Thursday, July 12, 2007

Makalah berikut ini disampaikan pada Pertemuan Pendeta Gereja Protestan Indonesia Luwu (GPIL) 1997 di TC - GKSS Mandai pada hari Senin, 14 Juli 1997 Jam 09.00 wita



GLOBALISASI KOMUNIKASI/INFORMASI
DAMPAKNYA TERHADAP MISI GEREJA DI INDONESIA KINI DAN MASA DEPAN



Pendeta DR. J.H. Rapar,
Th.D., Ph.D.



I. Pendahuluan
"Masyarakat informasi" yang menurut John Naisbitt telah dimulai sejak tahun 1956 - 1957[i] telah menjadi suatu awal dari peristiwa yang mencengangkan dalam sejarah peradaban manusia. Pada tahun 1980-an "dunia mengalami sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu hancurnya batas-batas budaya, rasial, bahasa dan geografis."[ii] Sejak itu "era baru globalisasi telah dimulai."[iii] Memang ada banyak nama yang diberikan bagi era baru ini, ada yang menyebutnya "abad angkasa luar, zaman informasi, era elektronik atau desa global."[iv] Selain itu Zbigniew Brzezinski mengatakan bahwa kita telah menghadapi suatu zaman tekhnetronik. Sosiolog terkenal, Daniel Bell menggambarkan kedatangannya suatu masyarakat pasca-industri.[v] Para futuris mantan negara Uni Soviet juga membicarakan tentang STR --- the "scientific-technological revolution" (revolusi saintific-tekhnologis).[vi] Alvin Toffler menyebutnya sebagai "masyarakat super-industri."[vii]
Apa pun nama yang diberikan bagi era baru ini tak perlu dipersoalkan, yang pasti, realitas menunjukkan bahwa kita benar-benar telah memasuki suatu era baru. Dan di era globalisasi ini, planet bumi yang tadinya "begitu luas", kini telah menjadi sebuah "desa"---"desa global".

II. Di Ambang Pintu Zaman Keemasan ?
Tahun 1990-an telah merias wajah dunia menjadi semakin simpatik dan menyenangkan. Betapa tidak? Perang dingin yang berkecamuk di antara negara-negara adikuasa telah berakhir di pengujung tahun 1980-an. Perlombaan senjata-senjata canggih semakin mengendor. Situasi dunia benar-benar semakin melegakan. Sehubungan dengan itu Naisbitt dan Aburdene mengatakan, "sekarang ini kita bangkit dari versi zaman gelap abad ke-20---dampak gabungan industrialisasi, totaliterianisme, dan penyusupan teknologi ke dalam kehidupan kita."[viii] Sesungguhnya dunia kini telah berada di ambang pintu zaman keemasan sejarah manusia.
Naisbitt dan Aburdene menentang kaum pesimis yang selalu membuat catatan-catatan suram yang begitu mempengaruhi banyak orang. Sebagai contoh, "para ekonom meramalkan ekonomi global di masa mendatang akan ambruk dalam waktu satu dasawarsa."[ix] Naisbitt dan Aburdene mengatakan bahwa "boom perekonomian negara maju akan menjadi dasar bagi evolusi yang lebih tinggi serta kemakmuran global.[x] Bahkan mereka sangat yakin bahwa kini kita berada di kursi terdepan untuk menyaksikan dasawarsa yang paling menggairahkan dalam sejarah peradaban manusia.[xi]
Setuju atau tidak dengan pandangan mereka, fakta menunjukkan bahwa situasi dunia masa kini memang semakin membaik. Secara khusus di Indonesia, hasil pembangunan telah memungkinkan kita dapat mengenyam berbagai kenikmatan yang tak mungkin dapat kita kenyam di sekitar 30 tahun yang silam. Di Sulawesi Selatan ini, sampai ke desa-desa telah banyak antena parabola yang terpasang. Komunikasi dan transportasi semakin memudahkan hubungan antar manusia dengan segala kegiatan mereka. Tidak dapat disangkal bahwa pemerintah Orde Baru telah berhasil menaikkan tingkat kemakmuran rakyat. Indonesia telah memasuki era globalisasi komunikasi, sehingga informasi dari seluruh penjuru dunia dapat tersebar hingga ke pelosok-pelosok tanah air dalam waktu sekejap.

III. Dampak Globalisasi Komunikasi/Informasi
Pembangunan Indonesia yang begitu pesat dengan hasil-hasil yang cukup gemilang, telah mengantar kita memasuki kebudayaan modern yang juga disebut kebudayaan global. Kebudayaan modern itu bertumpu pada iptek dan ekonomi. Iptek dan ekonomi itulah yang telah dan sedang mentransformasikan budaya bangsa-bangsa menjadi budaya global. Budaya global adalah budaya yang bersifat homogen. Kenyataannya teknologi di seluruh dunia sama, universitas-universitas sama dan itulah yang memungkinkan sarjana-sarjana kita dapat melanjutkan studi di negara mana saja yang diminatinya, pabrik-pabrik sama, bank-bank sama, perusahaan-perusahaan sama bahkan telah hadir pula korporasi transnasional.
Sekarang ini demokratisasi sistem pemerintahan yang sedang berlangsung secara mondial atau berskala global, menempatkan politik menjadi salah satu titik tumpu budaya modern selain iptek dan ekonomi. Setting dan konteks kita begitu cepat berubah menjadi setting dan konteks dunia.
Menurut pendapat saya, hal yang positif dari kebudayaan modern itu ialah adanya paling kurang tujuh ciri yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yaitu: rasional, pragmatis, efisien, kreatif, kompetitif, efektif dan produktif. Ketujuh ciri itu akan memudahkan manusia untuk memakmurkan dirinya.
Lalu, apakah kebudayaan modern akan melenyapkan jati diri bangsa-bangsa? Kebudayaan modern di era globalisasi bukan hanya memiliki kecenderungan yang unitatis sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, tetapi juga bersifat pluralistis. Kebudayaan modern itu bersifat homogen tetapi sekaligus juga heterogen. Memang Naisbitt dan Aburdene menunjukkan bahwa di era globalisasi, gaya hidup manusia semakin homogen walaupun homogenitas itu justru akan memperteguh dirinya untuk menganut nilai-nilai yang lebih dalam seperti agama, bahasa, seni dan kesusasteraan.[xii] Tetapi, kendatipun gaya hidup semakin homogen, namun ada tanda-tanda yang jelas tentang ekses balik yang berlawanan yang hendak menekankan jatidiri budaya masing-masing. Naisbitt dan Aburdene mengatakan bahwa "salah satu bentuk ekses balik kebudayaan yang paling mencolok... adalah kebangkitan transnasional Islam yang diawali oleh almarhum Ayatollah Khomeini di Iran."[xiii] Jadi jelas terlihat bahwa kebudayaan modern juga merangsang pluralitas. Pluralitas menghendaki penghargaan dan penghormatan terhadap batas-batas yang jelas antara negara, bangsa, bahasa, religi dan sebagainya. Hal yang positif dari sifat kebudayaan modern yang demikian itu ialah kemampuannya untuk mewujudkan solidaritas, baik individual maupun sosial.


IV. Dampak Negatif Globalisasi
Globalisasi bukan hanya melahirkan kebudayaan modern yang positif tetapi juga globalisme yang bercirikan budaya metropolitan yang hedonistis dan konsumeristis. Hedonisme melahirkan gaya hidup yang mengejar kenikmatan material, fisik dan seksual tanpa mengenal batas, sedangkan konsumerisme melahirkan gaya hidup mewah, boros dan berfoya-foya.
Apakah yang melatarbelakangi budaya metropolitan yang bergaya hidup hedonistis dan konsumeristis itu?
Pertama-tama yang perlu disebutkan di sini ialah kegoncangan yang dialami manusia akibat perubahan. Toffler pernah mengingatkan bahwa akan terjadi perubahan yang begitu cepat dalam frekuensi yang sangat tinggi yang mengakibatkan timbulnya berbagai goncangan. Manusia secara individual akan menghadapi goncangan fisik dan psikologis. Kapasitas adaptasi manusia itu terbatas dan jika batas terlampui, maka akan terjadi goncangan.[xiv] Orang-orang yang dari segi ekonomi cukup berhasil namun tak sanggup beradaptasi terhadap perubahan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya akan mengalami kegoncangan yang hebat, akhirnya memilih hedonisme dan konsumerisme sebagai kompensasi.
Yang kedua ialah runtuhnya norma-norma tradisi dan religi serta pergeseran nilai-nilai etis. Pluralisme religi dan tradisi dalam perjumpaan dengan kemakmuran material mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai-nilai etis yang sering bermuara ke penghancuran norma dan nihilisme. Terjadilah kekosongan dan kehampaan nilai-nilai positif yang pada hakikatnya merupakan dehumanisasi. Itulah sebabnya Arnold J. Toynbee, sejarawan Inggeris yang paling terkemuka di dunia mengatakan bahwa "dunia kita pada saat ini sedang mengalami dehumanisasi..."[xv]
Dengan demikian terlihat bahwa budaya globalisme atau lebih dikenal dengan budaya metropolitan yang hedonistis dan konsumeristis itu mengancam eksistensi manusia yang merupakan ekses balik pembangunan yang hanya mengutamakan kemakmuran material.

V. Gereja Perlu Mentransformasi Diri
Dampak negatif globalisasi menantang Gereja untuk mentransformasi pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam pelayanannya. Gereja wajib membaharui diri dan pelayanannya jika ia benar-benar mau berperan sesuai dengan panggilanNya. Gereja perlu mengubah pendekatan-pendekatannya jika ia ingin berhasil.
Perlu disadari bahwa kemakmuran material dengan segala kenikmatan yang dapat diraihnya telah mengurangi minat manusia terhadap surga yang dijajakan oleh Gereja. Kesuksesan hidup lewat ketekunan dan kerja keras telah menggeser ketergantungan kepada Tuhan. Hak asasi dan kebebasan telah membuat manusia merasa berhak untuk menentukan kehidupannya dan mulai merasa enggan dicampuri oleh Tuhan dan GerejaNYA. Kepahitan-kepahitannya terhadap berbagai bentuk otoriterisme dan totaliterisme membuat ia muak terhadap pelayan-pelayan Gerejawi yang kepemimpinannya bergaya "bos". Sedangkan para cendekiawan melecehkan pendeta-pendeta yang dengan bermodalkan teologi yang dianggap hanya merupakan "ilmu semu" itu, tetapi berpretensi "maha tahu!".
Gereja selaku inovator dan motivator, dalam situasi dan kondisi yang demikian itu, harus berani melepaskan pendekatan-pendekatan tradisional yang telah usang, jika ia ingin berhasil dan benar-benar dapat berperan dengan sebaik-baiknya. Manusia tidak dapat lagi ditakuti dengan neraka. Pendekatan legalistis serta larangan-larangan "jangan begini dan jangan begitu" tidak memadai lagi. Jika Gereja tidak mengubah pendekatan-pendekatannya maka Gereja akan terhempas ke pinggiran sejarah dan kehilangan arti. Satu-satunya pilihan yang tersedia ialah Gereja harus mentransformasi diri dan pelayanannya.
Tetapi transformasi diri dan pelayanan itu tidak boleh menghancurkan apalagi memusnahkan identitasnya. Identitas Gereja jangan disamakan dengan tatagereja atau peraturan-peraturan lainnya. Jangan pula disamakan dengan struktur oragnisasi dan model manajemennya serta gaya kepemimpinannya. Jangan diidentikkan dengan keputusan-keputusan persidangan sinode yang jika perlu "dapat dimanipulasi." Identitas Gereja tidak lain daripada kesadarannya bahwa ia adalah satu persekutuan umat Allah yang memiliki panggilan untuk menjadi garam dan terang dunia serta kesetiaannya terhadap panggilannya itu. Sehubungan dengan itu kita perlu mempertanyakan: apakah identitas Gereja masih tetap terpelihara? Kita perlu mengintrospeksi diri dan meretrospeksi pendekatan-pendekatan dalam pelayanan kita.

VI. Keadaan Warga Gereja di Era Globalisasi
Karena di era Globalisasi komunikasi dan transportasi semakin canggih, dana semakin bertumpuk serta kebebasan semakin cenderung tanpa batas, maka runtuhlah sekat-sekat dan tembok-tembok pemisah geografis, historis, psikologis, etis dan kultural. Proses akulturasi berlangsung begitu cepat. Tata nilai dan perilaku berubah begitu drastis. Apa yang dahulu tabu di sini, karena di tempat lain yang dinilai sudah modern malah dianjurkan, maka demi "modernisasi" yang tabu itu harus dilenyapkan ketabuannya. Apa yang tadinya dianggap sakral di tempat ini, tetapi di negara modern ternyata profan alias biasa-biasa saja, maka demi "modernisasi" yang sakral itu harus digusur kesakralannya. Demi "modernisasi" segala sesuatu yang menjadi "ciri modernisasi" itu, termasuk musik "rock" dan "metal" bahkan jika perlu "polusi" dan "aids" pun harus diimport dan dihadirkan di sini. Manusia semakin terarah untuk mengejar kenikmatan material dan hidup berfoya-foya. Itulah budaya metropolitan yang bersifat hedonistis dan konsumeristis. Itulah gaya hidup manusia yang telah kosong dan hampa nilai-nilai yang positif.
Sementara begitu banyak orang yang telah menjadi korban globalisme dengan budaya metropolitannya yang hedonistis dan konsumeristis, banyak pula orang yang mengalami krisis nilai itu yang mulai sadar bahwa sesungguhnya ia membutuhkan nilai-nilai yang perlu digenggam dan dihayatinya agar hidupnya bermakna. Banyak di antara mereka yang frustrasi karena kenikmatan materialistis ternyata hanyalah fatamorgana belaka, kini mulai mencari identitas baru.
Mereka berpaling ke Gereja karena menurut warisan ajaran orang tua mereka dahulu, Gereja dapat memberikan apa yang mereka butuhkan itu. Tetapi apakah yang dijumpai di Gereja? Para pemimpin Gereja begitu asyik bercakar-cakaran memperebutkan jabatan! Perselisihan karena iri hati, angkuh dan merasa paling benar sendiri tak kunjung reda! Kemunafikan yang nyata lewat penggunaan topeng kesalehan untuk menutupi kebobrokan moral dalam arti yang seluas-luasnya! Pelayanan dilakukan demi formalitas semata-mata, agar Gereja tetap dapat disebut Gereja! Toga dan stola dikenakan dengan harapan agar otoritas dan kewibawaan pendeta tidak dilecehkan! Ternyata Gereja pun sedang mengalami krisis identitas dan krisis nilai. Akibatnya mereka mulai mencurigai segala sesuatu yang berbau religius.
Mereka lalu berpaling ke persekutuan-persekutuan doa dan gerakan-gerakan Injili yang menawarkan "berita kesukaan" dengan "ajaran murni" yang "cukup meyakinkan!" Mereka mulai berpikir bahwa sesungguhnya mereka membutuhkan "spiritualitas" dan bukan "religiositas." Benarlah apa yang dikatakan oleh Naisbitt dan Aburdene, bahwa akan terjadi kebangkitan spiritualitas, tetapi Gereja tetap sepi dan tersisih karena persekutuan-persekutuan yang fundamentalistis dan injililah yang laku keras!
Namun banyak pula yang kemudian sadar bahwa "berita kesukaan" dengan "ajaran murni" yang ditawarkan di situ sebenarnya merupakan "komoditas" utama dari suatu jenis TNC (Trans National Corporation), atau katakanlah bisnis dari suatu "perusahaan multi-nasional" yang baru. Banyak orang yang mulai sadar bahwa mereka telah menjadi korban "eksploitasi" dan "pemerasan" yang bertopeng spiritualisme.
Akhirnya mereka jatuh pada pilihan untuk menjadi "kristen ateisme" atau "ateisme kristen". Kristen ateis ialah orang kristen yang ber-orthodoxus (memiliki ajaran murni) kristen tetapi ber-orthopraxis ateisme. Ateisme kristen ialah mereka yang ber-orthodoxus ateis tetapi ber-orthopraxis kristen. Entah mana yang lebih baik?
Mungkin gambaran tersebut di atas terlampau didramatisir, namun itulah "kecenderungan akbar" (megatrend) yang terjadi pada kekristenan di era globalisasi. Dan tentu saja hal itu merupakan tantangan yang serius bagi iman kristen yang murni.

VII. Dampak Globalisasi Komunikasi/Informasi Terhadap Misi Gereja di
Indonesia Kini dan di masa Depan
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa era globalisasi memiliki sisi negatif tetapi juga sisi positif. Sisi negatifnya ialah lahirnya budaya globalisme atau budaya metropolitan yang hedonistis dan konsumeristis. Sisi positifnya ialah lahirnya budaya modern yang bertumpu pada iptek, ekonomi dan politik. Ciri dari kebudayaan modern itu ialah rasional, pragmatis, efisien, kreatif, kompetitif, efektif dan produktif yang sangat penting bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Ciri kebudayaan modern itu tidak bertentangan dengan niali-nilai kristiani. Apabila nilai-nilai kristiani yang berupa cinta kasih, kesetiaan, ketekunan, dedikasi yang tinggi, dan bertanggungjawab yang dilandasi oleh iman yang murni diaplikasikan ke dalam kebudayaan modern tersebut maka manusia di desa global akan dapat menikmati suatu kehidupan yang penuh damai sejahtera.
Dengan demikian terlihat bahwa globalisasi komunikasi/informasi berdampak positif baik bagi misi kemanusiaan pada umumnya, tetapi juga secara khusus, bagi misi gereja dalam merealisasikan tri tugas panggilannya, yakni: bersekutu, melayani dan bersaksi!
Namun harus disadari pula bahwa ada dampak negatif dari globalisasi komunikasi/informasi itu, yakni terciptanya budaya globalisme yang hedonistis dan konsumeristis, yang mengejar kenikmatan material dan hidup berfoya-foya. Budaya demikian itu jelas menghambat misi gereja. Bahkan jika budaya globalisme yang demikian itu merasuk ke dalam gereja dan melilit para pendetanya, maka dalam waktu yang relatif singkat gereja akan mengakhiri sejarahnya dan citra pendeta akan hancur berkeping-keping. Sebab orientasi pendeta bukan lagi pelayanan dan pengabdian diri, melainkan uang, posisi dan kekuasaan demi mengejar kenikmatan dan kesenangan diri. Apabila orientasi para pendeta dan pimpinan gereja telah terarah kepada uang, posisi dan kekuasaan, maka akan segera terjadi tubrukan kepentingan, timbul konflik, dan gereja pun terjerumus ke dalam kemelut yang sulit terselesaikan. Apakah dalam kondisi yang demikian, misi gereja masih dapat direalisasikan?
Jawabannya anda pasti sudah tahu!


Catatan Akhir:


[i] John Naisbitt, Megatrend (New York: Warner Books, 1984), hlm. 1.
[ii] Harold Coward, Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989), hlm. 5.
[iii] John Naisbitt & Patricia Aburdene, Megatrends 2000. Saduran Eddy Kuscahyanto (Jakarta: Penggebu Warta Ekonomi, 1990), hlm. 2.
[iv] Alvin Toffler, The Third Wave (New York: Bantam Books, 1982), hlm. 9.
[v] Ibid.
[vi] Ibid.
[vii] Ibid.
[viii] Naisbitt & Aburdene, Megatrends 2000, hlm. 2.
[ix] Ibid.
[x] Ibid. hlm. 36.
[xi] Ibid.
[xii] Ibid., hlm. 19.
[xiii] Ibid.
[xiv] Alvin Toffler, Future Shock (New York: Bantam Books, 1981), p. 342.
[xv] Arnold J. Toynbee, Menyelamatkan Hari Depan Umat Manusia. Terjemahan Nin Bakdi Sumanto (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988), hlm. 56.