Tuesday, February 3, 2009

Quo Vadis Pendidikan Teologi?


Pdt. Dr. Jan H. Rapar, Th.D.,Ph.D.



Pertanyaan yang menjadi judul seminar hari ini mengindikasikan adanya ketidakjelasan arah yang sedang ditempuh oleh pendidikan teologi. Berangkali yang mengajukan pertanyaan ini melihat bahwa pendidikan teologi sedang berada di persimpangan jalan dan sedang bingung untuk menentukan apakah hendak ke kiri atau ke kanan atau jalan terus? Tetapi saya kira pertanyaan ini, setidak-tidaknya hendak menggugah dan merangsang para pelaku pendidikan teologi untuk mempertanyakan ulang arah yang tepat yang harus ditempuh oleh suatu pendidikan teologi di masa kini! Dan berangkali itulah maksud dari Fakultas Teologi UKIT mengadakan seminar ini dalam rangka Dies Natalis-nya yang ke-42.

Memang pendidikan teologi sedang menjadi sasaran kecaman oleh berbagai pihak.[i] Ada banyak gereja yang mengatakan bahwa pendidikan teologi di masa kini menghasilkan sarjana-sarjana yang tidak siap pakai! “Terlampau akademis” tetapi tidak memenuhi kebutuhan gereja! Ada pemimpin-pemimpin gereja yang mengatakan bahwa pendidikan teologi telah menjadi lemari-lemari arsip untuk informasi-informasi teoritis belaka daripada menjadi pusat penggemblengan para pelayan Kristen yang dapat diandalkan. Di sisi lain para mahasiswa menuntut agar bahasa Iberani dan Yunani dikurangi tetapi mata kuliah penggembalaan dan praxis urban ditingkatkan bobotnya. Sementara itu, para teolog yang mengajar di lembaga-lembaga pendidikan teologi mengeluh bahwa keinginan untuk hal-hal praktis telah menggembosi kurikulum pendidikan teologi menjadi hanya semacam kursus-kursus yang sekedar memberi petunjuk “how to do it!” Sedangkan masyarakat di luar lingkungan gereja tidak merasakan manfaat apapun dari pendidikan teologi itu! Eksis atau tidak pendidikan teologi itu, tidak mempunyai pengaruh apa-apa bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, apakah sebenarnya yang diharapkan dari suatu pendidikan teologi? Apakah pendidikan teologi itu memang memiliki tempat di dalam gereja kita dan di dunia ini? Apakah pendidikan teologi itu untuk gereja atau untuk dunia ini? Bagaimanakah kita hendak memahami tugas dan fungsi pendidikan teologi itu?

Pada umumnya, para pengelola pendidikan teologi termasuk staf pengajarnya, meyakini bahwa mereka terpanggil untuk memenuhi kebutuhan gereja dalam mengemban tugas pelayanannya. Dan memang kenyataannya menunjukkan bahwa, “theological education has developed as a means dedicated primarily to informing, training and educating pastoral agents to guide the churches in their diverse ministries.”[ii] Memang tidak dapat disangkal bahwa konteks terdekat pendidikan teologi ialah gereja sebagai komunitas orang-orang yang mengaku Allah selaku pembebas, penyelamat dan Tuhan. Namun gereja menyadari bahwa keberadaannya adalah keberadaan untuk dunia. Bahkan gereja juga memahami bahwa keberadaan Allah itu sendiri adalah keberadaan untuk dunia, ciptaan dan milik-Nya. Allah adalah “Tuan” (Lord) dunia ini, dan “ketuanannya” (lordship) itu hanya dapat dipahami dan disadari ketika Allah diakui selaku Pencipta, Penebus, Pembebas dan Penyelamat dunia. Oleh karena itu, dunia yang terus-menerus berada dalam perubahan, adalah juga konteks terdekat pendidikan teologi yang perlu diperhatikan.

Dengan demikian terlihat bahwa pendidikan teologi sesungguhnya berada dalam ketegangan korelatif di antara kedua konteks tersebut di atas. Gereja sering mengecam pendidikan teologi sebagai institusi yang dianggap lebih loyal terhadap dunia, sehingga teologi telah diubah menjadi antropologi, dan iman telah digantikan oleh rasio. Sebaliknya dunia mengecam bahwa pendidikan teologi tidak ilmiah dan tidak obyektif, sebab itu ia tidak lebih daripada fungsi apologetis gereja. Pendidikan teologi harus menerima kecaman-kecaman itu dengan lapang dada. Pendidikan teologi harus menerima posisi ketegangan korelatif antara gereja dan dunia. Menyadari posisi keberadaanya yang demikian itu, harus diingat pula bahwa pendidikan teologi gagal memenuhi panggilannya apabila dalam komitmennya terhadap gereja ia melalaikan tanggung jawabnya terhadap dunia ini. Pada saat yang sama harus dikatakan pula bahwa pendidikan teologi tidak berhasil melaksanakan tugasnya apabila ia begitu terpukau oleh dunia ini sehingga melupakan tugasnya untuk membantu gereja menjadi gereja (to help the church to be the church).

Basis pendidikan teologi adalah gereja. Pendidikan teologi berasal dari gereja dan ditopang serta didukung oleh gereja. Dengan demikian pendidikan teologi tidak dapat berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan dari gereja. Oleh karena itu pendidikan teologi harus memiliki komitmen khusus terhadap gereja. Pendidikan teologi harus melayani kebutuhan gereja! Berkaitan dengan itu pimpinan gereja mengharapkan agar pendidikan teologi itu harus mengkomunikasikan iman yang sesuai dengan dogma gereja itu sendiri. Gereja Lutheran mengharapkan agar pendidikan teologi mereka harus mengajarkan apa yang diimani oleh Lutheran. Gereja Presbiterian mengharapakan agar pendidikan teologi mereka mengajarkan apa yang diimani oleh Presbiterian dan sebagainya. Pemaksaan kehendak sering dilakukan oleh gereja-gereja pemilik atau pendukung dana suatu pendidikan teologi tertentu karena menganggap “siapa yang menjadi sponsor atau yang membiayai, dia yang memiliki hak untuk menentukan segala kibijakan yang hendak ditempuh dan menetapkan apa yang harus diajarkan!”

Apakah tidak ada alternatif lain dalam merajut relasi yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab antara gereja dan pendidikan teologi? Tidakkah lebih baik jika pendidikan teologi yang ‘mengajar” gereja tentang apa yang harus diyakini dan apa yang harus dilakukan oleh gereja? Tidak! Antara kedua institusi itu, sebaiknya tidak ada satupun yang hendak mendominasi yang lainnya. Jika demikian, hendak mempertahankan status quo? Itu pun tidak! Saya berpendapat bahwa baik gereja maupun pendidikan teologi, kedua-duanya harus memiliki komitmen primer terhadap Kristus. Dan dalam komitmen terhadap Kristus itu, kedua-duanya harus berani melakukan autokritik demi memberlakukan apa yang Tuhan ingin berlakukan di dunia ini sebagaimana yang Ia nyatakan dalam Kitab Suci. Demi kebaikan gereja, pendidikan teologi harus berani menolak untuk dideterminasi dan didominasi oleh gereja, teristimewa yang berkaitan dengan soal-soal akademis. Pendidikan teologi justru akan dapat melayani gereja dengan lebih baik lagi, apabila ia mampu mengkritisi ajaran, tradisi dan praktek pelayanan denominasinya dalam keterbukaan oikumenis terhadap gereja-gereja lainnya, serta keterlibatannya secara aktif dan bertanggungjawab di dunia ini.

Dalam relasinya dengan dunia, pendidikan teologi harus memfokuskan dirinya kepada keprihatinan primer Allah yang berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan di dunia ini.[iii] Kenyataan menunjukkan bahwa segala sesuatu berubah dengan cepat. Benarlah apa yang dikatakan oleh Herakleitos ( ± 535 - 475 SM) bahwa tidak ada yang tetap, semuanya berubah. Dunia terus berubah. Transformasi terjadi dalam seluruh dimensi kehidupan manusia. Tidak ada yang tak tersentuh oleh perubahan! Politik, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya, teknologi, dan agama, mau atau tidak, sedang mengalami transformasi. Karena kita tidak mungkin menolak perubahan, maka sebaiknya kita menyambutnya dengan tangan terbuka lalu mengarahkan perubahan itu ke arah yang positif.

Dalam perubahan yang begitu cepat, manusia dan dunia masa kini telah memasuki era globalisasi. Tidak ada suatu komunitas mana pun juga yang terisolasi dan tak tersentuh oleh kekuatan globalisasi.[iv] Globalisasi telah meruntuhkan seluruh “tembok pemisah” antar bangsa, antar negara, antar budaya dsb. Tentu saja ada aspek positif dari globalisasi itu, seperti terbukanya kemungkinan bagi peningkatan kualitas dan kesejahteraan hidup, lancarnya transportasi, hubungan dan komunikasi antar manusia dari segala bangsa, teknologi informasi yang telah mengubah dunia menjadi sebuah “desa global” yang memungkinkan pertukaran gagasan antara orang-orang di negara yang berbeda-beda dsb.

Selain aspek positif, ada pula aspek negatif yang perlu diwaspadai seperti, di bidang ekonomi, dunia ketiga harus berhubungan dengan pasar dunia yang pada gilirannya menguasai dan mengendalikan dunia ketiga itu. Di bidang politik, dominasi ekonomi terhadap dunia ketiga itu tadi mempengaruhi kehidupan politik yang mengakibatkan konflik, dominasi dan eksploitasi politik. Di bidang sosial, peningkatan pendapatan melahirkan budaya materialistis dan konsumeristis yang menumbuhsuburkan egoisme, korupsi, oportunisme, berbagai tindak kekerasan dsb. Di bidang kultur, terjadilah invasi kultural oleh negara-negara maju. Di bidang agama, ancaman globalisasi dan sekularisasi menimbulkan fundamentalisme di berbagai agama yang menampakkan diri lewat fanatisme sempit dari berbagai kegiatan aliran garis keras yang mengancam ketentraman dunia.

Pendidikan teologi eksis dan berpijak di dunia ini. Namun relasinya dengan dunia ini diwarnai dengan ketegangan, pergumulan dan juga pertikaian. Dalam hal ini, pendidikan teologi harus mentransformasi dirinya dengan menyambut secara terbuka “pertikaiannya” dengan dunia ini agar ia dapat lebih memahami dan lebih mampu memberi interpretasi yang lebih tepat terhadap realitas. Kemampuannya untuk memberi interpretasi yang lebih tepat terhadap realitas itu yang akan memungkinkan pendidikan teologi berperan secara aktif dalam memanusiakan manusia. Manusia yang memanusia itu adalah manusia yang selalu berpikir konstruktif, innovatif dan kreatif. Dan itulah yang menjadi tugas pendidikan teologi di masa kini, yakni bukan sekedar menghasilkan sarjana-sarjana yang ber-ilmu tetapi memanusiakan manusia yang benar-benar konstruktif, innovatif dan kreatif yang juga terpanggil untuk memanusiakan manusia lainnya.

Agar tugas pendidikan teologi itu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga relevan dengan kebutuhan gereja dan dunia, maka pendidikan teologi di Indonesia, termasuk Fakultas Teologi UKIT perlu menyusun perencanaan strategis (strategic planning) yang benar-benar tepat. Yang sangat penting dalam menyusun perencanaan strategis itu ialah meredefinisikan visi dan misinya yang telah menjadi kabur di tengah situasi dan kondisi dunia, khususnya di tengah situasi dan kondisi bangsa dan negara kita.[v] Visi dan misi yang jelas akan menyatukan gerak langkah kita untuk merealisasikan visi dan misi itu. Pada tahun 1996, STT Jakarta merumuskan visi dan misinya sebagai berikut: Visi – Menjadi lembaga pendidikan teologi yang menjalankan dan mengelola pendidikan tinggi teologi di Indonesia dimana teologi diajarkan dan dikembangkan, dan riset dilakukan. Misi – Mendidik dan melatih para pelayan dan pemimpin gereja untuk membantu gereja-gereja melaksanakan tugas panggilannya di dunia, khususnya di Indonesia berdasarkan kesadaran dan gerakan ekumenis sebagai wujud panggilan Gereja di bidang pendidikan dan peran serta dalam pendidikan Nasional.[vi] Memang visi tersebut di atas telah menjawab pertanyaan, “what are we going to be” dan misinya pun telah menjawab pertanyaan “what are we going to do,” namun gagasan yang terkandung di dalamnya biasa-biasa saja! Mengapa kita tidak berani “bermimpi” dan mengatakan bahwa visi kita ialah “menjadi sekolah atau fakultas teologi yang terbaik sejagat yang menghasilkan sarjana-sarjana yang innovatif dan kreatif” dsb.

Perencanaan strategis (strategic planning) yang tepat harus dirumuskan dengan tepat pula kedalam perencanaan taktis (tactical planning) yang benar-benar operasional. Salah satu hal yang penting dalam perencanaan taktis ialah rencana pelajaran (plan for learning) yang sekarang ini terkenal dengan sebutan kurikulum. “Kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan.”[vii] Kurikulum memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan, karena ia berkaitan dengan pemberian arah, proses dan isi pendidikan yang menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu institusi pendidikan. Kurikulum merupakan program yang direncanakan dan dilaksanakan untuk merealisasikan visi dan misi.[viii] Sehubungan dengan itu, berangkali baik kita mengadakan autokritik terhadap kurikulum Fakultas Teologi UKIT, “apakah kurikulum kita itu mampu merealisasikan visi dan misi kita?”

Berbicara tentang kurikulum pendidikan teologi di Indonesia, Dr. E.G. Singgih mengatakan: Sejak dulu Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia (Persetia) bersama sekolah-sekolah anggota berusaha menyusun kurikulum yang dapat memenuhi harapan-harapan gereja akan tenaga-tenaga yang adalah sekaligus dapat menjadi pelayan gereja (pendeta) maupun mempunyai pengetahuan teologis yang memadai (teolog). Dengan diterimanya konsep kurikulum Persetia menjadi kurukum nasional teologi (yang berarti pengakuan Negara terhadap teologi sebagai ilmu) maka terbuka kesempatan bagi semua sekolah anggota untuk menyesuaikan kurikulum mereka dengan kurikulum nasional ini…[ix] Alangkah baiknya jika sekolah-sekolah teologi di Indonesia menjadikan kurikulum Persetia itu sebagai kurikulum standar minimal kemudian baru ditambahkan dengan semacam “muatan lokal” yang merupakan akselerator perealisasian visi dan misinya.

Untuk menjembatani gereja dan dunia, dan untuk menghasilkan sarjana-sarjana yang berwawasan luas, kreatif dan innovatif maka lembaga pendidikan teologi perlu mengatur praktek lapangan mahasiswa, bukan hanya ke jemaat-jemaat atau ikut kerja bakti di desa-desa saja, tetapi juga praktek di LSM-LSM, badan-badan legislatif dan yudikatif, lembaga-lembaga ekonomi, perusahaan-perusahaan multinasional dll. Dengan demikian, calon-calon pemimpin gereja telah diperlengkapi dengan kemampuan untuk menganalisis berbagai permasalahan sosial, politik, hukum, hak asasi, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, serta berbagai persoalan kemanusiaan lainnya.

Berbicara tentang pendidikan teologi sebenarnya berbicara tentang transformasi. Pendidikan teologi terpanggil untuk melakukan trnsformasi dalam segala bidang kehidupan. Pendidikan teologi harus mentransformasi pendidik dan peserta didik, tetapi juga mentransformasi komunitas orang percaya, bahkan komunitas dunia. Pendidikan teologi harus menjadi agen perubahan dan pembaruan! Semoga Fakultas Teologi UKIT menjadi pelopor bagi kehadirannya pendidikan teologi transformatif yang didambakan.


Endnotes:
[i] Band. Edward Farley, Theologia. The Fragmentation and Unity of Theological Education (Philadelphia:
Fortress Press, 1983) khususnya Kata pengantar dan Bab 1 dan 6.
[ii] José Duque, “Liberating Objectives in Theological Education,” Ministerial Formation 95 (October 2001) :
25.
[iii] Band. Gnana Robinson, “The Future of Theological Education in India,” Ministerial Formation 77 (April
1997) : 29.
[iv] Lihat Wati A. Longchar, “Globalization: A Challenge for Theological Education, A Third World Perspective”
94 (July 2001) : 8.
[v] Band. John A. Titaley, “Peran Pendidikan Teologi bagi Gereja dan Masyarakat” sebuah presentasi dalam
Konven Pendeta GPIB di Batu, Februari 2004.
[vi] Lihat Samuel Hakh, “Peranan STT Jakarta Dalam Gereja dan Masyarakat” presentasi dalam Konven Pendeta
GPIB di Batu, Februari 2004.
[vii] S. Nasution, Asas-asas Kurikulum (Jakarta: Bumu Aksara, 2001), hlm. 8.
[viii] Band. Ibid., hlm. 9.
[ix] E.G. Singgih, “Mengembangkan Sekolah Teologi Yang Memenuhi Harapan Gereja dan Masyarakat” presentasi dalam Konven Pendeta GPIB di Batu, Februari 2004.