Tuesday, July 17, 2007

Gereja dan Negara

Pendeta Dr. Jan H. Rapar, Th.D., Ph.D.

Makalah ini dipresentasikan pada Konsultasi Teologi Persekutuan Gereja-gereja se-Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, yang di adakan di Luwuk, Sulawesi Tengah, 16-18 Juni 1993

1. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang senantiasa mengajukan pertanyaan tentang apa saja, sehingga dapatlah dikatakan bahwa manusia adalah makhluk bertanya. Justru hal itulah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Pertanyaanlah pula yang menyebabkan adanya penelitian yang telah mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat.[1] Menurut Prof. Beerling, "Sartre, filsuf eksistensi Perancis ... malahan mengatakan, bahwa kesadaran pada manusia adalah bersifat bertanya yang sebenar-benarnya."[2] Lewat upaya menjawab pertanyaan-pertanyaannya itu manusia ingin mendapatkan kebenaran [aletheia].[3] Oleh karena itu semua realitas yang masih tidak begitu jelas baginya dijadikan persoalan [problemma].[4] Dengan demikian ia dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan sekaligus berupaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, demi mencapai aletheia, agar supaya problemma tidak tetap tinggal sebagai problemma.
Untuk membahas Hubungan Gereja-Negara, pertama-tama kita perlu menjawab serangkaian pertanyaan sebagai berikut: Apakah Negara itu? Apa tujuan dan fungsi negara? Apakah Gereja itu? Apa tujuan dan fungsi Gereja? Sesudah itu barulah kita membahas tentang Hubungan Gereja-Negara, lewat upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan: Mengapa ada hubungan antara Negara dan Gereja itu? Dan bagaimanakah hubungan Gereja-Negara itu?

2. APAKAH NEGARA ITU?
2.1. Pengertian etimologis
Negara berasal dari kata nagar (Sanskerta) yang berarti kota. Kata nagar kompatibel dengan kata polis (Yunani) yang pada mulanya berarti kota namun kemudian berarti juga negara. Pada masa kini, penggunaan istilah negara dihubungkan dengan kata etat (Perancis), staat (Belanda dan Jerman), state (Inggeris), yang berasal dari bahasa Latin status civilis. Dalam hal itu pengertian negara lebih mengacu kepada negara in abstracto dan bukan mengacu kepada segi fisik, seperti: tempat, batas-batas, jumlah penduduk dan sebagainya. Dalam arti yang abstrak itulah negara dalam bahasa Yunani disebut politeia. Dalam arti itulah pula kata politeia digunakan oleh Plato sebagai judul dari salah satu bukunya. Aristoteles menggunakan kata politeia yang mengacu kepada bentuk negara konstitusional, tetapi juga sewaktu-waktu mengacu kepada negara selaku he koinonia politike (persekutuan hidup yang berbentuk negara).
2.2. Hakikat Negara
Apakah sebenarnya negara itu? Apa benar yang dikatakan oleh Louis XIV bahwa l'etat c'est moi - aku adalah negara? Bagi Plato, negara adalah persatuan dari orang-orang yang sadar bahwa keinginan dan kebutuhan mereka yang banyak hanya mungkin terpenuhi jika mereka bersatu dan bekerja sama.[5] Aristoteles mengatakan bahwa "... setiap negara adalah suatu asosiasi".[6] Negara sebagai suatu asosiasi adalah persekutuan hidup politis.[7] Menurut John Locke, negara adalah asosiasi dari manusia-manusia individual yang membuat suatu pactum unionis dan pactum subjectionis demi menjamin hak-hak kodrati yang mereka miliki sebelum perjanjian masyarakat dibuat.[8] Bagi Jean-Jacques Rousseau, negara adalah persekutuan dari individu-individu yang membuat pakta sosial, yang melaluinya ia memberi diri kepada semua (bukan kepada seseorang atau kepada orang-orang tertentu) tanpa kehilangan hak dan kebebasannya.[9]
Dari pandangan beberapa filsuf besar tersebut di atas, terlihat bahwa pada hakikatnya, negara adalah persekutuan dari orang-orang yang menyadari bahwa mereka memiliki berbagai kebutuhan yang hanya dapat terpenuhi jika mereka bekerja sama, dan oleh karena itu mereka bersatu/bersekutu dengan membuat perjanjian agar hak-hak kodrati termasuk kebebasan mereka tetap terjamin. Yang dapat bersekutu dan membuat perjanjian hanyalah orang-orang yang sederajat, sebab itu negara harus menjamin kesamaan derajat yang justru menjadi salah satu landasan bagi eksistensi negara. Secara implisit dapat dikatakan bahwa dalam kesamaan derajat itu telah terkandung pengertian tidak adanya pembedaan antara pemerintah dan yang diperintah, mayoritas dan minoritas, kaya dan miskin, dan sebagainya; dalam arti bahwa semua hak-hak kodrati dan kebebasan mereka harus dijamin oleh negara. Jika pemerintah dan yang diperintah sama derajat, sama hak dan kebebasan sehingga yang berbeda hanyalah fungsi mereka, maka itu berarti tidak dibenarkan pemerintah memerintah secara otoriter apalagi menjadi diktator. Jika setiap warga negara baik dari golongan yang mayoritas maupun yang minoritas sama derajat dan memiliki hak serta kebebasan yang sama, maka itu berarti bukan hanya tidak boleh ada diktator mayoritas atau pun tirani minoritas, tetapi juga tidak boleh ada sikap dan tindakan yang mengistimewakan sang mayoritas atau mengkhususkan sang minoritas. Dalam kesadaran akan perlunya kerja sama yang mempersatukan dan mempersekutukan manusia itu, terkandung pula pengertian akan adanya kewajiban masing-masing dalam persekutuan (negara) itu, demi mencapai tujuan bersama. Dengan demikian dalam kehidupan bernegara bukan hanya ada hak, tetapi juga ada kewajiban.

3. APAKAH TUJUAN NEGARA?
Pertanyaan itu telah diajukan sejak negara itu eksis, dan jawaban yang diberikan berbeda-beda dari abad ke abad. Kita mulai dengan pandangan ekstrim yang mengatakan bahwa tujuan negara ialah menjadikan negara itu berkuasa. Konon seorang menteri Kerajaan Tiongkok bernama Yang (abad ke 3 atau ke 2 SM) mengatakan bahwa jika rakyat lemah berarti negara kuat dan jika negara kuat berarti rakyat lemah oleh karena itu agar negara kuat maka rakyatnya harus dibuat lemah. Hal itu sejalan dengan gagasan Machiavelli yang mengatakan bahwa tujuan negara adalah negara itu sendiri. Oleh karena itu Machiavelli menegaskan bahwa "penguasa harus senantiasa mengupayakan kejayaan dan kemakmuran negara, sedangkan warga negara harus sedia mengorbankan apa saja demi negara."[10] Ajaran yang menekankan kepentingan negara di atas segala-galanya disebut totaliterisme. Praktek totaliterisme yang paling mencolok dalam sejarah politik terlihat lewat fasisme dan naziisme.
Jika negara bukanlah tujuan yang sesungguhnya dari negara, maka apakah sebenarnya tujuan negara itu? Pandangan Aristoteles mengenai tujuan negara tidak begitu berbeda dengan pandangan Plato yang berpendapat bahwa tujuan negara ialah untuk mencapai moralitas jiwa (soul's morality) atau keutamaan (excellence) bagi warganya. Aristoteles mengatakan bahwa tujuan negara ialah summum bonum (the highest good) bagi manusia.[11] John Locke mengatakan bahwa tujuan negara ialah memelihara hak-hak kodrati manusia.[12] Jacobsen dan Lipman mengatakan bahwa tujuan negara ialah menegakkan ketertiban, mempromosikan kesejahteraan individual, kesejahteraan umum dan moralitas.[13]
Menyimak dengan cermat pandangan para pemikir tersebut di atas maka dapatlah dikatakan bahwa tujuan negara adalah demi kebaikan manusia.[14] Jadi, jelas terlihat bahwa tujuan negara sebagai persekutuan hidup politis bukanlah untuk negara itu sendiri. Negara eksis bukanlah demi negara, melainkan demi manusia yang membentuk persekutuan hidup politis yang disebut negara. Dengan demikian, tujuan ultim negara adalah manusia. Hal itu pun terlihat pada tujuan negara Republik Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945, sebagai berikut: "... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..."[15] Jelas terlihat bahwa tujuan ultim negara Republik Indonesia adalah summum bonum manusia Indonesia. Negara Republik Indonesia bukan eksis demi negara itu sendiri, melainkan demi martabat, keadilan, kesejahteraan umum, dan kemakmuran manusia pada umumnya, dan khususnya manusia Indonesia.

4. FUNGSI NEGARA
Ada berbagai teori tentang fungsi negara, mulai dari pandangan ekstrim kaum anarkis yang merasa tidak membutuhkan pemerintah dan peraturan, sampai dengan pandangan ekstrim komunisme yang menghendaki agar negara mengambil alih seluruh alat produksi dan distribusi di samping harus mengatur secara rinci dan mencampuri hampir seluruh kehidupan pribadi setiap warga negara.[16] Namun pada saat ini, kita tidak akan membicarakan seluruh teori yang pernah dicetuskan dan dipraktekkan, melainkan hanya beberapa pandangan penting yang dikenal dalam filsafat politik.
Aristoteles berpendapat bahwa sesuai dengan kodratnya, manusia adalah politikon zoon,[17] yang secara harfiah berarti hewan/makhluk hidup yang hidup bernegara. Makhluk hidup yang tidak hidup bernegara, jika ia bukan binatang, ia adalah dewa! Makhluk yang demikian itu, jika ia tidak di bawah manusia (subhuman), maka pastilah ia di atas manusia (superhuman).[18] Dengan demikian jelas terlihat bahwa menurut Aristoteles, manusia hanya memanusia jika ia hidup bernegara, karena yang tidak bernegara hanyalah makhluk hidup yang di bawah manusia atau yang di atas manusia. Apabila manusia hanya memanusia lewat negara, maka itu berarti bahwa fungsi negara yang terutama ialah memanusiakan manusia. Negara yang tidak berfungsi memanusiakan manusia, adalah negara yang bukan hanya mengingkari fungsinya, tetapi juga mengkhianati eksistensinya.
Fungsi memanusiakan manusia itu secara berangsur-angsur semakin dirinci oleh pemikir-pemikir politik dan pada masa kini, mereka yang menjunjung demokrasi mengatakan bahwa fungsi negara ialah melindungi kebebasan dan persamaan warganegara serta membuat konstitusi yang membatasi kekuasaan pemerintah, termasuk juga kesamaan individu (baik rakyat biasa maupun pemerintah) di hadapan hukum.[19] Mac Iver mengatakan bahwa ada tiga aspek intern dari fungsi negara, yaitu: ketertiban, perlindungan, pemeliharaan dan pengembangan.[20] Fungsi-fungsi itu mencakup seluruh segi kehidupan warga negara, seperti: aspek ekonomi, sosial, kultural, edukasi, spiritual dan sebagainya.
Apakah yang menjadi fungsi negara Republik Indonesia menurut paham demokrasi Pancasila? Jika tujuan negara sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 disimak dengan cermat maka se-sungguhnya ada empat pokok tujuan negara yang sekaligus merupakan tugas dan fungsi negara Republik Indonesia, yaitu:
1 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2 memajukan kesejahteraan umum
3 mencerdaskan kehidupan bangsa
4 ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, kebangsaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Demi mencapai tujuan negara itu, maka negara Republik Indonesia harus berfungsi sebaik-baiknya untuk melindungi, memajukan ke-sejateraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melak-sanakan ketertiban dunia dalam rangka memampukan manusia menyambut dan mewujudnyatakan kemanusiaan manusia dalam proses pembangunan manusia secara integral.

5. KEKUASAAN NEGARA
Dilihat dari aspek hukum tatanegara, maka sesungguhnya negara itu merupakan suatu organisasi kekuasaan. Kekuasaan adalah sarana yang sangat penting bagi negara untuk mencapai tujuan negara dan agar negara dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya. Berbicara mengenai kekuasaan, biasanya ada tiga hal yang sering dibahas dalam filsafat politik, yaitu:
1 sumber kekuasaan
2 pemegang kekuasaan, dan
3 penyelenggaraan kekuasaan.
Mengenai sumber kekuasaan, biasanya ada dua jawaban yang diberikan. Pertama, jawaban dari teori teokrasi mengatakan bahwa negara memperoleh kekuasaan dari Tuhan. Pemikir-pemikir seperti Augustinus, Thomas Aquinas, Marsilius dan lain-lain, sependapat bahwa sumber kekuasaan negara adalah Tuhan. Kedua, jawaban dari teori hukum alam mengatakan bahwa negara memperoleh kekuasaan itu dari rakyat. Bagi Rousseau, masing-masing individu menyerahkan kekuasaan kepada masyarakat, lalu kemudian lewat perjanjian masyarakat, kekuasaan itu diserahkan kepada raja/negara. Thomas Hobbes berpendapat bahwa kekuasaan itu langsung diserahkan oleh masing-masing individu kepada raja. Kendatipun ada perbedaan pendapat mengenai penyerahan kekuasaan itu, namun semua penganut teori hukum alam sependapat bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat.
Terlepas apakah kekuasaan negara itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat, yang pasti ialah bahwa kekuasaan itu tidak independen dan tidak memiliki kedaulatan di dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu kekuasaan harus dipertanggungjawabkan kepada si pemberi kekuasaan.
Mengenai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara yang dalam teori politik disebut juga dengan kedaulatan, ada lima teori yang dikenal, yaitu:
1 teori kedaulatan Tuhan, mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada pada Tuhan
2 teori kedaulatan raja mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi berada pada raja yang kemudian diwariskannya secara turun-temurun
3 teori kedaulatan rakyat mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada pada rakyat, karena negara dan pemerintahan adalah dari, oleh dan untuk rakyat
4 teori kedaulatan negara mengajarkan bahwa negaralah yang memiliki kedaulatan tertinggi, karena yang menciptakan hukum dan yang membuat undang-undang adalah negara, dan
5 teori kedaulatan hukum mengajarkan bahwa hukumlah yang merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam negara, karena baik raja/penguasa negara, maupun rakyat/warga negara, bahkan negara itu sendiri, tunduk kepada hukum.
Mengenai penyelenggaraan kekuasaan, menurut Plato harus dilakukan secara persuasif, bagaikan seorang ayah terhadap anak-anaknya yang tidak memaksa dan tidak menggunakan kekerasan.[21] Aristoteles mengatakan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara haruslah seperti suami terhadap istrinya yang menghargai dan menghormati kebebasan dan kedewasaan istrinya itu.[22] Pada masa kini telah dikembangkan penyelenggaraan kekuasaan negara secara partisipatif yang dikenal juga dengan penyelenggaraan kekuasaan secara demokratis. Dalam penyelenggaraan kekuasaan yang demokratis itu telah diatur pula distribusi kekuasaan termasuk pembatasan dan pengawasan demi mencegah penyalahgunaan kekuasaan.

6. APAKAH GEREJA ITU?
6.1. Pengertian etimologis

Kata gereja berasal dari bahasa Portugis igreja yang sepadan dengan bahasa Perancis eglise, bahasa Spanyol iglesia, dan bahasa Latin ecclesia, yang kesemuanya bersumber dari bahasa Yunani ekklesia. Dalam bahasa Yunani klasik, ekklesia berarti kumpulan atau pertemuan. Sejak Solon (639-559 SM), yang dikenal sebagai pelopor demokrasi Yunani dan sebagai salah satu dari ketujuh orang bijaksana yang amat termasyhur, menyusun hukum yang baru di Athena, istilah ekklesia digunakan dengan arti sidang umum. Dan sejak Cleisthenes mengubah Athena menjadi negara yang benar-benar demokratis, ekklesia (sidang umum) menjadi lembaga tertinggi negara.
Lima abad kemudian, orang-orang kristen memilih kata ekklesia untuk menerjemahkan istilah Iberani qahal yang berarti suatu umat yang dipanggil untuk berkumpul bersama/bersekutu. Jadi secara etimologis, ekklesia adalah suatu sidang atau umat yang berkumpul/bersekutu karena ada panggilan untuk bersidang, berkumpul/bersekutu.
Bahasa-bahasa Eropa Utara menggunakan istilah lain untuk kata gereja, seperti: church (Inggeris), kirche (Jerman), dan kerk (Belanda). Kata-kata itu berasal dari kata Yunani kurion, atau kuriakon yang berarti kepunyaan/milik Tuhan.
Dari penggunaan kata-kata ekklesia dan kuriakon, dapatlah dikatakan bahwa Gereja adalah sidang atau persekutuan dari orang-orang milik Tuhan.

6.2. Hakikat Gereja
Apakah sebenarnya gereja itu? Pengertian etimologis tersebut di atas menunjukkan bahwa gereja bukanlah gedung (benda mati), melainkan persekutuan dari manusia yang menyadari bahwa mereka adalah milik Tuhan. Persekutuan itu terdiri dari orang-orang yang dipanggil dan dipilih menjadi umat Allah.[23] Dengan demikian, Gereja adalah komunitas dari umat Allah.[24]
Komunitas umat Allah ini in concreto terlihat lewat organisasi gerejawi, jabatan-jabatan, tata dasar, tata gereja, gedung ibadah, liturgi, pemberitaan Firman Allah, pelayanan sakramen, dan sebagainya. Tetapi komunitas umat Allah yang disebut gereja itu lebih dari pada apa yang dapat diamati. Sesungguhnya di Alkitab terdapat banyak gambaran mengenai gereja, namun untuk saat ini cukup dua gambaran saja yang akan kita bicarakan, yaitu gereja selaku mempelai Kristus dan gereja selaku tubuh Kristus.
Hubungan antara mempelai pria dan mempelai wanita menunjukkan adanya suatu relasi yang amat dalam dan khusus. Pertama-tama perlu ditekankan bahwa relasi itu di dasarkan pada cinta kasih yang tulus. Dalam hal itu, cinta kasih Kristus tidak dapat diragukan lagi. Namun bagaimana dengan cinta kasih gereja selaku mempelai wanita? Cinta kasih yang tulus telah ditunjukkan oleh Kristus lewat kesediaanNya untuk mengorbankan diri demi keselamatan mempelai wanitanya. Ia memberi diri demi yang dikasihiNya. Kedua, mempelai pria dan mempelai wanita merupakan partner hidup. Segala persoalan hidup dihadapi bersama. Mereka merupakan partner kerja, partner dalam membagi suka dan duka, bahkan partner dalam segala-galanya. Ketiga, seperti yang terdapat di dalam Kidung Agung 2:16, "Kekasihku kepunyaanku, dan aku kepunyaan dia...," demikian pula gereja perlu menyadari bahwa ia adalah milik Kristus. Dalam hal itu terkandung pengertian bahwa kendatipun Kristus telah mengorbankan diri baginya, namun dapat saja ia memilih untuk menjadi milik dari yang lain, namun ia tidak sudi berbuat demikian dan ia memilih Kristus untuk memiliki dirinya.
Menurut Alkitab, gereja adalah Tubuh Kristus dan Kristus adalah kepalanya (Efesus 1:22; 5:23 dan Kolose 1:18). Gereja selaku Tubuh Kristus adalah suatu organisme spiritual. Kepala dan anggota-anggota tubuh dihubungkan satu dengan lainnya secara spiritual. Untuk hidup, tubuh membutuhkan kepala dan kepala membutuhkan tubuh dan agar keseluruhannya dapat berfungsi sebagaimana mestinya maka anggota-anggota tubuh pun harus lengkap, dan fungsi mereka adalah untuk saling melengkapi satu sama lainnya. Lukisan tentang hubungan kepala dan tubuh itu menunjukkan bahwa gereja adalah suatu organisme yang hidup.[25] Sebagai satu organisme yang hidup, maka gereja selaku Tubuh Kristus yang berada di dunia ini, tidak dapat dibatasi oleh suatu tempat, bangsa atau negara tertentu. Gereja yang hadir di suatu tempat atau di suatu negara tertentu bukanlah cabang dari suatu organisasi gerejawi yang berada di suatu negara adikuasa di Eropa, Amerika atau di mana saja; melainkan bagian integral dari organisme tubuh yang kepalanya adalah Yesus Kristus. Oleh karena itu, secara eklesiologis, dapatlah dikatakan bahwa segala upaya "kontekstualisasi" teologi yang bertolak dari prasangka buruk terhadap teologi Barat yang diwarnai oleh sentimen politis yang dilandaskan pada semangat regionalisme ekstrim, tidak lebih daripada suatu usaha untuk merobek-robek Tubuh Kristus selaku satu organisme yang hidup.

7. APAKAH TUJUAN GEREJA?
Gereja ada bukan untuk sekedar eksis. Ia memiliki tujuan yang hendak dicapai. Karena ia memiliki tujuan maka ia pun memiliki misi demi mencapai tujuan itu. Apakah yang menjadi tujuan gereja di dunia ini?
Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyaksikan bahwa Allah berkehendak untuk menyelamatkan dan memulihkan manusia, bahkan seluruh ciptaanNya, dari kondisi yang sangat memprihatinkan. Untuk itu Allah mengutus PutraNya, Yesus Kristus sebagai pelaksana yang sempurna dari kehendakNya. Tujuan kedatangan Yesus Kristus ke dunia ini ialah untuk melaksanakan kehendak BapaNya. Ia menyampaikan kabar baik dari Allah lewat pemberitaan dan perbuatan. Yesus Kristus Juru Selamat itulah pula yang telah mendirikan gereja di atas dasar pengakuan iman bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup (Matius 16:15-18). Karena Yesus Kristus yang mendirikan gereja, maka dapatlah dikatakan bahwa gereja ada oleh dan untuk Kristus. Oleh karena itu tujuan dan misi Kristus di dunia ini adalah juga tujuan dan misi gereja itu sendiri. Sebagaimana Yesus Kristus menyadari bahwa tujuan kedatanganNya ke dunia ini adalah untuk memberlakukan kehendak Allah, maka demikian pula gereja harus menyadari bahwa tujuan keberadaannya di dunia ini adalah juga untuk memberlakukan kehendak Allah. Dan sebagaimana Kristus telah melaksanakan misinya untuk menyampaikan kabar baik lewat pemberitaan dan perbuatan, maka gereja pun wajib melaksanakan tugas panggilan atau misinya untuk menyampaikan kabar baik lewat pemberitaan dan perbuatan. Tentu saja kita tidak dapat menduplikasi perbuatan Kristus yang mengorbankan diri di atas kayu salib, namun tindakan kita perlu diwarnai semangat pengorbanan sang Kepala Gereja itu! Jadi jelas bahwa tujuan ultim gereja di dunia ini adalah memberlakukan kehendak Allah, sehingga doa yang senantiasa kita ucapkan, "... datanglah KerajaanMu, jadilah kehendakMu di bumi seperti di sorga..." (Matius 6:10), benar-benar dapat diwujudnyatakan.
Menyadari akan tujuan keberadaan dan tugas panggilan (misi) gereja di dunia ini, maka Gereja-gereja di Indonesia dengan yakin mengatakan bahwa:
Gereja-gereja di Indonesia telah ditempatkan oleh Tuhan sendiri untuk melaksanakan tugas panggilannya dan menjadi berkat bagi semua orang di dalam negara Pancasila yang sedang menjalankan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju era tinggal landas menjelang akhir abad ke-20.
Melaksanakan tugas panggilan itu tidak lain berarti melaksanakan kehendak Tuhan yang tidak berubah (bnd. Ibr 13:8) di tengah-tengah kehidupan bangsa-bangsa dan masyarakat dunia yang terus-menerus berubah. Oleh karena itu, gereja-gereja di Indonesia terus-menerus bergumul memahami kehendak Tuhan itu dari waktu ke waktu.[26]

8. FUNGSI GEREJA
Secara tradisional, ada dua pemahaman tentang fungsi gereja dalam eklesiologi. Pertama, mereka yang memandang gereja sebagai agen keselamatan, dan kedua, mereka yang memandang gereja selaku komunitas eklusif dari orang-orang kudus.[27] Pada Konferensi Edinburgh tentang Iman dan Tata Tertib (tahun 1937), dikatakan bahwa fungsi gereja ialah untuk memuliakan Tuhan lewat penyembahan dan pelayanan pengurbanan serta menjadi utusan Allah di dunia ini. Itu berarti bahwa gereja memiliki fungsi yang rangkap tiga:
1 memuliakan Tuhan lewat penyembahan (adoration)
2 memuliakan Tuhan lewat pelayanan pengorbanan (sacrificial service)
3 memuliakan Tuhan lewat menjadi utusan Allah di dunia ini (to be God's missionary to the world).
Menyembah Tuhan berarti mengakui kedaulatan Tuhan dalam kehidupan hic et nunc. Mengakui kedaulatan Tuhan harus tampak lewat kata, sikap dan tindak yang senantiasa menempatkan Tuhan selaku yang disembah dan bukan berusaha untuk menempatkan diri sendiri sebagai yang disembah.
Gereja tidak eksis untuk diri sendiri. Gereja ada di dunia ini demi dan untuk dunia ini. Oleh karena itu gereja tidak boleh terarah kepada diri sendiri melainkan harus senantiasa terarah keluar. Gereja tidak boleh terpukau dengan keberadaan diri sendiri lalu melupakan fungsinya yang utama. Gereja tidak boleh membangun "menara Babel" bagi kemuliaan diri melainkan terus-menerus hidup dalam kepedulian kepada yang lain, sebagaimana Allah sendiri memperdulikan kita.
Menjadi utusan Allah di dunia ini berarti gereja diangkat oleh Allah sendiri untuk menjadi duta kebenaran, kebaikan dan keadilan yang bukan hanya disampaikan lewat mulut, tetapi harus nyata lewat kata dan perbuatan. Benarkah Gereja masih berfungsi selaku duta kebenaran, kebaikan dan keadilan?

9. KEKUASAAN GEREJA
Sejarah gereja menyaksikan bahwa dari abad ke abad dan hingga pada saat ini dan bahkan untuk seterusnya gereja ada dan akan terus berada oleh karena ia memiliki kekuasaan yang "luar biasa". Apakah sumber kekuasaan gereja? Dan untuk apakah gereja memperoleh kekuasaan itu?
Mengenai sumber kekuasaan gereja, Berkhof mengatakan bahwa "Yesus Kristus bukan hanya mendirikan Gereja, melainkan juga mengaruniakannya kekuasaan atau otoritas yang dibutuhkannya."[28] Itu berarti bahwa Yesus Kristus adalah sumber kekuasaan gereja. Pencurahan kuasa Roh Kudus yang diceriterakan di Kisah Rasul-Rasul menunjukkan bahwa sejak saat itu Allah telah melimpahkan wewenang dan kekuasaan kepada gerejaNya.[29]
Untuk apakah Allah melimpahkan wewenang dan kekuasaan kepada gereja? Jawabannya ialah agar gereja dapat berperan serta dalam rencana penyelamatan yang dilakukan Allah dan agar gereja dapat mencapai tujuannya untuk memberlakukan kehendak Allah di dunia ini, dan agar gereja dapat pula melaksanakan tugas panggilannya. Itu berarti bahwa kekuasaan gereja adalah kekuasaan yang dikaruniakan Allah untuk melayani. Karena kekuasaan gereja adalah karunia Allah, maka kekuasaan gereja bukanlah kekuasaan yang independen.[30] Oleh karena itu penyelenggaraan kekuasaan gereja haruslah dilakukan sesuai dengan kehendak si pemberi kekuasaan itu sendiri.

10. HUBUNGAN GEREJA DAN NEGARA
Gereja dan negara berada di dunia yang sama. Tidak seorang pun warga gereja yang tidak menjadi warga dari sesuatu negara. Oleh karena itu mau atau tidak, gereja dan negara pasti memiliki hubungan. Bagaimanakah gerangan jenis hubungan yang terdapat antara gereja dan negara itu?
Menurut Kranenburg, "hubungan antara negara dan gereja telah menimbulkan kesukaran-kesukaran besar dalam pelbagai bentuk untuk teori dan praktek."[31] Kenyataannya, baik negara maupun gereja, kedua-duanya merupakan "bentuk-bentuk golongan, tatanan-tatanan kerukunan, yakni organisasi-organisasi sesama manusia terdiri dari orang-orang yang itu-itu juga."[32] Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, baik gereja maupun negara, kedua-duanya memiliki kekuasaan yang amat besar. Kedua-duanya memiliki perangkat pemerintahan, kedua-duanya memiliki norma-norma dan peraturan-peraturan. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin terjadi konflik antara keduanya.
Sejarah menunjukkan bahwa hubungan antara gereja dan negara memang tidak selamanya harmonis. Tidak selamanya serasi dan selaras! Bahkan sejak kelahirannya, gereja telah disambut dengan penuh kecurigaan oleh masyarakat sekitar dan pemerintah (negara) yang berkuasa pada waktu itu. Penghambatan dan penganiayaan pertama dari pihak negara terjadi pada tahun 64, di kota Roma atas perintah kaisar Nero. Hal itu diceriterakan secara lengkap oleh Tacitus, sejarawan Roma yang cukup terkenal.[33] Penghambatan dan penganiayaan terhadap gereja berlangsung terus sampai tahun 313. Selama penghambatan dan penganiayaan itu, Gereja tidak pernah mengambil sikap bermusuhan terhadap negara. Gereja tetap setia mengikuti ajaran Yesus dan nasihat Paulus untuk menghormati pemerintah, mengerjakan kewajiban selaku warga negara yang baik, bahkan menaikkan doa syafaat bagi pemerintah. Bentuk tertua dari doa syafaat yang tercatat dalam sejarah terdapat di dalam I Clement, sebagai berikut:
Grant that we may be obedient to... our rulers and governors upon the earth.... Thou, Master, hast given the power of sovereignty to them.... And to them, Lord, grant health, peace, concord, firmness that they may administer the government which thou hast given them without offense.[34]
Pada tahun 313, Kaisar Konstantinus Agung mengeluarkan sebuah keputusan yang menyatakan bahwa gereja memperoleh kebebasan penuh. Keputusan itu dikenal dengan nama edik Milano. Selain kebebasan penuh, gereja memperoleh kembali seluruh harta milik yang telah dirampas Negara. Dengan demikian gereja telah memasuki babak baru dengan tantangan yang baru. Pada tahun 380, Kaisar Theodosius mengeluarkan suatu keputusan yang mewajibkan seluruh rakyat untuk menganut agama kristen. Gereja diresmikan menjadi gereja negara.Dari satu sisi, status baru ini memang menguntungkan gereja karena keanggotaan gereja secara kuantitas meningkat. Gereja pun dapat menanamkan nilai-nilai dan cita-cita kristiani ke dalam kehidupan masyarakat bangsa Romawi. Hal itu tentu saja didukung oleh kaisar, karena nilai-nilai cinta kasih, kepatuhan, saling menghormati, kesederhanaan hidup dan sebagainya sangat diperlukan oleh negara demi menjaga keutuhan dan kesatuan. Namun karena gereja baru pertama kali memperoleh kebebasan dan dukungan negara, gereja belum mengetahui adanya bahaya caesaropapisme yaitu kecenderungan sang kaisar untuk memandang dirinya sebagai kepala gereja. Kendatipun ia tidak menyamakan diri dengan Allah, tetapi jika kita mengamati dengan cermat mozaik Kaisar Justinianus dalam gereja di San Vitale, Ravenna (berasal dari abad VI), maka kita akan memperoleh kesan bahwa jika ia bukan seorang dewa, ia pun bukan manusia biasa. Hal itu menunjukkan betapa besarnya kekuasaan kaisar di dalam gereja. Sadar atau tidak, gereja telah menjadi alat dan hamba yang harus mengabdi kepada negara. Hal itulah pula yang ditempuh oleh Gereja Ortodoks-Timur (Gereja Katolik Yunani) yang berada di wilayah kekaisaran Romawi Timur dengan ibu kotanya Constantinopel (Byzantium). Bagi Gereja Ortodoks-Timur, kaisar dipandang sebagai wakil Allah di dunia ini.
Gereja Romawi-Barat berpendapat bahwa negara dapat pula disusupi oleh unsur-unsur satanik dan oleh sebab itu perlu diwaspadai. Sikap yang demikian itu pertama-tama ditunjukkan oleh Uskup Ambrosius dari kota Milano. Pada suatu hari di tahun 390, kaisar Theodosius Agung menjadi sangat murka karena seorang panglimanya terbunuh mati dalam suatu huru-hara di kota Tesalonika. Theodosius segera mengirimkan pasukannya ke kota itu dan membunuh sekitar 7000 orang secara membabi-buta. Uskup Ambrosius tidak menyetujui tindakan kaisar, oleh karena itu ia tidak memperkenankan kaisar mengikuti Perjamuan Kudus, sampai kaisar mengaku dan menyesali dosanya di hadapan umum. Kaisar Theodosius memang membuat penitensia di hadapan umum sebagai tanda penyesalan terhadap dosa yang telah diperbuatnya.
Bagi Uskup Ambrosius, kaisar memang termasuk di dalam gereja, namun ia tidak boleh menguasai gereja. Ambrosius menyadari betapa dahsyatnya bahaya caesaropapisme itu. Tetapi Ambrosius melangkah lebih jauh lagi dan membuka suatu peluang bagi bahaya yang lain. Konon, pada suatu hari, orang-orang kristen membakar sebuah sinagoge Yahudi dan sebuah tempat ibadah kaum bidat. Kaisar Theodosius hendak menghukum para pelaku pembakaran itu, tetapi Ambrosius menuntut agar mereka diampuni. Theodosius tunduk kepada keinginan Ambrosius, dan hal itu merupakan benih bagi papocaesarisme, yaitu kecenderungan pimpinan gereja untuk merasa lebih berkuasa dari kaisar, karena merasa bahwa ia adalah wakil Kristus di dunia ini. Dengan demikian terlihat pula bahwa unsur-unsur satanik bukan hanya dapat menyusup masuk kedalam kekuasaan negara tetapi juga dapat menyusup masuk kedalam kekuasaan gereja.
Augustinus (354-430) berhasil merakit filsafat politik pertama yang memberi landasan yang rasional bagi teori teokratis.[35] Menurut Augustinus,
... ada dua macam negara. Yang pertama adalah Negara Allah (civitas Dei) yang sering juga disebutnya sebagai negara surgawi. Yang kedua ialah negara sekuler (civitas terrena/negara duniawi) yang sering juga disebutnya sebagai negara diaboli. Negara yang paling baik dan oleh sebab itu harus senantiasa diupayakan perwujudannya ialah negara Allah. Negara sekuler adalah negara yang buruk dan oleh sebab itu tak layak menjadi dambaan manusia.
Kehidupan di dalam negara Allah diwarnai oleh iman, ketaatan dan kasih Allah. Negara Allah menghargai segala sesuatu yang baik seperti: kejujuran, keadilan, keluhuran budi, kesetiaan, moralitas yang terpuji, keindahan dan lain-lain sebagainya. Negara sekuler diwarnai oleh dosa, keangkuhan dan cinta egois. Negara sekuler merupakan manifestasi dari ketidakjujuran, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, pengkhianatan, kebobrokan moral, keburukan, kemaksiatan, kejahatan dan lain-lain sebagainya.[36]
Dari pandangan Augustinus tersebut tadi, jelas terlihat bahwa ia telah mengubah negara ideal Plato menjadi civitas Dei, sehingga idealisme Plato telah menjadi idealisme kristen.
Ajaran Augustinus sering disalahpahami dengan menafsirkan civitas Dei sebagai gereja, sedangkan civitas terrena ialah negara. Dengan mengatakan bahwa civitas terrena hanya berguna jika ia melayani civitas Dei, maka Paus-Paus di abad pertengahan menggunakan pandangan Augustinus itu untuk menempatkan diri di atas kaisar dan memerintah serta mengatur negara.
Demikianlah gambaran hubungan yang disharmonis, bahkan yang seringkali penuh dengan ketegangan antara gereja dan negara yang acap kali terjadi di sepanjang sejarah.

11. BEBERAPA SOLUSI YANG DITAWARKAN
Martin Luther (1483-1546) menolak doktrin papal mengenai teori dua pedang yang mengklaim segala kekuasaan di dunia ini, baik kekuasaan temporal (dalam negara) maupun kekuasaan spiritual (dalam gereja) telah diberikan kepada Paus. Martin Luther mengatakan bahwa para penguasa/pemerintah menerima kekuasaan mereka langsung dari Tuhan.[37] Dengan didasari oleh gagasan Augustinus, Luther mengatakan bahwa ada dua jenis kerajaan yang ada di antara manusia. Yang satu bersifat spiritual dan diperintah oleh Firman tanpa pedang, yang melaluinya manusia dijadikan saleh dan benar demi meraih kehidupan yang kekal. Yang satunya lagi bersifat sementara dan diperintah dengan pedang agar mereka yang tidak menjadi saleh lewat Firman dapat dipaksa berbuat benar demi ketertiban dunia ini.[38] Ia berpendapat bahwa negara adalah institusi ilahi yang hendak mencegah anarki. Oleh karena itu ia memperkenankan campur-tangan negara dalam urusan gereja demi kepentingan gereja itu sendiri.
Yohanes Calvin (1509-1564) menegaskan bahwa gereja dan negara merupakan dua lingkungan yang diperintah oleh satu penguasa, yaitu: Yesus Kristus. Apabila negara/pemerintah memuliakan Tuhan dengan mengupayakan keadilan, perdamaian, dan kebebasan, maka gereja/orang-orang kristen wajib bekerjasama dan mendukungnya. Dukungan dan kerjasama gereja dengan negara terbatas sejauh negara tidak merampas/mengganggu kesetiaan gereja terhadap Yesus Kristus.
Karl Barth (1886-1968) sependapat dengan Reformator Yohanes Calvin, namun ia menambahkan beberapa pokok pikiran sebagai berikut:
1 Negara memperoleh tugas menurut ketetapan Allah di tengah-tengah suatu dunia yang berada dalam genggaman dosa dan dalam dunia yang demikian itu pula gereja berdiri. Negara wajib menjalankan tugasnya itu dengan segala kearifan dan kemampuan untuk menegakkan keadilan dan perdamaian; dan untuk itu ia diberi kekuasaan.
2 Hubungan gereja dan negara merupakan hubungan dari lingkaran-lingkaran konsentris yang berpusatkan Yesus Kristus.
3 Gereja dan negara tidak boleh dibaurkan. Gereja harus membatasi diri sedemikian rupa sehingga ia tidak menjadi negara, dan demikian pula negara tidak boleh menjadi gereja.
4 Gereja tidak boleh menguasai negara dan negara pun tidak boleh menguasai gereja. Namun Gereja berkewajiban untuk memperingatkan negara/pemerintah akan kerajaan/ kekuasaan dan keadilan Allah.
Pada masa kini, teori kedaulatan hukum seolah-olah memberikan harapan penyelesaian yang memuaskan. Jika semua pihak tunduk kepada hukum, maka hukum pasti dapat mengatur, membatasi dan mengawasi penggunaan kekuasaan oleh semua pihak. Dengan demikian segala bentuk konflik pun dapat dicegah.

12. BEBERAPA CATATAN AKHIR
1 Hingga kini belum ditemukan suatu solusi yang paling tepat dan paling memuaskan tentang hubungan gereja dan negara itu.
2 Sangat sulit untuk mengatur dan memisahkan kewenangan dan otonomi negara dari kewenangan dan otonomi gereja. Karena tidak dapat dikatakan bahwa negara hanya mengatur kehidupan duniawi dan gereja mengatur kehidupan spiritual. Bukankah yang "duniawi" itu selalu memiliki aspek spiritual dan demikian pula sebaliknya? Demikian pula sangat sulit untuk mengatakan bahwa dalam kondisi yang "begini" atau dalam kondisi yang "begitu" negara boleh "campur tangan" dalam "wilayah kekuasaan gereja."
3 Jika kita mengangkat hukum sebagai kekuasaan tertinggi, sehingga negara dan gereja tunduk kepadanya, sesungguh-nya ada bahaya lain yang sedang mengancam. Hukum yang seharusnya melayani kepentingan manusia akan menjadi dewa baru, sehingga manusialah yang mengabdi kepada hukum.
4 Sebaiknya kita menghayati dan mengamalkan motto: Biarkanlah negara menjadi negara dan gereja menjadi gereja. Maksudnya ialah negara akan benar-benar menjadi negara jika ia sungguh-sungguh memahami apa tujuan, tugas panggilan dan fungsi negara serta mengetahui asal kekuasaan yang dimilikinya, sehingga kekuasaan itu akan digunakan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab, sesuai dengan tujuan, tugas panggilan dan fungsinya itu. Demikian pula gereja akan benar-benar menjadi gereja, apabila ia sungguh-sungguh memahami apa tujuan, tugas panggilan dan fungsi gereja serta siapa yang mengaruniakan kekuasaannya, sehingga ia tidak akan menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya itu, melainkan akan digunakan dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kehendak dari Dia yang mengaruniakan kekuasaan itu demi mencapai tujuan, dan demi melaksanakan tugas panggilan dan fungsinya. Baik negara, maupun gereja, harus tetap mewaspadai akan upaya penyusupan unsur-unsur satanik yang hendak melumpuhkan dan menghancurkan eksistensinya. Jika gereja dan negara dapat mengamalkan pemahaman yang demikian itu, tentu tidak akan timbul masalah apapun juga. Namun karena gereja dan negara yang ada di dunia ini tidak sempurna, maka pengamalan dari pemahaman ideal itu pun tidak akan pernah sempurna, sehingga masalah pasti akan tetap ada. Namun yang penting ialah bagaimana meminimalkan permasalahan itu sehingga permasalahan itu tidak lagi menjadi ancaman bagi relasi antara gereja dan negara, melainkan menjadi daya pendorong yang memacu langkah maju bersama dalam suatu bentuk hubungan yang komplementaris dan dinamis.


Catatan:

[1] Lihat, R.F.Beerling, Filsafat Dewasa Ini (Jakarta: P.N.Balai Pustaka, 1966), hlm.8-9.
[2] Ibid., hlm. 9.
[3] aletheia atau kebenaran sebenarnya berarti sesuatu yang sudah jelas, yang tak tersembunyi atau yang tidak tertutup.
[4] problemma menempatkan sesuatu di depan atau di luar dirinya (agar dapat diamati/diteliti!).
[5] Lihat, J.H.Rapar, Filsafat Politik Plato, cet. 2 (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 63.
[6] Aristoteles, The Politics, 1252aI.
[7] Lihat, J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), hlm. 33.
[8] Lihat John Locke Two Treatises of Government (1690), dan band. John Locke, "Concerning Civil Government," Great Books of The Western World (Chicago: Encyclopaedia Britannica, inc. 1952), pp. 46-54.
[9] Lihat Lowell Bair, trans., The Essential Rousseau (New York: New American Library, 1974), p. 17.
[10] J.H.Rapar, Filsafat Politik Machiavelli (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 39.
[11] Lihat Aristotle, Politics 1.1 - 1.2
[12] John Locke, "Two Treatises of Government", Great Political Thinkers: Plato to the Present, William Ebenstein (New Delhi: Oxford & IBH Publishing CO., 1969), pp. 405-406.
[13] Lihat G.A.Jacobsen and M.H.Lipman, Political Science (New York: Barnes & Noble Books, 1979), pp. 17-18.
[14] Lihat Jan Hendrik Rapar, "The View of Man In The Philosophy of Pancasila: An Attempt at a New Understanding" (Ph.D. diss., The US International University, 1985), p. 56.
[15] Tiga Undang-Undang Dasar: UUD RI 1945, Kontstitusi RIS, UUD Sementara RI (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977), hlm. 7.
[16] Jacobsen, op. cit., hlm. 21.
[17] The Politics, 1253a1 f.
[18] Ibid.
[19] Lihat Jacobsen, op. cit., hlm. 28.
[20] Lihat Mac Iver, Negara Moderen, terj. Moertono (Jakarta: Aksara Baru, 1984), hlm. 172-173.
[21] Rapar, Filsafat Politik Plato, hlm.95-98.
[22] Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, hlm. 57-61.
[23] Lihat Jan Hendrik Rapar, "The Ekklesia of God" (Th.D. diss., International Seminary, 1982), p. 7.
[24] Ibid., p. 17.
[25] Rapar, The Ekklesia, p. 25.
[26] Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Dalam Kemantapan Kebersamaan Menapaki Dekade Penuh Harapan (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 43.
[27] Rapar, The Ekklesia, p. 60.
[28] Louis Berkhof, Systematic Theology (Grand Rapids: Wm.B.Eeerdmans Publishing Co., 1988), p. 593.
[29] Band. Joseph M. Gettys, What Presbyterians Believe (Clinton, n.p., 1968), p. 89.
[30] Band. Berkhof, Ibid., p. 594.
[31] R. Kranenburg, Ilmu negara Umum, terj. Tk. B. Sabaroedin (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 245.
[32] Ibid.
[33] Clarence Tucker Craig, The Beginning of Christianity (New York: Abingdon-Cokesbury Press, MCMXLIII), p. 316.
[34] Ibid., p. 320.
[35] J.H.Rapar, Filsafat Politik Augustinus (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), hlm. 30-31.
[36] Ibid., hlm. 59.
[37] David Thomson, ed., Political Ideas (Harmondsworth: Penguin Books, 1982), p. 36.
[38] Ibid., pp. 41-42.