Tuesday, June 22, 2010

Alkitab: Kanonisasi dan Pewahyuan


Dr. Jan H. Rapar, Th.D., Ph.D.




Pendahuluan
Alkitab terdiri dari 66 kitab dan ditulis oleh ratusan bahkan mungkin ribuan orang dalam kurun waktu ribuan tahun. Bukan itu saja, isi berita Alkitab itu pun ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah umat manusia hingga kini, kendati pun senantiasa ada orang yang menyangsikan, menolak dan membencinya.
Sesungguhnya Alkitab memperoleh tempat yang sentral dalam Gereja dan dalam iman orang Kristen. Tetapi apakah sentralitas Alkitab dalam Gereja dan kehidupan iman Kristen itu memang harus demikian? Di era posmodern ini ternyata mulai banyak orang yang meragukan otoritas Alkitab dan relevansinya di tengah-tengah kehidupan manusia dengan nilai-nilai yang terus berubah dengan cepat.
Oleh karena itu, selaku warga gereja kita perlu lebih mengenal berbagai ihwal tentang Alkitab yang akan memampukan kita untuk menempatkannya sebagaimana mestinya.

Allah Penulis Alkitab?
Apabila seorang pengkhotbah selesai membaca bagian Alkitab yang hendak dikhotbahkannya, seringkali kita mendengar ia berkata: “… demikianlah Firman Tuhan!” Alkitab disebut Firman Tuhan atau Firman Allah. Dan oleh sebab itu pula, Alkitab disebut sebagai Kitab Suci. Benarkah ungkapan-ungkapan demikian itu? Apakah Allah yang menulis Alkitab sehingga Alkitab disebut Firman Allah atau Kitab Suci?
Dalam bukunya yang berjudul, The Old Testament Without Illusion, John L. McKenzie mengatakan “…paham bahwa Allah menulis Alkitab telah eksis dalam Yudaisme sebelum kekristenan ada dan paham itu telah diterima bulat-bulat oleh gereja apostolik” (McKenzie, 1980: 11). Paham yang demikian itu ternyata masih memiliki pengaruh yang sangat kuat di kalangan sebagian orang-orang kristen masa kini.
Memang menjelang peralihan abad 19 ke 20, telah sering terjadi perdebatan sengit dan polemik tajam secara terbuka antara mereka yang mempertahankan bahwa Alkitab adalah Firman Allah dengan orang-orang yang mengatakan bahwa Alkitab mengandung Firman Allah. Mereka yang mengatakan bahwa Alkitab adalah Firman Allah disebut fundamentalis, sedangkan mereka yang mengatakan bahwa Alkitab mengandung Firman Allah disebut liberal.
Mereka yang yakin bahwa Alkitab adalah Firman Allah juga mempertahankan ketaksalahan Kitab Suci (inerrancy of the Scripture) atau ketakkeliruan Alkitab (inffalibility of the Bible). Sebab bagaimana mungkin Alkitab bisa salah jika Allah sendiri yang menulis Alkitab lewat inspirasi Roh Kudus?
Sebaliknya mereka yang mengatakan bahwa Alkitab mengandung Firman Allah membuktikan bahwa ada cukup banyak kesalahan dan kekeliruan yang terdapat di dalam Alkitab. Sebagai contoh, di dalam Perjanjian Lama dikatakan bahwa Belsazar adalah anak Nebukadnezar namun sebenarnya bukan! Demikian pula di dalam Matius 27:9 yang dikatakan dikutip dari Yeremia, tetapi ternyata bukan dari Yeremia melainkan dari Zakharia 11:12.
Jika Allah itu Mahasempurna dan Mahatahu mengapa bisa terdapat banyak kekeliruan di dalam Alkitab? Atau Allah memang bukan penulis Alkitab itu sehingga jika terdapat kekeliruan di dalam Alkitab kita tidak bisa mempersalahkan Allah? Hal itu akan dibahas kemudian. Berikut ini kita akan melihat terlebih dahulu, apakah umat Allah itu memang harus beralkitab atau adakah umat Allah yang tanpa Alkitab?
Umat Allah Tanpa Alkitab?
Umat Allah masakini hidup ketika Alkitab sudah jadi, sudah dikenal, diterima dan diakui sebagai regula fidei (patokan iman) dan berfungsi selaku κανών - kanon (ukuran) iman kristiani. Kita mungkin tidak pernah memikirkan bahwa di masa silam, berabad-abad lamanya, umat Allah hidup tanpa Alkitab. Mungkin anda lebih terkejut jika dikatakan begini: “sebenarnya umat Allah yang diceriterakan dalam Alkitab hidup tanpa Alkitab!” Abraham, Musa, Daud, Yesaya, Yermia dan Nabi-Nabi serta umat Perjanjian Lama hidup tanpa Perjanjian Lama, demikian pula Yohanes, Lukas, Paulus, Petrus dan umat Allah yang hidup di zaman Perjanjian Baru hidup tanpa Perjanjian Baru. Umat Alkitab itu hidup tidak ditentukan oleh Kitab Suci yang tertulis lengkap sehingga religi mereka bukanlah religi skriptural. Iman umat Alkitab tidak diatur oleh Kitab Suci.
Jika demikian bagaimana iman mereka bisa bertumbuh? Bagaimana mereka mengenal kehendak Tuhan dan memberlakukannya? Para nabi menerima Firman Allah lewat persekutuan yang erat dengan Allah. Daud dikatakan berjalan bersama Allah! Sebelum Alkitab lengkap tertulis, umat Allah meneruskan firman Allah dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut secara lisan.
Dengan demikian jelas terlihat bahwa firman Allah tidak senantiasa bergantung pada Alkitab. Jangan sampai kita berpikir bahwa di luar Alkitab tidak ada firman Allah. Jangan sampai kita memberhalakan Alkitab. Alkitab kendatipun “buku besar” tetapi hanyalah buku! Firman Allah tidak mungkin dapat tertuang seluruhnya pada sebuah buku! Jika Firman Allah hendak dibukukan maka alam semesta tidak akan sanggup memuat semua kitab-kitab itu (band. Yohanes 21:25). Jadi jelas terlihat bahwa Alkitab tidak dapat diidentikkan dengan Firman Allah sehingga tanpa Alkitab berarti tidak ada Firman Allah! Sesungguhnya Allah terus-menerus berfirman kendatipun tanpa Alkitab! Alkitab bukanlah Firman Allah yang tanpa salah!
Firman Allah Yang Tanpa Salah
Firman Allah yang tanpa salah hanyalah Sang Λόγος – Logos yang sejak semula bersama-sama Allah bahkan yang adalah Allah itu sendiri (Yohanes 1:1) yang telah datang dalam rupa dan bentuk manusia di dalam diri Yesus Kristus. Yesus Kristus-lah Firman Allah yang hidup dan yang sempurna. Dialah yang secara sempurna memberitakan dan memberlakukan Firman Allah tanpa salah.
Jadi bukan Alkitab yang tanpa salah, melainkan Kristus-lah Firman Allah yang hidup yang tanpa salah. Alkitab hanya menyaksikan secara tertulis tentang Yesus Kristus oleh karena itu tidak pantaslah untuk mengidentikkan Alkitab dengan Firman Allah atau pun memberhalakannya!

Alkitab Untuk Apa?
Jika Allah terus-menerus berfirman kendatipun tanpa Alkitab, dan bahwa Alkitab hanyalah menyaksikan tentang Yesus Kristus Firman yang hidup itu, maka mungkin ada yang berpikir bahwa sesungguhnya Alkitab tidak begitu dibutuhkan!? Tentu saja tidak demikian! Kita patut bersyukur bahwa kita memiliki Alkitab sekarang ini! Mengapa? Jika sabda Allah harus diteruskan dari generasi ke generasi, dari mulut ke mulut secara lisan dengan mengandalkan ingatan, maka karena ingatan manusia tidak sempurna tentu saja sabda Allah itu pun tidak terpelihara dengan baik. Tetapi apabila sabda Allah itu telah tertulis tentu saja akan lebih baik daripada yang direkam oleh ingatan! Oleh karena itu Alkitab merupakan pustaka terbatas sabda Tuhan dan salah satu sarana penyingkapan Firman Allah. Dikatakan “terbatas” oleh karena Alkitab tidak memuat seluruh sabda Tuhan, dan dikatakan “salah satu sarana” karena Alkitab bukan satu-satunya sarana penyingkapan Firman Allah.
Jika Alkitab diakui sebagai regula fidei (patokan iman) dan berfungsi selaku κανών - kanon (ukuran) iman kristiani maka itu berarti bahwa Alkitab menjadi tolok ukur kebenaran pemahaman iman dan segala pemberitaan, sikap serta perbuatan kristiani. Dari ungkapan tersebut tadi terlihat dengan jelas bahwa bagaimanapun juga, Alkitab benar-benar memiliki otoritas tertinggi bagi pemahaman dan kehidupan iman kristiani orang-orang percaya.

Alkitab diwahyukan?
Orang-orang Kristen percaya bahwa Alkitab diwahyukan! Bagaimanakah pewahyuan itu berlangsung? Ada orang yang mengira bahwa Allah mendikte lalu nabi-nabi dan rasul-rasul menuliskan kata demi kata kalimat demi kalimat apa yang didiktekan Allah itu. Karena manusia hanya berfungsi selaku juru tulis belaka, maka sesungguhnya Allah sendirilah yang menulis Alkitab itu. Dan itu berarti bahwa isi Alkitab tidak mungkin keliru. Alkitab pasti tanpa kesalahan!
Ada pula yang mengira bahwa Roh Kudus menguasai para penulis Alkitab sedemikian rupa dengan menghilangkan kesadaran dan kemampuan budi manusia yang terbatas, lalu menggerakkan tangan mereka untuk menuliskan Firman Allah. Tetapi perlu dicamkan bahwa Roh Kudus begitu menghargai pribadi dan kemampuan manusia yang merupakan pemberian Allah sendiri dan tidak pernah “memperkosa” manusia dengan menghilangkan kesadarannya. surat-surat Rasul Paulus yang menjadi bagian Alkitab itu, ditulis dengan penuh kesadaran dengan maksud melayani dan memecahkan berbagai masalah yang sedang dihadapi oleh jemaat yang dikirimi surat itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa Paulus sendiri tidak mengetahui bahwa surat-suratnya itu kelak akan menjadi bagian Alkitab! Kita mengetahui bahwa Alkitab itu diwahyukan justru karena Alkitab menyaksikan segala perbuatan Allah yang mencapai puncaknya di dalam Kristus, dengan jelas dan benar dan menjadi tolok ukur pemahaman, ajaran dan landasan tindakan umat Allah yang konsisten di segala abad dan tempat.

Ipsissima Verba
Seandainya Alkitab benar-benar merekam ipsissima verbasabda aktual Tuhan, maka teks Alkitab itu benar-benar Firman Allah kata demi kata bahkan huruf demi huruf. Tentu saja dalam hal itu sama sekali tidak ada peran manusia. Dengan demikian Alkitab bebas kesalahan dan kekeliruan.
Tetapi kenyataannya tidak demikian! Sebagaimana yang telah ditunjukkan sebelumnya, ada banyak kesalahan dan kekeliruan yang terdapat di dalam Alkitab. Hal itu bukan hanya menunjukkan keterbatasan ingatan manusia tetapi juga ketidakmampuan manusia untuk membahasakan Firman Tuhan ke dalam teks Alkitab secara sempurna.
Kenyataan demikian itu tidak dapat menumbangkan kewibawaan Alkitab. Kewibawaan Alkitab tidak bergantung pada tanpa salahnya teks Alkitab melainkan pada kejelasan kesaksiannya terhadap Firman Hidup, Yesus Kristus, serta pada peran dan fungsi Alkitab dalam kehidupan iman.

Ipsissima Vox
Kendatipun tidak mungkin untuk menemukan kembali ipsissima verba yang utuh dan lengkap, tetapi itu tidak berarti bahwa Alkitab tidak mampu mengkomunikasikan Firman Allah. Lewat Alkitab kita dapat mendengarkan ipsissima voxsuara aktual Allah atau suara aktual sang Firman yang hidup.
Jika kita sedang mendengarkan dan menikmati suara seorang penyanyi kesayangan kita lewat piringan hitam, maka selain suara sang penyanyi, sebenarnya ada suara-suara lain yang terdengar, misalnya suara musik yang mengiring nyanyian tersebut, tetapi jika kita amati lebih cermat, ada juga suara gesekan antara jarum dan piringan hitam! Namun tentu saja suara yang paling menonjol yang terdengar ialah suara si penyanyi itu sendiri. Demikianlah ipsissima vox terdengar dengan jelas dan terang lewat Alkitab kendatipun Alkitab tentu saja tidak bebas dari “suara-suara lain” yakni “suara” si penulis itu sendiri: budaya, adat-istiadat, kebiasaan dsb..
Sebab itu, kendatipun ipsissima verba tidak mungkin dapat ditemukan kembali, tetapi ipsissima vox tetap menjamin kewibawaan Alkitab. Jadi kewibawaan Alkitab tidak perlu dibela dan dipagari dengan ungkapan bahwa Alkitab (dalam semua bagiannya bahkan secara harfiah) tidak mungkin salah!

Tentang "Kanon"
Kata "kanon" dari bahasa Yunani, sebenarnya diserap dari bahasa­-bahasa semitik yang dalam bahasa Iberani digunakan kata qaneh. Kaneh atau kanon itu semula berarti tongkat atau bambu atau tongkat bambu yang digunakan sebagai pengukur, yang kemudian sering disebut sebagai tongkat pengukur (Yeh. 40:3) dan sesudah itu secara berangsur-angsur terjadi pergeseran makna dari tongkat pengukur menjadi ukuran atau pun patokan (Galatia 6: 16). Gereja perdana menggunakan kata kanon dengan arti ukuran/aturan kebenaran atau aturan iman atau pun norma.

Pada abad II Masehi, kata kanon memperoleh tambahan makna yang baru, yakni daftar atau tabel. Tentu saja yang dimaksudkan dengan daftar atau tabel ialah segala sesuatu yang secara ber-urut disusun dalam deretan sejumlah hal yang mengacu kepada sesuatu yang tanpa diragukan lagi digunakan selaku patokan. Dalam hal itu, daftar kitab-kitab dalam Alkitab disebut juga kanon.

Kanon Alkitab
Pada tahun 360 Konsili Laodikia menghimbau dan menganjurkan para pemimpin Gereja agar dalam kebaktian-kebaktian mereka, mereka hanya menggunakan kitab-kitab kanonik saja. Berkaitan dengan anjuran dan himbauan itu, pada tahun 367, Atanasius menyusun daftar seluruh kitab dalam Alkitab. Pada tahun 397, Konsili Kartago mengacu kepada kanon tersebut di atas, yang berlaku sampai sekarang ini, yang terdiri dari 39 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru.


Bahasa asli yang digunakan dalam Perjanjian Lama hampir seluruhnya bahasa Iberani, dan ada beberapa bagian yang ditulis dalam bahasa Aram, yakni Ezra 4:8-6: 18; 7: 12-26; Daniel 2:4-7:28 dan Yermia 10:11, sedangkan Perjanjian Baru seluruhnya ditulis dalam bahasa Yunani Koine.

Daftar kitab-kitab Alkitab (Perjanjian Lama) orang Yahudi yang ditetapkan di Yamnia (beberapa mil di sebelah Selatan Tel Aviv) menjelang akhir tahun 100 Masehi, sejumlah 24 kitab sebagai berikut:


Kitab Taurat: (5) Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan
Nabi-Nabi awal: (4) Yosua, Hakim-Hakim, I & II Samuel, I & II, Raja-Raja
Nabi-Nabi kemudian: (4) Yesaya, Yermia, Yehezkiel, 12 Nabi kecil (Hosea s/d Maleakhi yang merupakan satu kitab saja)
Tulisan-Tulisan: Puisi (3) Mazrnur, Amsal dan Ayub
Gulungan (5) Rut, Kidung Agung, Pengkhotbah, Ratapan, dan Ester
Tulisan lain (3) Daniel, Ezra dan Nehemia (satu kitab), I dan II Tawarikh (satu kitab)


Menurut tradisi kuno, ahli Taurat Ezra yang telah menyusun, menyatukan dan membulatkan kanon Alkitab (perjanjian Lama). Hal itu terjadi pada abad V SM. Tradisi itu diteguhkan pula oleh Yosefus, ahli sejarah Yahudi, dalam bukunya yang berjudul Contra Apionem. Menurut tradisi tersebut, Musa menulis Pentateukh dan selebihnya ditulis oleh Nabi­-Nabi yang diutus Allah. Sesudah Ezra, tidak ada lagi kitab-kitab atau tulisan-tulisan yang setara dengan apa yang telah dikumpulkan dan disatukan oleh Ezra itu.

Namun temyata sesudah Ezra bertambah lagi daftar kitab-kitab dalam Perjanjian Lama dengan Tawarikh-Ezra-Nehemia, Pengkhotbah dan Daniel. Oleh karena itu, tradisi tersebut di atas tidak dapat diterima sepenuhnya dan perlu dibicarakan lebih lanjut.

Sesungguhnya, upaya mengumpulkan dan menyatukan kitab-kitab dan tulisan-tulisan sudah lama dimulai sebelum tersusun kanon (Perjanjian Lama) sebagai satu kesatuan. Ada para ahli yang mengatakan bahwa segala upaya itu telah dimulai lebih dari satu milenium SM. Pada abad X SM tersusunlah tahap pertama dari Kitab Taurat dan Nabi-Nabi Awal. Pada abad VIII­ - VI SM tersusunlah tahap kedua dari Kitab Taurat dan Nabi-Nabi Awal itu. Dari apa yang telah tersusun itu, temyata telah diterima selaku kanon dalam reformasi Raja Yosia (II Raja-Raja 22 & 23). Sesudah masa pembuangan berlangsunglah penyusunan tahap III Kitab Taurat. Kitab Taurat itu baru betul-betul diakui selaku kanon sekitar tahun 450 SM. Mengenai Kitab Nabi­-Nabi, orang-orang Samaria belum menerimanya sampai sekitar tahun 300 SM. Sedangkan Tu/isan- Tu/isan baru diakui sebagai kanon pada sekitar tahun 165 SM.


Kanonisasi Perjanjian Baru
Sekitar seratus tahun awal sejarah Gereja, tidak terlihat keinginan yang menyolok untuk menyusun dan menetapkan satu kanon yang harus diberlakukan di tengah persekutuan kristiani. Namun kenyataan menunjukkan bahwa selama seratus tahun awal itu terlihat ada perkembangan yang menempatkan tulisan-tulisan tertentu pada tempat yang istimewa di tengah kehidupan persekutuan kristiani. Menjelang akhir abad I, Surat-Surat Paulus telah mendapat tempat yang istimewa. Sampai pertengahan abad II, rupanya Kitab-Kitab Injil, Kisah Para Rasul, dan Wahyu sudah dikenal di kalangan umat kristiani. Karena pada waktu itu telah banyak kelompok persekutuan dengan ajaran-ajaran yang menyimpang dan menyesatkan, maka dimulailah suatu kebiasaan untuk mempersoalkan secara kritis apakah suatu tulisan itu benar-benar apostolik sehingga dapat diterima, atau harus ditolak karena ternyata tidak rasuli. Menjelang akhir abad II, Irenaeus, anak didik Polykarpus (murid Rasul Yohanes) telah menerima ke 4 Injil dan 13 surat Paulus, I Petrus, I & II Yohanes, Wahyu dan Kisah Para Rasul.

Pada abad IV rupanya telah dicapai kesepakatan antara gereja-gereja berbahasa Yunani dan Latin untuk menerima ke 27 tulisan sebagaimana yang kita miliki sekarang ini.

Apokrifa dan Pseudoepigrafa
Ada tulisan-tulisan atau kitab-kitab yang dalam proses kanonisasi Perjanjian Lama tidak mendapat tempat dalam kanon Alkitab. Kitab-kitab atau tulisan-tulisan yang demikian itu disebut kitab-kitab atau tulisan-tulisan apokrif. Kitab-kitab atau tulisan-tulisan apokrif itu terdiri dari: III Ezra, Tobit, Yudit tambahan Ester, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, Surat Yeremia, tambahan Daniel, Doa Manase dan I - III Makabe. Namun apa yang disebut oleh Protestan apokrif, oleh Gereja Katolik disebut deutrokanonika.

Ada juga kelompok tulisan yang oleh Protestan disebut pseudoepigrafa, oleh Katolik disebut apokrif. Pseudoepigrafa terdiri dari, Surat Aristeas, Kitab lobel, Kenaikan Yesaya, Mazmur Salomo, IV Makabe, Kitab Sybillina, Kitab Henokh, Kenaikan Musa, IV Ezra, Apokalipse Barukh (Yunani), Apokalipse Barukh (Syria), Nyanyian Pujian Salomo" Wasiat 12 Datuk, Surat Damaskus dan Riwayat Adam dan Hawa.