Tuesday, June 22, 2010

FILSAFAT DAN METODOLOGI: Perkenalan Awal dengan Filsafat Ilmu

Dr. J. H. Rapar, Th.D., Ph.D.

Pengantar

Pembahasan tentang metodologi selaku telaah sistematik mengenai metode ilmiah merupakan bagian dari Filsafat Ilmu. Kendatipun metode-metode ilmiah sejak dahulu kala telah menjadi salah satu pokok bahasan yang sentral dalam filsafat, namun pengakuan terhadap metodologi sebagai salah satu disiplin ilmu, baru diberikan belakangan ini.

Filsafat Ilmu (Philosophy of Science) berbeda dengan Filsafat Pengetahuan (Philosophy of Knowledge) yang dikenal juga dengan nama Epistemologi. Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan dalam epistemologi ialah mengenai sumber, asal-mula dan sifat dasar pengetahuan; bidang, batas dan jangkauan pengetahuan, serta validitas dan relaibilitas(reliability) dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam epistemologi itu ialah: apakah pengetahuan itu? Apakah yang menjadi sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti ataukah hanya merupakan dugaan?

Filsafat ilmu sebenarnya memiliki dua tendensi, yakni yang “bertendensi metafisik” dan yang bertendensi “metodologik.”[1] Filsafat ilmu yang bertendensi metafisik membahas baik tentang basis ilmu tetapi juga tentang obyek ilmu dengan mempersoalkan tentang entitas dan hakikatnya, dapatkah manusia mengetahui obyek ilmu itu dengan benar dan apakah kebenaran ilmiah itu sendiri. Sedangkan filsafat ilmu yang bertendensi metodologik mempersoalkan tentang sistem cara kerja ilmu, validitas inferensi, konstruksi argumentasi dan data yang relevan. Filsafat ilmu yang berorientasi pada metodologi disebut Logika Ilmu.

Dari pokok bahasan filsafat ilmu terlihat bahwa sesungguhnya filsafat ilmu itu merupakan bagian dari filsafat pengetahuan. Ruang lingkup filsafat ilmu lebih bersifat khusus sedangkan ruang lingkup filsafat pengetahuan lebih umum. Oleh karena itu, filsafat pengetahuan dapat disebut sebagai epistemologi umum, sedangkan filsafat ilmu adalah epistemologi khusus.

Percakapan kita berikut ini berkisar pada epistemologi khusus dan lebih khusus lagi tentang logika ilmu. Namun sebelumnya kita perlu mempercakapkan terlebih dahulu mengenai apakah filsafat, apakah ilmu dan bagaimanakah hubungan keduanya.

Apakah Filsafat dan Ilmu itu?

Pertanyaan tentang apakah filsafat dan ilmu itu sesungguhnya telah setua filsafat dan ilmu itu sendiri. Pertanyaan itu harus dijawab dengan memberikan definisi yang tepat mengenai filsafat dan ilmu itu, tetapi justru di situ letak kesulitannya, sebab tidak ada satu pun definiens yang benar-benar memadai untuk memberi batasan arti kepada definiendum. Jika definisi tidak pernah memuaskan, lalu bagaimanakah kita hendak menemukan jawaban atas pertanyaan yang telah diajukan itu?

Untuk memahami apakah filsafat dan apakah ilmu itu, lebih baik kita coba mendeskripsikan ciri-ciri atau sifat-sifat dari filsafat dan ilmu itu. Ciri-ciri filsafat ialah logis, metodis dan sistematis. Logis karena ia menggunakan premis-premis yang tepat untuk meraih konklusi yang benar, metodis karena ia menggunakan metode tertentu dan sistematis karena suatu totalitas dirinci ke dalam bagian-bagian yang satu sama lainnya berurut secara rasional dan koheren. Tetapi harus segera ditegaskan pula bahwa ciri-ciri filsafat itu adalah juga ciri-ciri ilmu. Jika demikian, apakah perbedaan antara filsafat dan ilmu?

Memang apabila kita hanya mengamati ciri-ciri filsafat dan ilmu, maka kita tidak akan dapat menemukan perbedaan, karena pada hakikatnya kedua-duanya memiliki ciri-ciri yang sama. Sesungguhnya, perbedaan antara keduanya terlihat pada obyeknya masing-masing.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa validitas ilmu justru ditentukan oleh obyeknya. Suatu pengetahuan hanya dapat disebut sebagai ilmu apabila ia memiliki obyek, baik obyek material maupun obyek formal. Obyek material harus konkret agar dapat diobservasi dan diteliti menurut metode yang sesuai dengan obyek formalnya. Obyek ilmu terbatas hanya kepada satu obyek material tertentu yang dihampiri sesuai dengan sudut pandang obyek formalnya. Sebagai contoh: kedokteran obyek materialnya manusia sedangkan obyek formalnya penyakit dan terapinya, sosiologi obyek materialnya manusia dan obyek formalnya hubungan antar individu, individu dan masyarakat serta hubungan antar kelompok dan sebagainya.

Obyek filsafat adalah segala-galanya. Filsafat membuat seluruh realitas menjadi obyeknya (termasuk kebenaran prima principia) yang diteliti per ultimas causas yang merupakan obyek formal filsafat. Dan oleh karena obyek-obyek dari semua ilmu adalah obyek filsafat, maka dapatlah dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu dari ilmu atau ilmunya ilmu. Historis, filsafat memang merupakan mater scientiarum (induk dari segala ilmu pengetahuan), karena seluruh ilmu pengetahuan yang ada lahir dari filsafat.

Hubungan Filsafat dan Ilmu

Sebagaimana yang telah disebutkan tadi bahwa secara historis seluruh ilmu pengetahuan berasal dari filsafat. Memang pada mulanya apa yang disebut filsafat itu mencangkum seluruh ilmu pengetahuan.

Dalam perkembangan selanjutnya, lambat laun ilmu mulai memisahkan diri dari filsafat. Menurut Alfred N. Whitehead, ilmu mencapai titik kulminasi perkembangannya pada periode 1870 - 1880.[2] Sesudah itu ilmu telah tinggal landas.

Kendatipun berbagai ilmu pengetahuan itu telah berdiri sendiri, namun selaku “anak-anak” dari filsafat, ilmu-ilmu itu mewarisi sebagian besar karakter induknya. Sebagaimana yang telah dikatakan tadi bahwa baik filsafat maupun ilmu kedua-duanya memiliki ciri-ciri yang logis, metodis dan sistematis. Tetapi apabila bertolak dari obyeknya maka akan terlihat bahwa karena sesuatu ilmu hanya memiliki satu obyek material yang konkret maka ilmu melahirkan spesialis-spesialis, sedangkan filsafat yang obyeknya “segala sesuatu” melahirkan generalis-generalis. Ilmu yang harus memiliki satu obyek yang konkret membuat hipotesis-hipotesis yang benar salahnya harus dibuktikan lewat pengalaman, sedangkan filsafat tidak membuat hipotesis-hipotesis melainkan konsepsi-konsepsi yang benar salahnya diuji oleh akal budi semata-mata, yang berarti bahwa benar salahnya dibuktikan lewat spekulasi. Oleh karena itu seringkali dikatakan bahwa ilmu bersifat empirik dan filsafat bersifat spekulatif. Ilmu hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena fisik sebab itu ia harus melakukan riset dan eksperimen sedangkan filsafat hendak menjangkau apa yang berada di belakang fenomena fisik itu dengan akal budinya. Ilmu berupaya meraih kebenaran ilmiah, yakni kesesuaian pengetahuan dan obyeknya, sedangkan filsafat berupaya untuk memahami hakikat, asas-asas dan prinsip-prinsip dasar tetapi juga untuk meraih arti dan makna. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa ilmu berada pada batas pengalaman sedangkan filsafat melampaui batas-batas pengalaman. Jika ilmu dikembangkan terus, pada akhirnya ia akan tiba pada batas itu sehingga mau atau tidak ia harus kembali kepada induknya untuk memecahkan persoalan-persoalan yang berada di luar batas kompetensinya. Hal itulah yang menghadirkan filsafat dalam berbagai bidang ilmu, seperti: filsafat matematika, filsafat hukum, filsafat politik, filsafat pendidikan, filsafat bahasa , filsafat manajemen dan sebagainya.

Selaku mater scientiarum, filsafat memberi dasar dan landasan bagi ilmu untuk berkembang. Pada saat ilmu diperhadapkan dengan masalah-masalah yang sangat mendasar namun melampaui batas pengalaman maka dibutuhkan bantuan filsafat karena ia mempelajari semua bidang per ultimas causas. Tatkala ilmu-ilmu yang semakin terspesialisasi itu menjadi begitu asing terhadap satu dengan yang lainnya maka filsafat dibutuhkan untuk menjembatani jurang pemisah yang ada di antara ilmu-ilmu itu, karena filsafat yang mempelajari keseluruhan sanggup melihat kesatuan dari yang terpisah-pisah itu. Sesungguhnya filsafat pemberi dasar, perangka, pembangun landasan, penghubung dan pemersatu ilmu, sehingga walaupun ilmu-ilmu telah lama disapih oleh induknya, ilmu-ilmu itu tetap membutuhkan filsafat. Oleh karena itu banyak pakar yang mengatakan bahwa sesungguhnya hanya filsafatlah yang dapat memenuhi kebutuhan interdisipliner di masa kini.


Obyek Formal dan Metode

Metode sangat penting bagi pengembangan filsafat dan ilmu. Bahkan telah dikatakan sebelumnya bahwa salah satu ciri yang utama dari filsafat dan ilmu ialah metodis yang berarti filsafat dan ilmu harus memiliki metode. Metode menentukan berhasil tidaknya upaya menggapai kebenaran filsafati dan kebenaran ilmiah.

Ilmu-ilmu dapat dibedakan satu dari yang lainnya oleh obyek formalnya. Beberapa ilmu bisa memiliki obyek material yang sama namun obyek formalnya berbeda, misalnya sosiologi dan psikologi. Baik sosiologi maupun psikologi, obyek materialnya manusia namun obyek formalnya berbeda; sosiologi obyek formalnya pergaulan antar individu dan kelompok sedangkan psikologi obyek formalnya ialah tingkah laku manusia selaku pencerminan jiwanya. Obyek formal menentukan metode yang digunakan. Aristoteles mengatakan bahwa setiap obyek formal harus diteliti dengan metode yang sesuai. Hal itu berarti bahwa ada berbagai-bagi metode yang harus digunakan selaras dengan obyek formal suatu ilmu. Dengan demikian terlihat pula bahwa ada kaitan yang sangat erat antara obyek formal dengan metode. Bahkan sesungguhnya obyek formal dengan metode tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya, karena keduanya saling bergantung dan saling menentukan. Oleh karena itu, penentuan sesuatu metode yang hendak digunakan oleh suatu ilmu merupakan kompetensi dari ilmu itu sendiri. Tidak pernah ada satu metode yang dapat berlaku untuk semua bidang ilmu.

Kendatipun tidak ada satu metode yang dapat digunakan untuk semua bidang ilmu, tetapi karena ilmu-ilmu itu memiliki induk yang satu yakni filsafat, maka sesungguhnya ilmu-ilmu itu telah mewarisi satu metode dasar yang sama yang kemudian dikembangkan oleh masing-masing ilmu. Metode dasar itu disebut juga sebagai metode ilmiah umum,[3] sedangkan metode yang dikembangkan oleh masing-masing disiplin ilmu yang didasarkan pada metode ilmiah umum itu disebut metode ilmiah khusus.

Metode-Metode Ilmiah Umum

Metode-metode ilmiah umum membedakan dua situasi ilmiah yang berlainan satu sama lainnya,[4] yakni :

1. Situasi Inventif, yaitu situasi di mana metode digunakan selaku upaya yang ditempuh untuk memberi dasar atau untuk memperluas pengetahuan ilmiah (lewat penemuan baru ). Metode yang digunakan dalam situasi ini disebut metode penelitian.

2. Situasi Eksplikatif, yaitu situasi di mana metode digunakan untuk menguraikan, memaparkan, menjelaskan dan mengajarkan teori ilmiah yang telah tersusun dan terbentuk. Metode yang digunakan dalam situasi ini disebut metode edukatif, metode komunikatif dan sebagainya.

Metode penelitian yang fundamental[5] yang secara umum berlaku juga bagi metode edukatif ialah: :
1. Metode aposteriori (sering disebut metode kritis)
a. analisa/reduksi struktural :
- dari keseluruhan kompleks ke bagian yang sederhana.
- dari fakta-fakta atau gejala ke hakikat atau syarat- syarat.
b. induksi :
- dari yang singular ke yang universal.
- dari yang khusus ke yang umum.

c. regresi : dari akibat ke sebab.
- entah retrospektif : dari "sekarang" ke "dahulu".
- entah dari penglihatan "masa depan" ke "sekarang".

2. Metode apriori (sering disebut metode spekulatif).
a. Sintesa/produksi struktural :
- dari bagian yang sederhana ke keseluruhan kompleks.
- dari hakikat atau syarat-syarat ke fakta-fakta atau gejala.
b. Deduksi :
- dari yang universal ke yang singular.
- dari yang umum ke yang khusus atau mendetail.
c. Progresi : dari sebab ke akibat.
- entah evolutif : dari dahulu ke sekarang.
- entah prospektif : dari "sekarang" ke masa depan".

Metode-Metode Ilmiah Khusus

Setiap disiplin ilmu memiliki berbagai-bagai metode tersendiri, oleh sebab itu metode-metode yang digunakan dalam berbagai disiplin ilmu itu disebut metode-metode ilmiah khusus. Perlu pula dicatat bahwa dalam satu disi­plin ilmu tertentu, hampir tidak pernah ada metode tunggal, karena para ahli mengembangkan lagi metode yang telah ada sedemi­kian rupa sehingga memberi kesan seolah-olah setiap ahli memiliki metode tersendiri kendatipun tentu saja memiliki banyak persa­maan. Dalam contoh berikut ini, setiap disiplin ilmu menyajikan metode-metode pokok yang digunakan dengan tambahan catatan "dsb" untuk menunjukkan bahwa ada pengembangan metode-metode lain oleh ahli-ahli di bidang yang bersangkutan.

1. Sosiologi :
- metode observasi
- metode komparasi
- metode statistik
- metode studi-kasus
- metode historis-komparatif - dsb


2. Ilmu Politik :
- metode observasi
- metode analitis
- metode klasifikasi
- metode komparasi
- metode pengukuran (measurement) - dsb


3. Management :
- metode observasi
- metode analitis
- metode klasifikasi
- metode studi-kasus
- metode prediktif-hukum
- metode prediktif-struktural
- metode prediktif-proyektif
- metode prediktif-utopis - dsb

4. Psikologi :
- metode observasi
- metode komparasi
- metode klinis
- metode eksperimen
- metode genetis
- metode anamnese - dsb


Dilihat dari penyelesaian suatu proyek penelitian, maka metode ilmiah khusus itu dapat dibagi menjadi dua, sebagai berikut :

1. Metode Siklus-empirik : penelitian dilakukan di tempat yang tertutup atau di laboratorium.

2. Metode Vertikal dan Metode Linear : penelitian di lapan­gan; bagi metode vertikal dilakukan secara bertahap dengan urutan bawah ke atas atau sebaliknya, sedangkan bagi metode linear dilakukan setapak demi setapak dalam garis linear. Metode vertikal dan linear, pada umumnya digunakan dalam bidang-bidang ilmu : politik, ekonomi, sosiologi, dsb.


PERKEMBANGAN METODE ILMU PENGETAHUAN

Perkembangan metode ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh dua aliran besar dalam filsafat, yakni aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Kedua aliran ini saling bertarung dalam sepanjang sejarah filsafat.

Kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia bukan diperoleh lewat penalaran rasional abstrak melainkan lewat penga­laman empiris konkret. Fenomen-fenomen alami bersifat konkret dan dapat dipahami lewat tangkapan indra. Dan karena pengetahuan bersumber pada pengalaman inderawi, maka menurut empirisme, pengenalan inderawi adalah bentuk pengenalan yang paling sempur­na. Mereka secara radikal mengangkat data empiris sebagai sumber pembentukan pengetahuan. Dan dengan demikian empirisme dalam filsafat ilmu akan lebih mengandalkan dan mengutamakan sumbangan data empiris untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah. Itulah sebabnya induksi menjadi sangat penting bagi kaum empiris, seba­gai satu-satunya metode penalaran yang paling valid.

Sebaliknya, rasionalisme dalam teori pengetahuannya mengang­kat akal budi sebagai sumber pembentukan pengetahuan, yang berar­ti bahwa sumbangan akal lebih besar dari pada sumbangan pengala­man dan pengenalan inderawi. Rasionalisme menganggap mustahil untuk membangun suatu ilmu hanya berdasarkan fakta-fakta atau data-data empiris. Para penganut rasionalisme menganggap bahwa kendatipun ada begitu banyak jumlah fakta dan data empiris yang tersedia, tetap tidak akan cukup untuk menyusun suatu pernyataan universal yang berlaku secara mutlak. Sebabnya ialah : pengala­man senantiasa bersifat individual, karena itu tak mungkin menghasilkan suatu kebenaran yang universal. Paling jauh, penga­laman hanya menunjukkan bahwa sesuatu ada, atau sesuatu ada itu ada sedemikian rupa, ada begini atau ada begitu, akan tetapi tak pernah tiba pada suatu kesimpulan bahwa suatu itu seharusnya ada, atau seharusnya ada begini atau seharusnya ada begitu.

Oleh karena itu, bagi para penganut rasionalisme, yang paling utama dan yang paling dapat diandalkan adalah akal budi dan bukan pengalaman dan pengenalan inderawi. Dalam hal itu, deduksi adalah metode yang paling sahih dan yang sangat penting bagi kaum rasionalis, karena deduksilah metode penalaran ilmiah yang benar- benar mengandalkan akal budi manusia.


Dengan demikian jelas terlihat bahwa empirisme mengagungkan bentuk penalaran ilmiah induktif, bahkan dianggap yang paling valid sedangkan rasionalisme mengagungkan bentuk penalaran ilmiah deduktif dan dianggap sebagai yang paling sahih.


INDUKSI

Generalisasi Induktif [6]

Logika induktif (logika material) adalah cabang logika yang mempelajari prinsip-prinsip penalaran yang valid dengan bertolak dari sejumlah hal khusus untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. Penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik disebut generalisasi. Prinsip yang menjadi dasar penalaran generalisasi itu dapat dirumuskan demikian : apa yang berapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terjadi.

Baiklah kita mengambil contoh suatu penalaran induktif dari The Method of Science karya Thomas Henry Huxley (1825-1895), ia mengatakan demikian :

Kita hendak membeli apel, sebab itu kita mengunjungi suatu tempat menjual buah-buahan. Kita mengambil sebuah dan mencicipinya, ternyata masam rasanya. Kita memperhatikan apel itu dan ternyata bahwa apel itu keras dan hijau. Kita mengambil sebuah yang lain. Itupun keras, hijau dan masam. Si penjual buah menawarkan apel ketiga, akan tetapi sebelum mencicipinya, kita memperhatikannya dan ternyata bahwa yang ketiga itu pun keras dan hijau dan pada saat itu pun kita memberitahukan kepada si penjual bahwa kita tidak mau, karena yang itu pun pasti masam sama seperti kedua lainnya yang telah kita cicipi.[7]

Jalan pikiran si pembeli sejak dari awal hingga ia sampai pada kesimpulan bahwa apel yang ketiga itu pun masam rasanya, ialah suatu bentuk penalaran induktif.

Dari contoh diatas dua kali kita jumpai apel yang masam rasanya dalam kondisi keras dan hijau. Oleh sebab itu ketika mengetahui bahwa apel ketiga berada dalam kondisi yang sama, yaitu keras dan hijau, kita menyimpulkan, bahwa apel itupun akan masam rasanya. Konklusi yang demikian itu hanya merupakan hara­pan atau keyakinan, sebab konkulsi penalaran induktif tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti melainkan hanya suatu probabilitas atau suatu peluang. Dan memang dalam logika induk­tif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran yang pasti. Yang ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi.

Terlihat pula bahwa hasil penalaran induktif bersifat general, sehingga disebut generalisasi. Generalisasi tersebut berupa suatu proposisi universal, seperti: "semua apel yang keras dan hijau, rasanya masam" atau "semua logam yang dipanaskan memuai".

Dari contoh yang diberikan oleh Huxley tersebut di atas dapat pula diketahui ciri-ciri induksi, sebagai berikut :

1. Premis-premis dari induksi adalah proposisi-proposisi empirik yaitu fakta yang merupakan hasil langsung dari suatu observasi indera. Dalam hal itu pikiran tak dapat mempersoalkan benar tidaknya fakta itu, oleh sebab itu hanya dapat menerimanya. Sekali indera mengatakan demikian, pikiran tinggal menerimanya.



2. Konklusi penalaran induktif lebih luas daripada apa yang dinyatakan dalam premis-premisnya. Premis-premis hanya menunjukkan dua buah apel yang diobservasi dan yang ketiga dan seterusnya langsung dikatakan masam. Menurut keten­tuan logika, penalaran itu tidak sahih karena tidak didu­kung oleh premis-premis penalaran. Karena itu pikiran tidak terikat untuk menerima kebenaran konklusinya.

3. Kendatipun konklusi itu tidak mengikat, akan tetapi manu­sia yang normal akan menerimanya, kecuali jika ada alasan untuk menolaknya. Jadi konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya, dengan kata lain, konklusi induktif memiliki kredibilitas rasional. Kredibilitas rasional itu disebut probabilitas. Probabil­itas itu didukung oleh pengalaman yang menunjukkan bahwa konklusi itu biasanya cocok dengan observasi indera.

Analogi Induktif

Analogi juga sangat berperan dalam induksi. Berbicara ten­tang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain dan dua hal yang berlainan itu di bandingkan yang satu dengan yang lain. Lewat perbandingan itu, dicari persamaan dan perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran.

Contoh Analogi induktif :

1. Dalam Megaduta, karangan pujangga India, Kalidasa, dilu­kiskan seorang yang berada dalam pengasingan di tengah hutan teringat kepada kekasihnya dan melihat analogi di antara berbagai sifat kekasihnya dengan keadaan alam di sekitarnya, ia mengatakan :

sulur-sulur hijau membangkitkan kenanganku pada tubuhmu
pada mata kijang terkejut kulihat main matamu
melihat bulan kuingat pada sinar pipimu
rambutmu kulihat pada ekor merak
pada riak sungai yang tenang kulihat permainan keningmu.

2. Chairil Anwar dalam sajaknya mengatakan :

Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya yang terbuang .........

Apa yang diungkapkan oleh Chairil Anwar bukan sekedar analogi biasa tetapi suatu penalaran yang didasarkan atas analogi. Ia membuat perbandingan di antara dirinya dengan binatang jalang, akan tetapi juga menarik kesimpulan diatas dasar analogi itu, yaitu : bahwa aku ini dari kumpulannya terbuang ! (binatang jalang pada umumnya selalu diasingkan oleh kumpulannya).


Jadi terlihat bahwa analogi induktif tidak hanya menunjukkan persamaan diantara dua hal yang berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas dasar persamaan itu. Prinsip dasar analogi induktif itu dapat diformulasikan sebagai berikut :"karena d itu analog dengan a, b, dan c, maka apa yang berlaku untuk a, b, dan c, diharapkan berlaku juga untuk d.

Berbeda dengan generalisasi induktif, yang konkulsinya berupa proposisi universal, konklusi analogi induktif tidak selalu berupa proposisi universal, akan tetapi tergantung dari subyek- subyek yang diperbandingkan dalam analogi. Dan subyek itu bisa individual, partikular ataupun universal.


Kesesatan Induktif

Dalam penalaran induktif hingga pada penarikan konklusi, dapat terjadi kekeliruan atau kesesatan (fallacy/fallacia). Kesesatan yang berhubungan dengan penalaran induktif, yang ter­penting ialah :

1. Kesesatan karena tergesa-gesa menarik konklusi.
Contoh : Jejaka berjumpa gadis Solo di suatu pesta, kemudian dengan gadis solo kedua di toko dan ketiga di pentas. Ketiga-tiganya luwes ! Ia lalu ingin kawin dengan seorang gadis Solo yang dia­nggap semua luwes !

Konklusinya tergesa-gesa karena tiga fakta belum cukup dijadikan dasar konklusi yang dikenakan bagi seluruh wanita Solo yang berjumlah jauh lebih besar dari ketiga fakta itu.

2. Kesesatan karena kecerobohan dengan mengabaikan kondisi-kondisi yang harus dipenuhi dalam induksi, misalnya, apel yang asam ialah yang kondisinya hijau dan keras. Jangan ceroboh menarik kesimpulan bahwa sebuah apel pasti masam rasanya hanya melihat warnanya hijau pada hal jika diraba ternyata tidak keras.

3. Kesesatan karena prasangka.
Contoh : Jejaka yang mempersunting gadis Solo tersebut diatas! Ia betul-betul yakin bahwa istrinya itu luwes karena gadis Solo.

Lalu ibunya berkomentar kepadanya :

- kok istrimu seperti pedagang di pasar jika berbicara ?
+ karena ibu kalau berbicara mesti keras-keras sehingga ia mengira bahwa ibu agak tuli !
- mengapa istrimu kalau jalan seperti dikejar setan ?
+ karena ibu selalu membuat ia terkejut dan ketakutan !

Prasangka membuat orang tak mengindahkan fakta-fakta yang tidak cocok dengan konklusi yang telah diambilnya.


D E D U K S I

Logika Deduktif (Logika Formal)

Logika deduktif adalah cabang logika yang mempelajari prin­sip-prinsip penalaran yang valid berdasarkan bentuknya dan yang konklusinya secara "semestinya" diturunkan dari premis-premisnya.

Untuk mempraktekkan deduksi, logika deduktif menggunakan silogisme. Sesungguhnya, silogisme adalah penemuan Aristoteles yang terbesar dan yang paling mengagumkan di bidang logika dalam sejarah filsafat.

Silogisme memiliki tiga proposisi, dua proposisi awal disebut premis-premis dan kesimpulan yang ditarik dari premis-premis itu disebut konklusi. Jadi setiap silogisme terdiri dari dua premis dan sebuah konklusi. Tiap-tiap proposisi itu harus memiliki dua term, jadi setiap silogisme haruslah memiliki enam term. Tetapi karena setiap term dalam satu silogisme senantiasa disebut dua kali, maka sebenarnya dalam setiap silogisme hanya ada tiga term. Apabila proposisi yang ketiga, yaitu proposisi yang disebut konklusi diperhatikan dengan sekasama, maka pada proposisi ketiga itu terdapat dua term dari tiga term yang


disebut tadi. Yang menjadi subyek konklusi disebut term minor dan yang menjadi predikat konklusi disebut term mayor. Term yang terdapat pada kedua proposisi disebut term tengah.

Contoh silogisme :

Semua manusia adalah fana
John adalah manusia
Jadi : John adalah fana

Catatan : 1. Ketiga kalimat tersebut diatas adalah proposisi
2. Proposisi 1 dan 2 disebut premis
3. Proposisi ke 3 disebut konklusi
4. Ketiga term dalam contoh tersebut diatas ialah :
manusia, fana dan John.

Hukum Penyimpulan

Penalaran adalah proses berpikir yang didasarkan pada premis yang benar untuk menarik konklusi yang benar pula. Hal itu dapat dicapai apabila bentuk penalarannya sahih. Berdasarkan asumsi bahwa untuk penalaran itu bentuknya valid, maka hubungan kebenar­an antara premis dan konklusi itu dapat dirumuskan ke dalam hukum-hukum sebagai berikut :

1. Apabila premisnya benar,konklusi penalaran adalah benar.
Hukum itu cukup jelas, sebab konklusi itu terkandung di dalam premis. Maka kalau premisnya benar maka konklusinya pun tentu harus benar. Sebaliknya apabila konklusinya salah, maka kesalahan itu disebabkan karena premisnya sudah salah. Kesalahan konklusi sudah terkandung dalam premis yang salah. Maka hukum penyimpulan yang kedua ialah :

2. Apabila konklusi penalaran salah, maka premisnya juga salah.
Akan tetapi apabila premis penalaran salah, belum tentu konklusinya salah, seperti terlihat pada contoh berikut :
- Malaikat itu benda fisik
Batu itu malaikat
Jadi : Batu itu benda fisik
Maka hukum penyimpulan ketiga ialah :

3. Apabila premisnya salah konklusi penalaran dapat benar dapat salah.
Akan tetapi apabila konklusinya benar, belum tentu prem­isnya benar. Apabila kita bertolak dari konklusi yang benar, terbukti premisnya salah. Maka hukum keempat dapat berbunyi demikian:

4. Apabila konklusinya benar, premis penalaran dapat benar dapat salah.

Kekeliruan Karena Bahasa

Penalaran bisa salah karena kekeliruan bahasa. Beberapa kekeliruan karena bahasa yang perlu dihindari adalah sebagai berikut :

1. Kekeliruan karena aksen atau tekanan
contoh : tiap pagi pasukan mengadakan apel
apel itu buah
Jadi : tiap pagi pasukan mengadakan buah


2. Kekeliruan karena term ekuivok (memiliki arti lebih dari satu).

contoh : sifat abadi adalah sifat ilahi
John adalah mahasiswa abadi
jadi : John adalah mahasiswa yang bersifat ilahi

3. Kekeliruan karena arti kiasan

Jika dalam suatu penalaran sebuah arti kiasan disamakan dengan arti sebenarnya atau sebaliknya, terjadilah kesesa­tan karena arti kiasan. Kesesatan yang demikian itu sering disengaja dalam lawak.

4. Kekeliruan dalam Amfiboli

Amfiboli terjadi kalau konstruksi sebuah kalimat itu sedemikian rupa, sehingga artinya bercabang, misalnya :
- mahasiswa yang duduk diatas meja paling depan .......
apa yang paling depan !? mahasiswa ? atau meja ?


kesesatan relevansi

1. Argumentum ad hominem

Menolak suatu usul, tidak berdasarkan alasan penalaran ilmiah tetapi karena menolak orang yang mengusul.

2. Argumentum ad verecumdiam atau Argumentum auctoritatis

Menerima suatu usul karena kewibawaan, atau keahlian seseorang.

3. Argumentum ad beculum

Menerima usul karena ancaman

4. Argumentum ad misericordiam

Penalaran lewat belas kasihan

5. Kesesatan non causa pro causa

Suatu sebab yang sebenarnya bukan sebab atau bukan sebab yang lengkap

P E N U T U P

Pembahasan tentang metodologi selaku telaah sistematik mengenai metode ilmiah merupakan bagian dari Filsafat Ilmu.

Filsafat ilmu sebenarnya memiliki dua tendensi, yakni yang “bertendensi metafisik” dan yang bertendensi “metodologik.”[8] Filsafat ilmu yang bertendensi metafisik membahas baik tentang basis ilmu tetapi juga tentang obyek ilmu dengan mempersoalkan tentang entitas dan hakikatnya, dapatkah manusia mengetahui obyek ilmu itu dengan benar dan apakah kebenaran ilmiah itu sendiri. Sedangkan filsafat ilmu yang bertendensi metodologik mempersoalkan tentang sistem cara kerja ilmu, validitas inferensi, konstruksi argumentasi dan data yang relevan. Filsafat ilmu yang berorientasi pada metodologi disebut Logika Ilmu.

Metode sangat penting bagi pengembangan filsafat dan ilmu. Bahkan perlu ditegaskan bahwa salah satu ciri yang utama dari filsafat dan ilmu ialah metodis yang berarti filsafat dan ilmu harus memiliki metode. Metode menentukan berhasil tidaknya upaya menggapai kebenaran filsafati dan kebenaran ilmiah.

Metode-metode ilmiah dibagi ke dalam metode-metode ilmiah umum dan metode-metode ilmiah khusus. Metode-metode ilmiah umum selalu terdapat di semua bidang ilmu pengetahuan yang kemudian di lengkapi dan diperkaya dengan metode-metode ilmiah khusus yang hanya berlaku di bidang disiplin ilmu masing-masing.

Metode-metode ilmiah membutuhkan bentuk penalaran ilmiah yang merupakan suatu proses sistematik dan logis untuk meraih pengeta­huan ilmiah (scientific knowledge). Penalaran ilmiah itu ada dua macam, yang sesuai dengan jenis pembagian logika, yaitu : logika induktif dan logika deduktif.

Bentuk penalaran induktif dengan bentuk penalaran deduktif senantiasa bersaing untuk meraih pengakuan atas validitasnya bagi penelaahan ilmu pengetahuan.

Para ilmuwan masa kini tidak lagi mempertentangkan kedua bentuk penalaran ilmiah itu, tetapi menerima keduanya sebagai bentuk penalaran ilmiah induktif-deduktif selaku cara kerja yang komplementaris.


Tomohon, 10 Oktober 1994 -

Catatan:

[1] Lihat C.A.Van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu (Jakarta: Penerbit
PT Gramedia, 1985), hlm. 1-2.

[2] Lihat Alfred N. Whitehead, Science Philosophy (New York: Philosophical Library, 1948), p. 106.

3 Lihat Anton Baker, Metode-Metode Filsafat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 16.

[4] Ibid.

[5] Ibid. hlm 17

[6] R.G.Soekadijo, Logika Dasar (Jakarta :Penerbit P.T.Gramedia), hlm. 131-141.

[7] Diangkat dari Alssid, Michael W., dan William Kenney, The World of Ideas (New York, 1966), hlm 533
et seq.