada tahun 586 SM orang-orang Yahudi dibuang ke Babel mereka telah mengalami bagaimana rasanya menjadi komunitas di tengah-tengah komunitas lainnya yang berbeda bahasa, budaya dan agama.
Kemudian pada tahun 70 M, Yerusalem jatuh dan Bait Allah dihancurkan, maka orang-orang Yahudi pun mulai hidup dalam diaspora---sebagai komunitas-komunitas kecil diantara masyarakat lainnya. Kurang lebih duaribu tahun mereka berjuang untuk mempertahankan identitas dan eksistensinya, sebagai subbudaya di tengah-tengah budaya lainnya yang labih besar.[3] Selama bergenerasi-generasi, sejak zaman Alkitabiah hingga sekarang ini, orang-orang Yahudi harus merumuskan keyakinan dan praktek keagamaannya ketika menghadapi tantangan dari budaya dan agama lain.[4]
Perjumpaan dengan bahasa, budaya dan agama-agama lainnya membuat orang-orang Yahudi semakin eksklusif.[5] Seharusnya pengalaman di tengah-tengah masyarakat plural atau masyarakat heterogen mendorong mereka memenuhi tanggung jawab perjanjiannya dengan Allah untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa.[6]

Kekristenan dan Heterogenitas Masyarakat
Orang-orang Kristen zaman Perjanjian Baru senantiasa diarahkan oleh Rasul-rasul untuk menyadari bahwa mereka berada di dalam dunia dan oleh karena itu harus mendunia dalam arti bahwa ia berpijak di bumi dan selama di dunia ini ia memiliki misi yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Hal itulah yang hendak dikedepankan oleh Matius dengan mengkonstantir kata-kata Yesus : “kamu adalah garam dunia…” (Matius 5:13) dan “kamu adalah terang dunia…” (Matius 5:14). Dan selama ada di dunia ini, orang-orang Kristen tidak boleh mengelak dari tanggungjawabnya dalam masyarakat dan Negara. Dalam hal itu Matius kembali mengkonstantir kata-kata Yesus: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar…” (Matius 22:21). Rasul Paulus pun menegaskan hal yang serupa ketika ia mengatakan: “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya” (Roma 13:1-2). Ketika Paulus menuliskan surat itu, komunitas-komunitas Kristen telah tersebar di berbagai tempat yang dikuasai oleh pemerintah yang berbeda budaya dan agama dengan mereka bahkan yang cenderung memusuhi mereka. Pada umumnya, rasul-rasul selalu menasehati orang-orang Kristen agar menjadi panutan dalam segala perbuatan yang baik di tengah-tengah masyarakat di mana mereka berada. Rasul-rasul menghendaki agar orang-orang Kristen dapat menjadi “surat Kristus” (band. 2 Kor. 3:3) yang dapat “dibaca” oleh semua orang di tengah-tengah masyarakat.
Lewat rasul-rasul, Allah menunjukkan kehendak-Nya agar orang-orang Kristen menyadari bahwa mereka hidup dalam masyarakat yang heterogen, dan justru itu merupakan peluang untuk menjadi “surat Kristus” lewat realitas hidup mereka yang bertanggung jawab penuh di tengah-tengah masyarakat.
Abad-abad awal kekristenan di warnai oleh pergumulan gereja untuk merumuskan doktrin Kristen yang berakar pada doktrin-doktrin Kristologis yang dirumuskan di Nicea dan Kalsedon. Hasil perumusan Konsili Kalsedon tentang inkarnasi Allah di dalam Yesus telah menggiring gereja Kristen tiba pada keyakinan bahwa dirinya adalah satu-satunya “masyarakat yang sempurna” yang diidentikkan dengan Kerajaan Allah.[7] Akibatnya, gereja menjadi suatu persekutuan yang eksklusif. Dan di Abad Pertengahan, Gereja Kristen mengisolasi diri sedemikian rupa dengan mengkonsentrasikan diri pada hal-hal yang batiniah sambil membela diri terhadap perkembangan pemikiran yang terjadi di luar gereja.[8] Jika Gereja melakukan kegiatan keluar, maka kegiatan itu merupakan “pemberitaan Injil” dalam bentuk propaganda dengan tujuan untuk penambahan anggota gereja. Hal itu terjadi berabad-abad lamanya. Dan dapat dikatakan bahwa Gereja Kristen di Indonesia berdiri juga merupakan hasil propaganda Kristen itu, karena itulah cara Pekabaran Injil badan-badan zending dari Eropa dan Amerika Serikat di masa lalu. Dan propaganda Kristen seperti itu, oleh kalangan Kristen tertentu, masih diteruskan sampai sekarang ini dalam bentuk kebangunan rohani, kampanye kesembuhan dan sebagainya.
Segala kegiatan Pekabaran Injil dan pelayanan Gereja seperti itu bertolak dari pemahaman teologis, bahwa Allah mengasihi manusia, oleh karena itu Allah menyelamatkan manusia di dalam dan melalui Yesus Kristus. Penyelamatan itu bersifat spiritual, dan oleh karena itu kegiatan Pekabaran Injil adalah untuk mentobatkan orang dan menjadikan orang yang bertobat itu sungguh-sungguh rohani, dan segala kegiatan Gereja haruslah bersifat rohani. Hal yang demikian itulah yang membuat banyak orang Kristen hidup dalam dua dunia dan mengidap skizoid rohani, waham dan sebagainya yang terlihat lewat sepak terjangnya; dalam kegiatan ibadah ia berperilaku yang amat berbeda dari realitas sehari-hari.

Pemikiran Ulang Misi Gereja
Anggapan tradisional di kalangan orang Kristen, bahwa misi “hanyalah apa yang dilakukan oleh para misionaris dengan menyelamatkan jiwa-jiwa…”[9] harus dipikirkan ulang secara jujur dan terbuka. Jujur terhadap apa yang dikatakan Kitab Suci dan terbuka terhadap koreksi Alkitab. Harus dipikirkan kembali apa hakikat dan tujuan misi yang sebenarnya.
Misi bukan sekedar mentobatkan orang, tetapi juga bukan sekedar diskusi tentang kegiatan sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan sebagainya, melainkan peran serta Kristen dalam semua bidang kehidupan di dunia ini, termasuk sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya dsb. Untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di bumi ini.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya misi itu, adalah partisipasi orang-orang Kristen dalam karya pembebasan, penyelamatan dan pembangunan manusia yang bersifat eskatologis, yakni yang sudah, sedang dan akan dilakukan oleh Yesus Kristus yang berdampak pada perubahan dan pembaharuan (transformasi) masyarakat. Hal itu berarti bahwa orang-orang Kristen harus berperan serta dalam perubahan dan dalam segala upaya pembaharuan masyarakat.

Untuk dapat berperan serta dalam perubahan dan pembaharuan masyarakat, maka orang-orang Kristen di Indonesia harus mengetahui apa permasalahan yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia di masa kini.

Permasalahan Masyarakat Indonesia
Kekacauan ekonomi yang luar biasa mulai melanda Indonesia pada tahun 1997 lalu mengguncangkan pasar uang global, dan menyebabkan ekonomi Indonesia menjadi compang-camping. Sejak itu, Indonesia mengalami krisis moneter. Kisah tentang krisis moneter hampir-hampir tidak menjadi berita utama lagi, namun bagi kebanyakan orang Indonesia krisis ekonomi itu sama sekali belum teratasi.

Di bidang sosial politik, negeri ini sedang menghadapi isu-isu multikulturalisme, seperti konflik yang berkerpanjangan di Papua, Aceh, Poso dan beberapa kasus lain yang melibatkan orang-orang Indonesia keturunan Cina dan juga kasus Sang Timur (kasus inter-religius). Ini adalah kasus di mana orang-orang setempat dari latar belakang religius yang berbeda bertikai sama lain atas pembangunan gereja lokal di area yang didominasi oleh umat Muslim. Dibangunlah blokade dari tembok yang menutup jalan masuk ke Gereja itu yang menyebabkan timbulnya ketegangan antara kubu-kubu yang berlawanan. Gus Dur datang pada suatu pagi dengan 100 Banser NU untuk meruntuhkan dinding itu, meskipun Walikota telah meruntuhkan dinding itu sebelum mereka datang, dialog tak terfasilitasi dengan mudah dan Gus Dur serta-merta ke luar dari mesjid setempat dalam kemarahan sesudah perdebatan dengan masyarakat Muslim setempat. Kasus itu belum terselesaikan dan baru-baru ini telah dibangun pula blockade pada salah satu jalan masuk menuju ke Gereja itu.
Dan ledakan bom yang terjadi di depan Kedutaan Australia beberapa bulan yang lalu telah menambahkan tantangan lebih lanjut kepada pemerintah dalam memerangi terorisme internasional. Bom itu telah menimbulkan keraguan apakah pemerintah dapat memberikan rasa aman kepada rakyat banyak.
Setelah memaparkan semua ini, kita bisa menunjuk sekurang-kurangnya ada tiga dasar permasalahan:
1.) Persoalan bagaimana mengusahakan dan mencapai integrasi bangsa di tengah-tengah gerak sentrifugal sub-nasional yang menunjukkan kesetiaannya kepada kelompok rasial linguistik, kesukuan, atau kelompok-kelompok religius;
2.) permasalahan tentang bagaimana cara menetapkan, meningkatkan dan memelihara ketertiban politik berhadapan dengan ancaman disintegrasi;
3.) dan permasalahan tentang bagaimana cara menemukan suatu ideologi yang mampu mempersatukan seluruh rakyat untuk mencapai tujuan umum modernisasi.

Yang berkaitan dengan Indonesia, penyebab utama dari seluruh permasalahan adalah permasalahan ketidakcakapan (inkompetensi) para pemimpin. Ada sangat banyak para pemimpin tetapi tanpa kepemimpinan. Kita memerlukan para pemimpin dengan kepemimpinan yang baik, yang bisa membawa perubahan. Sesungguhnya, orang-orang di seluruh negeri ini merindukan perubahan. Perubahan yang didambakan itu adalah perubahan bagi terciptanya masyarakat yang lebih baik, perubahan demi kehidupan ekonomi yang lebih baik, perubahan demi pemerintahan yang lebih baik, perubahan demi kultur politik yang lebih baik, perubahan demi lingkungan hidup yang lebih baik dan perubahan demi masa depan yang lebih baik. Para pemimpin yang baik adalah para pemimpin yang bertindak selaku agen perubahan.

Proses Perubahan dan Pembaharuan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, rakyat negeri ini dimanapun mereka berada mendambakan perubahan. Tetapi apakah perubahan dan pembaruan itu memang penting dan diperlukan? Apakah perubahan memang sungguh-sungguh akan terjadi? Menurut Herakleitos, seluruh realitas ini ada dalam perubahan dan pembaruan yang terus-menerus terjadi yang merupakan suatu proses reformatio ad infinitum. Proses perubahan itu terjadi secara terus menerus bagaikan sungai yang mengalir. Oleh sebab itu Herakleitos berkata, panta khorei kai uden menei. Semuanya mengalir, segala-galanya berubah dan tidak ada yang tetap.. Bagi Herakleitos, pembaruan dan perubahan adalah sesuatu yang riil, kita tidak dapat menghindarinya, apakah kita rasa penting atau tidak, perubahan dan pembaruan itu akan terus berlangsung.Tidak ada yang tinggal tetap, segalanya berubah dan akan terus berubah. Oleh karena itu yang penting bagi kita ialah bagaimana cara mengarahkan perubahan itu sehingga gerak pembaruan selalu terpusat kepada kebaikan untuk manusia dan lingkungannya.
Bahwa perubahan itu terus menerus terjadi, diungkapkan juga oleh Plato dalam teori politiknya. Bagi Plato, reformasi dan pembaruan politik merupakan hal yang paling esensial dan yang benar-benar riil dalam kehidupan politik. Tentu saja Plato tiba pada kesimpulan yang demikian itu, karena ia mulai dari bentuk pemerintahan, yang menurut Plato paling ideal, yakni: Aristokrasi. Plato mengatakan bahwa Aristokrasi adalah bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh para cendekiawan berdasarkan keadilan dan kebenaran. Segala-galanya berorientasi pada kepentingan bersama, pemerataan keadilan dan kemakmuran juga bagi kemakmuran seluruh rakyat. Akan tetapi karena manusia itu tidak sempurna, dan mereka yang telah terlampau lama memegang kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu untuk memperoleh kehormatan dan kemuliaan bagi diri sendiri, sehingga pemerintahannya tidak lagi terarah untuk kepentingan umum tetapi demi diri sendiri. Pada saat itu pula terjadilah perubahan dari Aristokrasi menjadi Timokrasi. Jika penyelenggaraan pemerintahan berlangsung bagi kepentingan diri atau bagi kelompok penguasa, maka kekayaan dan penghasilan nasional digunakan seperti milik mereka sendiri. Dalam kasus seperti itu kembali terjadi perubahan dari Timokrasi menjadi Oligarkhi. Dalam bentuk Oligarkhi, orang-orang kaya yang memonopoli kekuasaan akan terus-menerus mengejar kekayaan bagi diri sendiri, sehingga keadaan masyarakat umum sangat menyedihkan. Oleh karena kemiskinan dan tekanan tak dapat dipertahankan lagi maka rakyatpun bersatu untuk memberontak terhadap para penguasa dan orang-orang kaya itu dan terjadilah revolusi social yang membawa pembaruan dan perubahan. Akibat reformasi tersebut, bentuk pemerintahan telah berubah dari Oligarkhi menjadi Demokrasi. Demokrasi mengagungkan kebebasan dan kemerdekaan, tetapi karena rakyat pada akhirnya mengejar kebebasan yang tak terbatas dan menginginkan kemerdekaan yang tak terbatas, hukum tak dihargai lagi karena dianggap membatasi kebebasan, lalu terjadilah anarkhi. Anarkhi memberi kesempatan kepada setiap orang untuk melakukan apa saja yang mereka ingin lakukan sehingga segala-galanya menjadi kacau balau. Dalam keadaan yang demikian, rakyat mulai merindukan tampilnya seorang pemimpin yang kuat yang sanggup mengubah situasi dan kondisi saat itu. Akhirnya tampilah seorang Tiran yang siap mengenyahkan kekacaubalauan itu tetapi pada saat yang bersamaan telah merampas kebebasan seluruh rakyat. Dari jaringan perubahan yang dibuat oleh Plato, terlihat bahwa arah perubahan itu semakin lama semakin membuat manusia jauh dari kebenaran, kemakmuran dan keadilan!

Perubahan dan Pembaharuan dalam Alkitab dan dalam Sejarah Gereja
Dari paparan di atas, terlihat bahwa reformasi politik merupakan suatu keharusan. Jika kita hendak merekam seluruh peristiwa pembaruan yang sudah terjadi, maka ribuan buku yang tebalpun tidak akan dapat menampungnya. Karena pada paper ini kita akan mendiskusikan peran gereja di tengah-tengah perubahan dan pembaruan, maka berikut ini saya hanya mengedepankan tiga model perubahan, dua ada di Alkitab, sedangkan yang terakhir adalah perubahan yang terjadi di awal abad XVI yang melahirkan Gereja Protestan. Lewat ketiga model itu kita akan melihat peran apa yang perlu diperankan oleh gereja ditengah pembaruan dan perubahan yang sedang berlangsung di Indonesia.
Pertama-tama, kita akan membicarakan tentang reformasi Niniwe sebagaimana yang diceriterakan dalam Kitab Yunus. Niniwe pada waktu itu merupakan ibu kota kekaisaran Assiria, yang bermusuhan dengan Israel. Menurut Nahum, Niniwe penuh dengan “ketandusan, penandusan dan penindasan!’ (Nahum 2:10), “…kota penumpah darah…seluruhnya dusta belaka, penuh perampasan, dan tidak henti-hentinya penerkaman!” (Nahum 3:1). Dapat dibayangkan bagaimana situasi dan kondisi bangsa dan Negara yang menganggap kaisar sebagai titisan dewa. Penandusan, penindasan, pertumpahan darah, kebohongan dan penerkaman satu sama lainnya sah-sah saja atas nama kaisar! Allah selalu memihak yang lemah dan tertindas, oleh karena itu Allah mengutus Yunus untuk menyampaikan berita hukuman atas Niniwe. “Empatpuluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan” (Yunus 3:4). Tetapi Allah membatalkan hukuman itu! Mengapa? Karena terjadi pembaruan total.Bukan pembaruan yang terjadi secara evolusioner melainkan pembaruan yang bersifat revolusioneryang dimulai dengan pembaruan moral. Semuanya tanpa terkecuali, tanpa mempersalahkan dan menuntut orang lain raja dan rakyat, orang-orang tua dan anak-anak, bahkan juga hewan berpuasa sebagai tanda kesediaan untuk mengubah dan memperbaharui diri mereka sendiri. Pembaruan itu berhasil karena mereka mulai dengan diri mereka sendiri. Bagaimana dengan Yunus? Sebenarnya Yunus tidak mau diutus ke Niniwe. Ia tidak mau pergi ke negeri musuh bangsanya. Tetapi oleh kuasa Tuhan akhirnya ia pergi juga ke Niniwe. Ketika ia menyampaikan berita hukuman kepada Niniwe, ia berharap agar Allah sungguh-sungguh melakukannya. Ia berharap Allah hanya memberkati bangsanya dan menghukum bangsa yang melawan bangsanya. Dan Alkitab mengatakan bahwa Yunus kecewa
Model Pembaruan yang kedua ialah reformasi Josia. Josia adalah raja ke 16 dari kerajaan Yehuda yang memerintah dari tahun 640 sampai 608 SM. Pembaruannya bersiafat gradual yang dimulai dari pembaruan agama. Reformasi itu masih terus berlangsung ketika ia wafat dalam pertempuran melawan pasukan Mesir. Kelihatannya rakyat mendukung pembaharuan itu tetapi kenyataannya mereka tidak pernah berubah dan membaharui diri. Oleh karena itupenghukuman Tuhan tetap dilangsungkan dan hal itu terjadi 24 tahun sesudah Yosia wafat, mereka ditawan dan dibuang ke Babelonia. Reformasi model ke dua ini merupakan reformasi yang gagal dan oleh karena itu tidak patut ditiru namun kita perlu mempelajari penyebab kegagalan itu agar kita dapat menghindarinya hal yang sama.
Model pembaruan ketiga ialah reformasi Luther dan Calvin. Luther menolak doktrin papal mengenai dua pedang yang mengklaim bahwa Paus telah menerima seluruh kuasa di dunia ini, kuasa spiritual dan sekuler. Luther mengatakan bahwa pemerintah menerima kekuasaan mereka langsung dari Allah. Sebagaimana yang terdapat dalam pemikiran Agustinus, Luther mengatakan bahwa ada dua jenis kekuasaan di antara manusia. Jenis yang satu bersifat spiritual dan diperintah oleh Firman Allah tanpa pedang menjadikan manusia benar dan saleh demi mencapai kehidupan yang kekal. Ia berpendapat bahwa Negara adalah institusi ilahi yang berfungsi untuk mencegah anarkhi. Oleh karena itu ia mengizinkan Negara mencampuri urusan gereja demi kebaikan gereja itu sendiri. Calvin (1509-1564) juga meneguhkan bahwa Gereja dan Negara adalah dua lingkungan berbeda yang diperintah oleh satu kekuasaan, yaitu Yesus Kristus. Apabila Negara memuliakan Tuhan dengan mengupayakan keadilan, damai, dan kebebasan, maka gereja wajib bekerjasama dan mendukungnya. Dukungan gereja terhadap Negara terbatas pada sejauh Negara tidak merampas kesetiaan gereja terhadap Yesus Kristus. Mereka melakukan pembaruan yang dimulai dengan pembaruan yang bersifat teologis dan spiritual: Keselamatan bukan oleh amal manusia tetapi oleh pemberian Allah dari atas. Martin Luther dan para reformator lainnya melakukan pembaruan yang dimulai dari diri mereka sendiri.
Mempelajari ketiga model pembaruan tersebut di atas, ada beberapa catatan yang penting diperhatikan, yakni: Ketiga model pembaruan tersebut tadi selalu dimulai dari diri sendiri. Yunus yang pada mulanya hendak melarikan diri dari panggilan-Nya, melewati pengalaman 3 hari diperut ikan, mengalami pembaruan dan siap melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya. Demikian pula raja dan rakyat Niniwe mengalami perubahan dengan membaharui diri mereka sendiri. Martin Luther dan para reformator lainnya telah mengalami perubahan dan pembaruan sebelum mereka melakukan reformasi. Reformasi Yosia gagal kendatipun ia telah mengubah dan mengalami pembaruan, tetapi rupanya ia gagal membuat orang-orang disekitarnya dibaharui mulai dari dalam diri mereka sendiri. Memang di hadapan raja mereka terkesan telah berubah tetapi rupanya hanya pro forma belaka. Pembaruan yang dipaksakan dari luar (dalam hal ini oleh raja mereka) tentu saja tidak murni, dan sesudah raja mereka mati, perilaku mereka kembali seperti semula. Reformasi moral harus terjadi di dalam diri sendiri. Dari ketiga model tersebut di atas tidak ada perbuatan yang menunjukkan kecenderungan kepada anarkhi, Model kedua kendati tidak begitu sukses tetapi selama Yosia masih memerintah, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tetap berlangsung tertib dan teratur. Reformasi Martin Luther dianggap ringan dan tidak mungkin dapat mengubah Gereja Roma Katolik pada masa itu, kendatipun Martin Luther sendiri ingin memperbaiki dari dalam seluruh ajaran Gereja yang telah menyimpang. Tetapi karena ia telah dikeluarkan dari gereja resmi maka sesudah itu ia berjuang untuk meluruskan ajaran gereja dari luar yang akibatnya melahirkan Gereja Protestan. Namun Luther dan kawan-kawannya tidak pernah melakukan hal-hal yang anarkhis.
Jelas terlihat bahwa perubahan sosial dan pembaruan pribadi memiliki pertautan yang erat bahkan jalin-menjalin satu sama lainnya. Sehubungan dengan itu, pembaruan pribadi akan menyebabkan terjadinya perubahan sosial dengan cepat. Jadi ada kaitan antara perubahan sosial dengan pertobatan. Pertobatan berarti bahwa kita menjadi sadar adanya suatu hubungan pribadi dengan Yesus Kristus dan itu berarti pada waktu yang bersamaan pula kita memiliki hubungan yang baru dengan sesama kita.
Perjuangan dan usaha untuk perubahan dan pembaharuan yang dilakukan pemerintah selama ini, hanyalah mengubah sistem, konstitusi dan peraturan-peraturan. Upaya yang demikian itu hanya bagaikan usaha untuk menyembuhkan gejala penyakit dan bukan menyembuhkan penyakit itu sendiri.
Untuk berubah, tidak hanya dengan mengubah sistem, peraturan dan konstitusi tetapi kita harus memperbaharui perilaku dan kultur dari masyarakat. Untuk mengubah perilaku dan kultur masyarakat, berarti harus mengubah anggota masyarakat, secara individual. Idealnya, setiap orang harus mengalami pembaruan itu.
Pada peristiwa Sodom dan Gomora, seandainya masih ada sepuluh orang-orang yang tidak bersalah di kota-kota itu, maka pasti kedua-duanya tidak akan dibinasakan. Dalam hal ini, masyarakat memerlukan peran dari para pemimpin Kristen untuk mengubah pola hidup dan kultur masyarakat lewat perilaku dan perbuatan mereka. Siapakah para pemimpin Kristen itu? Mereka adalah orang tua Kristen, para guru dan para pemimpin formal dan informal di masyarakat. Mereka semua adalah para pemimpin yang bertanggung-jawab atas kelanjutan hidup dalam suatu masyarakat.

Tugas Misioner Gereja Masa Kini: Menjadi Agen Perubahan

Gereja sebagai umat Allah tidak bisa menjadi “perpanjangan tangan Tuhan” di dunia hanya melalui pendetanya. Untuk menjadi agen-perubahan yang efektif di dunia, Gereja harus mempunyai warga jemaat yang berperan aktif, yaitu., orang tua, para guru, dan banyak para pemimpin formal dan informal di masyarakat, yang menyadari diri mereka sebagai "rasul" Tuhan dan yang bergerak keluar dari gereja ke dalam masyarakat untuk melakukan misi gereja untuk dunia ini. Gereja perlu memotivasi dan memperlengkapi anggotanya, yakni: orang tua, para guru, dan banyak para pemimpin formal dan informal di masyarakat, untuk bergerak sebagai agen-perubahan di masyarakat, lewat kata, sikap, perilaku dan perbuatan nyata.


Bibliografi:

Anderson, Charles W., et. al. Issues of Political Development. Englewood Cliffs,
N.J.: Prentice-Hall, Inc., 1967.

Armerding, Hudson T. Leadership. Wheaton: Tyndale House Publishers, Inc., 1978.
Bosch, David J. Transformasi Misi Kristen. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1999.
Coward, Harold. Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 1989.
Department of Information, Republic of Indonesia, Indonesia 1984 . Jakarta:
Directorate of Foreign Information Services, 1984.

D’Souza, Anthony. Developing The Leader Within You. Singapore: Haggai Centre,
1994.
Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, Inc., 1973.
Maggay, Melba Padilla. Transformasi Masyarakat. Jakarta: Cultivate, 2004.
Newbigin, Lesslie. Injil Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 1999.
Parsons,Talcott. Structure of Social Action. New York: McGraw-Hill, 1937.

Susanto, A.B. Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin. Jakarta: Grasindo, 1997.
Thomas, Norman E., Teks-Teks Klasik tentang Misi dan Kekristenan Sedunia.
Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1998.
Youssef, Michael. The Leadership Style of Jesus. Wheaton: Victor Books, 1986.
Ziv,Daniel. Jakarta Inside Out. Jakarta: Equinox Publishing, 2002.

Catatan Akhir:

[1] Department of Information, Republic of Indonesia, Indonesia 1984 (Jakarta: Directorate of Foreign Information Services, 1984), p. 9.
[2] Ibid.
[3] Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hl. 9.
[4] Ibid., hl. 10.
[5] Ibid., hl. 13.
[6] Ibid.
[7] band. Ibid., hl.33.
[8] Ibid.
[9] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1999), hl. 798.