Sunday, July 15, 2007


Berteologi Kontekstual di Indonesia
Dr. Jan H. Rapar, Th.D., Ph.D.


Materi Kuliah yang diminta oleh Departemen Agama Republik Indonesia untuk Universitas Terbuka – tahun 1992



Istilah teologi berasal dari dua kata yunani, theos yang berarti Allah dan logos yang berarti perkataan atau percakapan sehingga secara harafiah teologi berarti perkataan atau percaka­pan tentang Allah. Namun sama dengan istilah‑istilah lainnya di berbagai disiplin ilmu, arti harafiah itu tidak memadai untuk mengungkapkan keseluruhan arti dan makna istilah itu.

Menurut Karl Rahner, teologi adalah analisis iman. John Macquarrie mengatakan bahwa teologi ialah upaya untuk membahasa­kan isi iman kristen sejernih dan selogis mungkin. Dengan demi­kian berteologi berarti berupaya untuk menguraikan dan membahasa­kan isi iman kristen sejernih dan selogis mungkin.

Ungkapan "berteologi di Indonesia" menunjukkkan adanya tempat tertentu untuk berteologi, dalam hal ini, tempat tersebut ialah Indonesia. Indonesia sebagai tempat untuk berteologi itu memili­ki konteks yang khusus Indonesia. Konteks ialah suasana dari situasi dan keadaan sesuatu; jadi konteks Indonesia berarti suasana dari situasi dan keadaan Indonesia. Sama dengan negara‑negara lainnya, Indonesia memiliki berbagai‑bagai konteks yang perlu diketahui dan dipahami, seperti : konteks budaya, konteks sejarah, konteks politik, konteks ekonomi dan sebagainya. Pema­haman tentang keseluruhan konteks tersebut sangat penting, karena hanya dengan pemahaman konteks‑konteks itulah maka uraian dan pemabahasan isi iman kristen yang jernih dan logis itu akan relevan, dapat dimengerti dan dihayati dengan baik. Dengan demikian, jelas pula terlihat bahwa berteologi secara kontekstual hanyalah suatu cara yang perlu ditempuh, tetapi bukan tujuan.

Berteologi secara kontekstual sering pula disebut kontekstua­lisasi teologi. Apa, mengapa dan bagaimana kontekstualisasi teologi itu ?

Menjawab pertanyaan apa kontekstualisasi teologi itu ialah "cara berteologi in loco, atau contextual theology atau pun situational theology. Jadi kontekstualisasi teologi berarti upaya berteologi yang sesuai dengan situasi setempat. Teolog besar Paul Tillich, mengatakan bahwa setiap sistem teologi harus bergerak antara dua kutub, yakni kebenaran Injil atau "kebenaran abadi" (the eternal truth) yang merupakan landasan utama dan situasi temporal (temporal situation) di mana kebenaran Injil itu diterima. Kebenaran Injil atau kebenaran abadi itu adalah suatu kebenaran yang berlaku disegala abad dan tempat, sedangkan situa­si temporal adalah keadaan setempat dengan segala kekhususannya. Jadi kebenaran Injil itu bersifat universal atau umum, sedangkan situasi temporal bersifat partikular atau khusus. DR Eka Dharma­putera melukiskan kontekstualisasi itu sebagai upaya untuk meng­hubungkan yang universal dan yang partikular.

Mengapa kontekstualisasi ? Atau lebih jelas lagi, mengapa teologi perlu dikontekstualisasikan ? Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa teologi selaku upaya untuk mengurai­kan dan membahasakan isi iman kristen sejernih dan selogis mu­ngkin, haruslah relevan, dapat dpahami dan dihayati dengan baik dan itulah sebabnya teologi perlu dikontekstualisasikan. Seba­liknya dapat dikatakan bahwa teologi yang tidak kontekstual adalah teologi yang asing, tidak relevan, tidak mudah dipahami dan sulit untuk dihayati. Dengan demikian, jelas terlihat betapa pentingnya kontekstualisasi teologi itu. Namun perlu diingatkan kembali bahwa berteologi secara kontekstual itu, hanyalah suatu cara yang perlu ditempuh, semata‑mata demi kejelasan teologi itu sendiri agar dapat disambut, dipahami dan dihayati. Jadi jelas bahwa kontekstualisasi bukanlah tujuan, melainkan hanyalah cara. Hal itu perlu ditegaskan, sebab jika tidak, maka akan begitu mudah cara berubah menjadi tujuan; akibatnya ialah segala‑galan­ya, termasuk kebenaran abadi itu sendiri akan dikorbankan demi mencapai tujuan.

Bagaimanakan cara mengkontekstualisasikan teologi itu ? Atau meminjam istilah yang digunakan oleh DR Eka Dharmaputera, bagai­manakah kita menghubungkan yang universal dan yang partikular itu ?

Namun sebelumnya kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dipertanyakan lebih dahulu, apakah yang uni­versal dari teologi dan apakah yang partikular dari konteks itu ? Jika dipikirkan dengan lebih mendalam, ternyata pertanyaan itu tidak mudah dijawab. teologi yang berkembang dan dikembangkan di Barat tidak hanya satu kendatipun berada dalam konteks yang sama. Bahkan sebenarnya sejak awal berdirinya Gereja ternyata Rasul‑Rasul yang berada dalam konteks budaya, sejarah, politik, ekonomi yang sama, tokh memiliki teologi yang berbeda‑beda. demikian pula dengan para Reformator seperti Luther, Calvin dan Zwingli. Atau teolog Eropa abad 20 : Emil Brunner, Karl Barth, Paul Til­lich dan Dietrich Bonhoeffer. Konteks apakah yang menyebabkan teologi mereka berbeda satu dengan lainnya. Jadi konteks yang sama tak menjamin lahirnya suatu teologi yang juga sama. Dan hal itu dapat menyulitkan untuk menentukan yang mana yang benar‑benar umum atau universal dari teologi itu.

Berbicara tentang konteks, apakah yang partikular dari suatu konteks tertentu ? Ada yang menjawab : budaya ! Karena budaya atau kultur yang dianggap paling khusus maka kontekstualisasi tidak lain dari pada inkulturasi. Akan tetapi benarkah masih ada kebudayaan yang sungguh‑sungguh murni di era globalisasi ini sehingga dapat dikatakan bahwa itulah yang partikular ? Di Indo­nesia ini, tidakkah lagu‑lagu pop Barat telah dikenal sampai daerah‑daerah terpencil ? Tidakkah tata rias, tata busana dan tata krama semakin universal ? Tidakkah upacara‑upacara sakral tradisional yang merupakan kekhususan bangsa‑bangsa Timur, terma­suk Indonesia, kini tinggal menjadi tontonan bagi wisatawan mancanegara dan tak lagi menyentuh kehidupan manusia sehari‑hari ? Sesungguhnya, sadar atau tidak, kita telah hidup dalam suatu "kebudayaan dunia" terlepas dari soal kita mau mengakuinya atau tidak. Jika demikian masih perlukah kontekstualisasi teologi itu ? Tidakkah kita lebih membutuhkan suatu "teologi mondial" yang berlingkup se-planet bumi ini ?

Memang kita tidak membutuhkan suatu kontekstualisasi teologi dalam arti kontekstualisme, tetapi kita tetap perlu berteologi di dalam konteks‑konteks tertentu, karena mau tak mau, berteologi di Indonesia harus senantiasa mangacu pada konteks‑konteks Indonesia itu sendiri. Namun konteks‑konteks apa sajakah yang perlu diperhatikan, diketahui dan dipahami ? Memadaikah apabila hanya konteks sosial, politik dan ekonomi yang meraih pusat perhatian kita ? Atau cukupkah konteks budaya yang memperoleh perhatian kita ? Dari pengalaman‑pengalaman di tempat lain terlihat bahwa perhatian yang berlebih‑lebihan tehadap konteks sosial, politik dan ekonomi telah mela­hirkan berbagai aliran teologi pembebasan, antara lain : Black Liberation Theology (Teology Pembebasan Hitam), Third World Peoples Liberation Theology (Teology Pembebasan Rakyat Dunia Ketiga) yakni teologi kaum tertindas, oleh dan untuk kaum tertin­das yang berkembang di Amerika Latin, Asia dan Afrika, dan Wom­an's Liberation Theology (Teologi Pembebasan wanita), yang kese­muanya diawali oleh protes terhadap rasisme, kolonialisme dan seksisme gereja yang kemudian memperoleh landasan kuat pada revolusi sosial, politik dan ekonomi se dunia. Perhatian yang terpusat kepada konteks budaya melahirkan teology inkulturasi. Mengenai inkulturasi, Harry C.Stolk SJ mengatakan :".... proses inkulturasi terjadi sebagai hasil dari rentetan 'akkulturasi', yakni perjumpaan antara kebudayaan kristen dan non kristen yang dalam konfrontasi kreatif, saling meresapi dan saling menjernih­kan. Maka tiada 'kristianisme murni', sebab selalu kita jumpai dalam bentuk yang sudah terinkulturasi" (Bina Liturgia I, Inkultu­rasi, diterbitkan oleh Komisi Liturgi Mawi, 1985, hlm.61). Bahaya inkulturasi ialah apabila dilakukan setengah‑setengah akan terjadi "perbudakan" kebudayaan setempat oleh "kekeristenan" dan apabila dilakukan terlampau jauh, maka akan terjadi pemerkosaan Kebenaran Injil oleh kebudayaan setempat sehingga teologi kris­tiani itu tidak kristiani lagi.

Dengan beberapa catatan tersebut diatas, marilah kita coba mempelajari, mengenal dan memahami konteks Indonesia agar dapat berteologi di Indonesia dengan lebih baik.

1. Konteks Politik. Kehidupan politik di Indonesia dilandas­kan kepada jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945, yang bertu­juan untuk mewujudkan kehidupan politik nasional yang stabil tanpa kehilangan kedinamisannya, kehidupan politik yang demokra­tis tanpa kehilangan sifat kekeluargaan, kehidupan politik yang bhineka tanpa meninggalkan ketunggalikaan. Kesemuanya terkait erat dengat sikap dasar pembangunan politk yang dirancang di masa‑masa awal Orde Baru. Oleh sebab itu, hal yang sangat meno­njol yang menandai proses kehidupan politk Indonesia ialah berba­gai usaha yang diupayakan untuk memantapkan struktur dan kultur kehidupan politik yang melingkupi baik kelembagaan negara, kelem­bagaan politik dan kemasyarakatan maupun pemantapan isi dari lembaga‑lembaga negara, politik dan kemasyarakatan itu.. Upaya membangun politik nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 itu, juga termasuk usaha untuk menciptakan, mengkonsolidasikan dan memanfaatkan kondisi‑kondisi serta situasi yang memungkinkan ter­laksananya proses‑proses pembahuruan kehidupan politik sehingga tercipta keadaan politik yang benar‑benar demokratis, stabil dan dinamis, berdaya guna dan berhasil guna yang dapat memperkuat kehidupan kontitusional. Itulah arah yang selalu tampak di dalam GBHN. Ada suatu amanat yang penting yang tampak di dalam GBHN 1988 (yang juga tercantum di dalam GBHN sebelumnya), yaitu bahwa pembangunan adalah pengamalan Pancasila (selaku satu‑satunya asas bagi kekuatan sosial politik).

Dengan demikian jelas terlihat bahwa politik nasional Indone­sia sedang berada di dalam proses pembentukan dan pembangunannya. Hal itu menunjukkan bahwa politik Indonesia sedang berubah dan masih akan terus berubah. Dalam konteks politik yang sedang berubah itulah kita hendak berteologi di Indonesia.

2. Konteks Historis. Sekitar 350 tahun lamanya bangsa Indo­nesia dijajah oleh Belanda dan selama itu pula bangsa Indonesia berkonfrontasi dengan bangsa Belanda. Konfrontasi yang begitu lama mengakibatkan banyak orang Indonesia yang menjadi anti segala sesuatu yang bersangkut‑paut dengan Belanda, bahkan terha­dap bangsa‑bangsa Barat pada umumnya. Segala kebiasaan dan adat istiadat serta kebudayaan Barat pun dimusuhi. Tak heran jika ada satu saat, lagu‑lagu Barat pun tak boleh diperdengarkan lewat RRI dan sebagainya.

Sehubungan dengan itu, agama Kristen pun sering dianggap sebagai agama Barat, sehingga turut dimusuhi. Kendatipun perkem­bangan sejarah cukup pesat dan ada banyak perubahan yang telah terjadi hingga pada saat ini, namun anggapan tersebut diatas mengenai agama Kristen, sewaktu‑waktu masih terangkat kepermu­kaan. Konteks yang demikian itu perlu dipahami dalam upaya berteologi di Indonesia.

3. Konteks Budaya. Menurut Prof.Dr R.M.Sutjipto Wirjosuparto dalam bukunya yang berjudul Bunga Rampai Sejarah Budaya Indone­sia, suatu persoalan yang penting dalam sejarah kebudayaan Indo­nesia, ialah soal percampuran atau akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan yang datang dari luar. Hal itu telah berlangsung sejak lama dan akan terus berlangsung. Menurut beliau, selama Indonesia masih terletak dalam simpang perjalanan lalu‑lintas yang menghubungkan satu bagian dunia dengan bagian dunia lainnya, selama itu, persoalan akulturasi masih tetap hangat untuk Indonesia. Beliau mengatakan bahwa akulturasi ialah pertemuan antara beberapa kebudayaan atau kebudayaan yang diperkaya kebudayaannya. Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, kebu­dayaan Indonesia telah berakulturasi dengan kebudayaan India, kebudayaan Islam dan kebudayaan Eropah.

Perkembangan kebudayaan Indonesia yang bertumbuh menuju kepada bentuknya yang sekarang ini, sudah menempuh sekitar 2000 tahun lamanya, tampak terlihat lewat pembagian sejarah kebudayaan Indonesia, seperti yang dibuat oleh Prof.Dr R.M.Sut­jipto Wirjosuparto, sebagai berikut :
(1) zaman Prasejarah : dari zaman yang tertua sampai di sekitar permulaan abad Masehi.
(2) Zaman Sriwijaya dan Mataram Kuno di Jawa Tengah : dari abad 7 sampai abad 13.
(3) Zaman Majapahit : dari abad 13 sampai abad 16.
(4) Zaman meluasnya agama Islam di Indonesia : dari abad 13 sampai abad 17.
(5) Zaman pertemuan antara kebudayaan Indonesia dengan kebu­dayaan Barat : dari abad 17 sampai sekarang.

Memasuki era globalisasi sekarang ini, proses akulturasi itu semakin meningkat dan berlangsung cepat, bukan hanya di Indone­sia melainkan terjadi di seluruh dunia. Akulturasi menyebabkan tak satupun kebudayaan di dunia yang dapat menyebut diri tetap "murni" lalu menunjuk kebudayaan lain sebagai sesuatu yang "asing". Konsekuensinya ialah kontekstualisasi bukan lagi sesuatu yang mutlak, walaupun harus segera dikatakan pula bahwa itu tidak berarti tak perlu!

4. Konteks Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak zaman Orde Baru cukup meyakinkan dan menggembirakan. Namun perlu disadari bahwa pembangunan ekonomi demi memberantas kemiskinan dan mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, tak mungkin berha­sil sepenuhnya dalam waktu sekejap. Masalah‑amasalah dalam negeri yang mempengaruhi kehidupan perekonomian Indonesia, menurut Prof. Dr Sumitro Djojohadikusumo, antara lain sektor moneter yang kurang stabil oleh sebab banyak­nya kebijaksanaan dan deregulasi sektor riil yang tidak konsis­ten.

Selain itu kehidupan perekonomian di Indonesia tak terlepas dari berbagai masalah ekonomi internasional, seperti laju pertum­buhan di negara‑negara industri anggota OECD pada tahun 1991 hanya berkisar rata‑rata 1 %, jauh lebih rendah dibanding tahun 1989 sebesar 3 %. Kemungkinan akan terjadi perubahan yang meng­gembirakan di tahun 1993 dan seterusnya.
Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa kemiskinan belum dapat diberantas sepenuhnya. Masih cukup banyak mereka yang "tercecer" dan "terhempas". Dan kenyataan itulah yang menjadi salah satu konteks kita untuk berteologi.

Sesungguhnya ada banyak konteks lain yang perlu dipelajari, seperti konteks pendidikan, hukum, dan lain‑lain seba­gainya, namun empat konteks tersebut di atas cukup memadai untuk dipahami dan dipertimbangkan dalam upaya berteologi di Indonesia.

Suatu catatan akhir yang perlu dicamkan dengan baik: sesungguhnya tidak ada suatu teologi kontekstual yang dibakukan yang mengklaim diri benar-benar kontekstual, karena ketika ia dibakukan, konteks terus berubah dan berubah… sehingga teologi kontekstual yang telah dibakukan itu tidak kontekstual lagi!